Setelah selesai urusannya, dalam perjalanan pulang, Asih memenuhi janjinya untuk membelikan mainan putrinya. Beragam mainan digelar di atas tanah. Kuda-kudaan dari kayu, boneka kayu, papan dakon yang biasa dimainkan dengan biji sawo kecik, gasing, layang-layang, dan yang paling banyak adalah celengan.
"Ini semua mainan untuk anak yang sudah besar!" kata Asih, "Beli celengan saja ya, Nak?"
Si kecil kembali menjawab dengan anggukan kepala. Matanya langsung menelusuri berbagai celengan yang terbuat dari tanah liat. Celeng adalah bentuk binatang yang pertama dijadikan alat untuk menabung, maka akhirnya masyarakat menyebut tabungan sebagai celengen. Meskipun celengan kemudian ada yang berbentuk gajah, kuda, ayam dan lain-lainnya.
"Kucing!" kata Alya sambil menunjuk celengan yang diinginkannya. Mungkin lantaran ia sering ikut Mbah Kucing memberi makan kucing-kucing liar, sehingga ia suka kucing.
"Itu bukan kucing, Sayang, tapi harimau!" timpal Asih, "Apa?"
"Halimauuu..!" tiru si kecil dengan suara lucu dan menggemaskan.
Saat itu ada dua lelaki dari jarak yang tidak jauh, mengikuti dan mengawasi sejak perempuan muda dan putrinya itu keluar dari rumah Nyi Setiaji. Kedua lelaki yang tahu bahwa perempuan itu membawa banyak barang berharga, segera menyusun rencana untuk menghadang dan merampas hartanya.
***
Di langgar, Mbah Kucing segera memberitahu Cak Japa, "Saya tadi hendak wudhu ketika tiba-tiba saya merasakan ada dorongan yang begitu kuat untuk mendoakan Ning Asih!"
Begitu selesai adzan maghrib dikumandangkan, Cak Japa yang sangat percaya dengan gurunya itu meminta bantuan jamaah untuk berdoa bersama, doa yang dikhususkan untuk keselamatan istri dan putrinya saat itu juga. Mbah Kucing, Tulus, Cak Woto dan beberapa orang jamaah lainnya berdoa dengan ikhlas dan khusuk.
Usai shalat Maghrib, terdengar suara kaki kuda dan roda dokar berhenti di pelataran langgar. Asih kemudian memanggil suaminya untuk minta tolong menurunkan dua orang lelaki dari atas dokar yang dalam keadaan tidak sadarkan diri.