Oleh: Tri Handoyo
Asih Larasati, istri Cak Japa, seperti biasa mengirim jajanan untuk orang-orang yang berada di langgar. Jajanan yang dikirim setelah shalat Ashar itu pasti sangat laris. Apalagi kini banyak musafir yang singgah untuk sembayang di langgar.
Asih adalah anak tetangga rumah terdekat Japa, putri bungsu Ki Sugyarta. Ia merupakan satu-satunya teman perempuan masa kecil Japa, satu-satunya yang selalu membela dan melindungi di saat Japa dijadikan olok-olokan anak-anak lain.
Setelah menikah, Asih dan Japa membangun rumah di dekat rumah Mbah Kucing. Kini mereka memiliki toko di rumah, yang menjual barang-barang keperluan wanita, seperti kebaya, jarik, batik, minyak wangi, perhiasan perak dan emas serta permata. Barang-barang yang tidak memerlukan banyak ruang, tapi mahal nilainya. Tidak sedikit istri-istri kaum bangsawan menjadi pelanggannya.
"Pak, saya mau ke rumah Nyi Setiaji," katanya berpamitan sambil mencium tangan Japa, "Ngantar barang pesanan!"
"Oh iya, hati-hati di jalan!" pesan Cak Japa singkat. "Pulangnya jangan sampai kemalaman!"
Asih ditemani Alya, gadis mungil yang baru berumur tiga tahun itu adalah anak pertama mereka. Mereka naik dokar pribadi. Itu kegiatan yang sudah biasa ia lakukan. Jarak ke rumah Nyi Setiaji, istri lurah desa itu, tidak sampai tiga kilometer. Jadi sebelum maghrib mereka pasti sudah akan tiba kembali di rumah.
Sesampainya di jalan menuju rumah Nyi Setiaji, ternyata akan ada pasar malam.Di sepanjang kiri kanan jalan ramai orang berjualan. Penjual jajanan gorengan menggelar dagangannya yang digoreng dengan minyak berwarna gelap, entah sudah dipakai berapa kali. Sementara aroma makanan membangkitkan selera, menyebar ke mana-mana.
Asih mengendalikan dokarnya berjalan pelan di antara orang-orang yang lalu lalang. Putrinya yang duduk di sebelah beberapa kali menarik-narik baju sambil menunjuk mainan, seolah memberi tahu ibunya bahwa ia minta dibelikan.
"Nanti pulangnya saja ya, Nak!" bujuk Asih yang disambut anggukan kepala si kecil.