Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (31): Menebar Racun Kebencian

27 Juli 2024   05:49 Diperbarui: 27 Juli 2024   13:17 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Kabut yang cukup tebal mengepung pos ronda. Empat orang yang sedang mendapat giliran jaga sedang asyik ngobrol di dalamnya. Mereka merapatkan lilitan sarung di leher untuk menambah kehangatan.

Pos berbentuk rumah panggung seluas tiga meter persegi itu terbuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu, bangunan yang relatif hangat di musim penghujan dan cukup sejuk di musim kemarau. Pos itu berada di pinggir sungai yang membelah tepat di tengah-tengah wilayah Desa Candimulyo.

"Tolooong..! tolooong...!" Terdengar suara orang ditimpah suara gemericik air sungai. Tiba-tiba muncul Guk Parto Gempil dengan napas terengah-engah meloncat cepat ke dalam pos ronda.

Empat orang yang berada di situ terkejut bukan main. Lelaki yang tampak sangat ketakutan itu adalah 'Tukang Pukulnya' Raden Kusno, yang selama ini dikenal sangat pemberani.

"Minum dulu, Guk Parto!" Salah seorang mencoba menenangkan sambil menyodorkan air minum.

"Ada apa, Guk?" tanya yang lain setelah melihat nafas Guk Parto mulai teratur.

"Aaaku.., aku ketemu hantu.., hantu Ki Blandotan Kobra!" jawabnya dengan mimik muka tegang. "Ruhnya bangkit dari kubur! Dia jadi hantu, mau balas dendam!"

Empat petugas jaga saling bertatap pandang dengan raut muka tegang pula. Bulu tengkuk mereka meremang mendengar arwah Sang Penjahat Besar itu bangkit dari kubur.

Pada saat yang sama, di tempat lain, Guk Tanjung berlari terbirit-birit menuju beberapa orang yang sedang bercengkrama di teras joglo depan rumah Raden Kus. "Tolooong..! tolooong...!"

Mengetahui bahwa lelaki yang minta tolong itu adalah 'Tukang Pukulnya' Raden Kusno, membuat lima orang yang berada di situ cukup dibuat keheranan.

"Ada apa, Guk Tanjung?" tanya Raden Kusno.

"Aku melihat setan.., Den! Setan Ki Blandotan Kobra!" jawabnya dengan mimik muka tegang. "Arwahnya bangkit dari kubur, pasti mau balas dendam!"

Nini Jailangnak Si Nenek Siluman, yang saat itu sedang mengawasi rumah Raden Kusno dari atas pohon, menyimak kegaduan di bawah.

'Kenapa ini tidak terpikirkan olehku?" kata Nenek Siluman dalam hati. Timbulnya inspirasi itu sangat menggembirakannya. 'Baiklah, aku akan bangkitkan mayat Blandotan Kobra!' Ia segera melesat di antara ranting-ranting pepohonan menuju makam umum yang tidak jauh dari situ.

Kuburan Ki Blandotan terpisah agak jauh dari makam umum. Dekat rumpun bambu yang rimbun. Hanya ditandai sebatang kayu sebagai nisan. Tanpa identitas apapun. Dengan ujung kayu nisan, Si Nenek Siluman mengerahkan tenaga dalam menggai kubur. Dalam waktu singkat ia berhasil menarik keluar mayat Ki Blandotan. Bau busuk segera menyeruak. Ia kemudian membopong mayat itu dan membawanya pergi menuju sarangnya.

Keesokan harinya, kabar tentang kuburan Ki Blandotan yang terbongkar dan hantunya yang gentayangan tersebar dengan cepat. Warga semakin diliputi rasa ketakutan. Kehidupan masyarakat yang terbelenggu ketakhayulan itu dengan mudah menyimpulkan bahwa kematian Ki Blandotan yang misterius itu pasti akan menjadikan arwahnya gentayangan, lalu siapa pun yang berada di sekitar wilayah tersebut bisa menjadi mangsanya.

***

Sekumpulan orang perguruan silat sedang lari pemanasan. Di bagian punggung seragam putih mereka terdapat tulisan berhuruf dan berbahasa jawa yang berarti 'Perguruan Jari Suci'.

Dua lelaki berbadan gempal tiba-tiba menghadang mereka. "Hei berhenti!" seru seorang penghadang sambil berkacak pinggang. "Ilmu silat kelas ayam saja mau dipamerkan! Siapa yang sok suci dan jagoan silakan maju hadapi aku! Atau kalian maju sekalian saja!"

Seorang pemuda yang tampaknya paling senior di antara mereka menghadapi penantang itu dengan tenang. "Maaf, Ki Sanak. Kami sedang latihan, bukan mau pamer ilmu!"

Si penghadang tiba-tiba melancarkan pukulan cepat ke arah kepala pemuda itu. Tapi pemuda bernama Topo Surantanu itu bisa menghindar dengan sangat muda.

"Cak Topo, kamu minggirlah!" teriak seseorang bertubuh tinggi besar dari belakang, "Biarlah aku layani orang-orang sombong yang mau cari penyakit ini!"

Perkelahian pun tidak terhindarkan lagi. Tanpa bicara sedikitpun, satu penghadang lainnya menyerang orang yang dipanggil Cak Topo itu.

Kedua penghadang itu ternyata cukup tangguh. Terbukti mereka berhasil merobohkan lawannya hanya dalam waktu singkat. Tanpa dikomando belasan orang anggota perguruan Jari Suci itu langsung menyerang kedua penghadang dengan penuh emosi. Serangan mereka bagaikan gelombang yang menghempas silih berganti. Akhirnya kedua penghadang itu kewalahan juga.

"Awas ya! Tunggu balasan dari kami pergurunan Benteng Naga!" kata salah satu penghadang sebelum akhirnya kabur.

"Tidak usah dikejar!" cegah Cak Topo kepada rekan-rekannya. "Kita laporkan saja ke Guru Wahid!"

Pada beberapa hari berikutnya, empat orang murid Benteng Naga yang pulang dari belanja di pasar dihadang dua orang yang mengaku murid Perguruan Jari Suci. Tiga orang itu dihajar hingga babak belur dan semua belanjaannya dicampakan di jalanan.

Di hari berikutnya dua orang gadis dari Perguruan Jari Suci dilecehkan oleh seorang yang mengaku dari Perguruan Benteng Naga. Kedua gadis itu sedang naik dokar pulang dari padepokan, akan tetapi di tengah perjalanan kusir itu berhenti karena bertemu dengan teman seperguruannya. Tiba-tiba tercium bau yang harum dan keras sekali, yang membuat kedua gadis itu segera terguling dalam kondisi pingsan. Ketika siuman, mereka berada di pinggir sawah yang sepi, tergeletak di atas tanah dan semua harta benda mereka dilucuti.

Dua kelompok manusia dari dua perguruan silat terbesar di Jombang itu mulai saling mengintai dalam dendam. Masing-masing perguruan tersebut memang punya perbedaan yang sangat menyolok. Keduanya memang selalu mendapatkan informasi berbeda dan akhirnya memiliki pandangan yang sangat bertolak belakang. Terutama, yang satu pendukung setia Majapahit, dan satunya lagi pendukung Demak.

Sebetulnya selama ini mereka bisa hidup berdampingan, bisa saling menerima dan bahkan saling bertukar ilmu tentang bela diri. Para petinggi perguruan juga mengajarkan kepada murid-murid mereka agar selalu berbuat kebajikan dan menjaga kerukunan.

Akan tetapi, akibat rentetan kejadian yang memang bertujuan menghasut dan mengadu domba, kedua perguruan itu pun belakangan menjadi saling bermusuhan. Racun kebencian telah merasuki urat nadi.

Masing-masing anggota kelompok sudah dikuasai oleh fanatisme buta. Aliran silat perguruan merekalah yang dianggap terbaik, sedangkan aliran pihak lain sudah pasti jelek dan penuh cacat. Kesalahpahaman mudah timbul. Tidak akan ada lagi titik temu, kompromi dan toleransi. Kebencian kian memuncak. Pertarungan berdarah hanya tinggal menunggu waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun