Si penghadang tiba-tiba melancarkan pukulan cepat ke arah kepala pemuda itu. Tapi pemuda bernama Topo Surantanu itu bisa menghindar dengan sangat muda.
"Cak Topo, kamu minggirlah!" teriak seseorang bertubuh tinggi besar dari belakang, "Biarlah aku layani orang-orang sombong yang mau cari penyakit ini!"
Perkelahian pun tidak terhindarkan lagi. Tanpa bicara sedikitpun, satu penghadang lainnya menyerang orang yang dipanggil Cak Topo itu.
Kedua penghadang itu ternyata cukup tangguh. Terbukti mereka berhasil merobohkan lawannya hanya dalam waktu singkat. Tanpa dikomando belasan orang anggota perguruan Jari Suci itu langsung menyerang kedua penghadang dengan penuh emosi. Serangan mereka bagaikan gelombang yang menghempas silih berganti. Akhirnya kedua penghadang itu kewalahan juga.
"Awas ya! Tunggu balasan dari kami pergurunan Benteng Naga!" kata salah satu penghadang sebelum akhirnya kabur.
"Tidak usah dikejar!" cegah Cak Topo kepada rekan-rekannya. "Kita laporkan saja ke Guru Wahid!"
Pada beberapa hari berikutnya, empat orang murid Benteng Naga yang pulang dari belanja di pasar dihadang dua orang yang mengaku murid Perguruan Jari Suci. Tiga orang itu dihajar hingga babak belur dan semua belanjaannya dicampakan di jalanan.
Di hari berikutnya dua orang gadis dari Perguruan Jari Suci dilecehkan oleh seorang yang mengaku dari Perguruan Benteng Naga. Kedua gadis itu sedang naik dokar pulang dari padepokan, akan tetapi di tengah perjalanan kusir itu berhenti karena bertemu dengan teman seperguruannya. Tiba-tiba tercium bau yang harum dan keras sekali, yang membuat kedua gadis itu segera terguling dalam kondisi pingsan. Ketika siuman, mereka berada di pinggir sawah yang sepi, tergeletak di atas tanah dan semua harta benda mereka dilucuti.
Dua kelompok manusia dari dua perguruan silat terbesar di Jombang itu mulai saling mengintai dalam dendam. Masing-masing perguruan tersebut memang punya perbedaan yang sangat menyolok. Keduanya memang selalu mendapatkan informasi berbeda dan akhirnya memiliki pandangan yang sangat bertolak belakang. Terutama, yang satu pendukung setia Majapahit, dan satunya lagi pendukung Demak.
Sebetulnya selama ini mereka bisa hidup berdampingan, bisa saling menerima dan bahkan saling bertukar ilmu tentang bela diri. Para petinggi perguruan juga mengajarkan kepada murid-murid mereka agar selalu berbuat kebajikan dan menjaga kerukunan.
Akan tetapi, akibat rentetan kejadian yang memang bertujuan menghasut dan mengadu domba, kedua perguruan itu pun belakangan menjadi saling bermusuhan. Racun kebencian telah merasuki urat nadi.