Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (30): Benih-Benih Pemberontakan

26 Juli 2024   06:19 Diperbarui: 26 Juli 2024   10:35 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Wilayah hutan Glagahwangi, yang merupakan hadiah Bhre Kertabhumi (Brawijaya V) kepada putranya Raden Fatah (Raden Patah), telah berubah menjadi pesantren yang kian hari kian termasyur. Apalagi setelah pembangunan masjid agung yang dipelopori para wali telah selesai. Masjid yang berdiri begitu mengagumkan itu membuat Glagahwangi berkembang pesat dan menjadi simbol kekuatan Islam di Jawa.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu membuat beberapa golongan bangsawan Majapahit mulai merasa khawatir. Mereka mencoba mengingatkan Prabu Bhre Kertabhumi mengenai adanya kemungkinan bahwa kelak Raden Fatah akan memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat sebagai Adipati Terung diperintahkan Sang Prabu untuk memanggil kakaknya, Raden Fatah, agar segera menghadap ke Trowulan.

Setelah pertemuan itu, Bhre Kertabhumi merasa terkesan dan bertambah yakin akan kesetiaan Raden Fatah, sehingga kemudian merestui dan meresmikan kedudukan putranya itu sebagai bupati di Bintara. Tentu saja keputusan raja itu membuat para bangsawan semakin meradang. Ini menjadi titik awal tumbuhnya benih-benih pemberontakan di kemudian hari.

Glagahwangi kemudian berganti nama menjadi Demak, dengan ibu kotanya yang Bernama Bintara. Demak menurut bahasa Kawi memiliki arti 'pemberian'. Jika menurut bahasa Arab, Dema' bisa berarti 'air mata', yang menyiratkan sebuah perjuangan yang penuh penderitaan.

Raden Fatah adalah putra Bhre Kertabhumi dari seorang selir Tionghoa yang bernama Siu Ban Ci, putri seorang ulama di Gresik yang bergelar Syaikh Batong. Karena Sang Permaisuri Dwarawati yang berasal dari Campa merasa cemburu, maka Kertabhumi terpaksa memberikan selirnya itu kepada sepupunya, yaitu Arya Damar yang menjabat adipati di Palembang.

Setelah Siu Ban Ci melahirkan Jin Bun (Raden Fatah), putri Tionghoa itu kemudian dinikahi Arya Damar. Tidak lama kemudian putri itu hamil lagi dan melahirkan Kin San (Raden Kusen). Setelah menginjak dewasa, Raden Fatah dan Raden Kusen merantau ke Jawa dan kemudian keduanya berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Berkat penjelasan Sunan Ampel, Prabu Kertabhumi akhirnya bersedia mengakui Raden Fatah sebagai putranya.

Sementara itu, beberapa bangsawan yang marah dengan raja akhirnya membelot ke Dyah Ranawijaya di Daha. Dyah Ranawijaya adalah putra Suraprabhawa Sang Singawikramawardhana alias Bhre Pandansalas.

Dulunya, Suraprabhawa yang baru berkuasa selama dua tahun di Majapahit, berhasil dikalahkan oleh Bhre Kertabumi. Ia kemudian melarikan diri ke Daha sampai akhirnya meninggal pada tahun 1474 Masehi. Dyah Ranawijaya kemudian berkuasa di Daha menggantikan ayahnya. Ia membagun prasasti untuk mengenang mendiang Suraprabhawa yang kemudian diberi gelar anumerta Bhatara Mokteng Dahanapura.

Dyah Ranawijaya merasa berhak mewarisi mahkota Majapahit sehingga terbesit niat untuk menuntut balas atas penggulingan ayahnya dari singgasana. Setelah mendapat dukungan dari beberapa bangsawan yang membelot, ia semakin yakin bahwa impiannya untuk merebut Majapahit dan memindahkan pusat pemerintahan dari Trowulan ke Daha bakal bisa terwujud. Sayangnya, muncul pesaing baru yang terus bergulir menjadi kekuatan besar, yakni Raden Fatah di Demak Bintara.

Orang-orang Dyah Ranawijaya semakin berpacu dengan waktu, bergerak di bawah tanah, untuk menghimpun kekuatan. Mereka mengumpulkan pendekar-pendekar dengan iming-iming uang dan kekuasaan untuk berpihak kepada perjuangan mereka, tidak peduli itu pendekar dari golongan ilmu hitam. Di sisi lain pendekar-pendekar yang menolak bergabung justru difitnah sebagai penjahat dari aliran sesat. Disamping itu mereka juga melancarkan rumor yang terus dihembuskan di tengah masyarakat bahwa Demak sedang menyusun kekuatan hendak menggulingkan Majapahit.

***

Ki Demang Wiryo adalah salah seorang pendukung Dyah Ranawijaya. Uang pajak yang dipungut dari masyarakat dengan mengatasnamakan Pemerintahan Majapahit itu  ia curi, sebagian untuk dirinya sendiri dan sebagian untuk membiayai perjuangan para pemberontak. Uang yang seharusnya disetorkan ke Majapahit itu ia laporkan telah dirampok oleh Penjahat Besar Ki Blandotan Kobra. Itulah kenapa Ki Blandotan Kobra akhirnya menjadi buronan nomor satu Pasukan Majapahit. Di luar dugaan, Penjahat Besar itu mati secara misterius di wilayah kademangannya sendiri.

Siang itu seorang pembantu pendopo mengetuk pintu dan menyampaikan bahwa Raden Kusno hendak menghadap.

"Suruh dia menunggu!" kata Ki Demang dari cela pintu. Ia sedang menerima laporan dari seorang tilik sandi, "Bagaimana tadi?"

Panji segoro mengulangi ucapannya yang sempat terpotong, "Tidak ada kegiatan yang patut dicurigai di langgar. Setidaknya sampai hari ini. Meskipun jamaah yang ikut sembayang terus bertambah. Dalam catatan saya ada beberapa pendekar besar yang muncul di sekitar langgar. Ki Kelabang Karang, Ki Bongkok Klothok, dan Nini Jailangnak Si Nenek Siluman yang selalu muncul di malam hari!"

"Mungkinkah Si Nenek Siluman itu bisa kita rekrut?"

"Maaf Ki Demang, Nenek Siluman itu justru muncul karena ingin menuntut balas atas kematian Ki Blandotan. Dia mungkin saat ini masih melakukan penyelidikan! Ki Kelabang Karang jelas berpihak ke Majapahit. Ki Bongkok adalah seorang pertapa idealis yang kebal terhadap segala bujuk rayu duniawi! Ada Ki Gong Wojo dan gurunya yang kemungkinan besar bisa kita bujuk untuk bergabung!"

"Hmm.., bagus. Ada lainnya?"

"Di kota ada dua padepokan silat yang cukup memiliki banyak pengikut. Padepokan Benteng Naga milik Mpu Naga Neraka yang berpihak ke Majapahit dan Padepokan Jari Suci milik Kang Wahid yang berpihak ke Demak. Kalau kita bisa membuat kedua padepokan itu saling bermusuhan, itu akan sangat menguntungkan buat kita!"

"Bagus!" sahut Ki Demang penuh semangat. "Mari kita jalankan gagasan cemerlangmu itu!"

"Baik! Saya kira cukup itu dulu, saya mau pamit, Ki Demang!"

"Baiklah. Keluarlah lewat pintu belakang. Jangan sampai Kusno melihatmu!" perintah Ki Demang sambil menyingkirkan cangkir-cangkir di atas meja. Setelah itu ia memanggil pembantu agar mempersilakan Raden Kusno masuk.

"Selamat pagi, Ki Demang!" ucap orang bertubuh tambun itu begitu melangkahkan kaki melewati pintu.

"Selamat pagi, Kus. Silakan duduk! Bagaimana kabarmu?"

"Syukurlah, semua baik-baik saja, Ki Demang!"

"Baik-baik saja? Hmm.., kenapa warga akhirnya mau menerima mayat Blandotan dikubur di situ?"

"Itu karena ada Cak Japa, orang yang paling disegani dan dihormati masyarakat!" Raden Kusno menggeser pantatnya yang lebar sampai kursi tempat duduknya itu berderit-derit. "Tapi dia orang baik. Dia tidak berbahaya!"

"Kalau keadaan langgar?"

"Syukurlah, semua berjalan biasa-biasa saja! Tidak ada yang istimewah!"

"Jadi kamu ke sini mau melaporkan bahwa semuanya baik-baik saja!"

"Ya begitulah, Ki Demang!"

"Sekarang aku ingin semua tidak berjalan baik-baik saja!" kata Ki Demang dengan mimik muka serius, "Dengar, suruh orang-orangmu menyebarkan cerita bahwa Ki Blandotan bangkit dari kubur dan menjadi arwah gentayangan yang mau balas dendam! Katakan bahwa itu akibatnya karena mereka mengijinkan mayatnya dikubur di wilayah kita! Kali ini jangan sampai gagal!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun