Oleh: Tri Handoyo
"Ya Allah, kami beribadah, bersujud dan berdoa hanya kepada-Mu!" ratap Syech Fadel Abdullah seraya menahan isak tangis, "Kami berusaha dan berjuang dengan harapan semata-mata demi meraih rahmat-Mu, dan rasa takut akan siksaan-Mu. Kami menyakini bahwa azab-Mu yang amat pedih akan menimpah orang-orang kafir.Â
Ya Allah, kuatkan saudara-saudara mujahidin kami di Gaza. Lindungi dan menangkan mereka. Menangkan mereka ya Allah!" Air mata yang menggenang di pelupuk mulai jatuh. Terdengar ia sesenggukan seraya telapak tangannya tiada henti mengusap linangan air mata. Ribuan jamaah pun tak kuasa menahan air matanya untuk tumpah membasahi bumi.
"Ya Tuhanku!" sambungnya dengan suara menggelegar, "Hancurkanlah orang-orang Yahudi Zionis laknatullah. Tunjukkanlah murka-Mu yang teramat dasyat kepada Yahudi Zionis iblis! Allahu akbar..!! Allahu akbar..!!"
Tak diragukan lagi, melihat dukungan hebatnya kepada Palestina membuat sosok Syech Fadel menjadi salah satu ulama yang paling kharismatik dan disegani di Palestina. Bahkan ia kemudian memperoleh kepercayaan yang luar biasa dari pihak militer Mesir yang berjaga di perbatasan Palestina, sehingga punya akses leluasa keluar masuk kamp untuk memberikan motivasi dan memimpin ibadah serta doa kepada para tentara.
Percaya atau tidak, apabila Fadel Abdullah ternyata adalah seorang agen rahasia Mossad? Ya, dia adalah seorang imigran Yahudi dari Arab yang direkrut untuk menjadi seorang intelijen. Ia dilatih untuk menghafal Alquran, menguasai hadist dan syariat Islam untuk kemudian disusupkan ke Palestina sejak tahun 1946.
Selama menjadi mata-mata, ia berperan layaknya seorang ulama, bergamis, bersorban, dan berjanggut panjang. Dia dengan begitu piawai menyampaikan serangkaian khotbah motivasi dan dukungan kepada para pejuang mujahidin.
Sebuah peran yang sempurna, yang mengingatkan kita kepada sosok Snouch Horgonje di Nusantara. Seorang penipu paling berbakat sedunia yang juga memiliki kepiawaian dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan umat seputar fiqih dan memberikan petuah-petuah sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Hingga dirinya mendapat julukan kehormatan "Syekh".
Begitu juga dengan Fadel Abdullah, namun ia memiliki kelebihan khusus yang tidak dimiliki oleh Snouch, yakni setiap habis sholat Fadel senantiasa memotivasi dan mengobarkan semangat untuk terus berjihad dan mendoakan kemenangan bagi mereka atas orang-orang kafir.
Kisah Fadel Abdullah tersebut diungkap secara detil dalam buku berjudul 'Jawaasiis wa Khowanah' karya penulis Mesir Ibrahim al-Arabi.
Sulit untuk dipungkiri bahwa Fadel adalah salah seorang intelijen yang paling sukses menjalankan penyamarannya. Terbukti ia berhasil bertahan dari tahun 1946 hingga 1984.
Namun, sebagaimana ungkapan bijak yang berbunyi 'sepandai-pandai menyimpan bangkai, akhirnya akan tercium pula'.
Pada saat tentara Mesir berjaga di tanah Palestina, Fadel menerima tugas baru untuk menjalin hubungan dengan mereka. Dia mulai mendekati komandan batalyon Ahmed Abdul Aziz serta wakilnya Kamal Aldin Hosein.
Upaya pendekatan itu berhasil dengan baik. Fadel dipercaya untuk memimpin serangkaian ritual ibadah bagi para tentara Mesir. Fadel juga leluasa mengadakan pengajian dan diberi hak khusus untuk mengunjungi kamp secara rutin.
Namun ada sesuatu yang menimbulkan kecurigaan bagi intelijen Mesir. Kecurigaan itu berawal dari keberadaan Fadel yang selalu tidak terdeteksi di waktu tertentu di saat menjelang tengah malam.
Ditambah lagi intelijen Mesir berhasil mengungkap identitas asli Fadel yang rupanya bukan orang asli Palestina. Itu membuat intelijen Mesir akhirnya memantau setiap aktivitas ulama tersebut secara seksama.
Pada suatu ketika, intelijen Mesir mendapati Fadel tengah menyelinap ke camp orang-orang Israel. Kecurigaan semakin tak terbantahkan ketika seorang dokter Mesir mengkonfirmasi kehadiran Fadel yang rutin ke kamp-kamp Israel.
Seorang perwira Mesir lantas mengusulkan rencana untuk menculik dan membunuh mata-mata tersebut. Ide itu mendapat persetujuan dari komandan militer yang kemudian menugaskan dua pasukan elite untuk melaksanakannya.
Hanya dalam semalam, Fadel yang telah menjadi mata-mata Israel selama lebih dari 40 tahun berhasil ditangkap. Setelah itu pengadilan militer dibentuk dan hukuman mati dijatuhkan terhadap Fadel atas tuduhan spionase. Perjalanan Fadel sebagai mata-mata pun tamat.
Kisah tentang penyamaran para agen rahasia juga diungkap dalam sebuah buku karya Matti Friedman. Buku berjudul 'Spies of No Country: Secret Lives at the Birth of Israel' tersebut berhasil memenangkan Natan Prize dan the Canadian Jewish Book Award for history pada tahun 2019.
Matti Friedman adalah seorang jurnalis dan penulis yang pernah meraih berbagai penghargaan. Ia dilahirkan di Toronto tapi lebih banyak menjalani kehidupannya di Jerusalem.
Organisasi Mossad mencari imigran Yahudi yang mahir berbahasa Arab untuk nantinya disusupkan di Palestina dan negara Arab sekitarnya.
Proses seleksi dilakukan dengan sangat ketat dan cermat mengikuti beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi. Misalnya, selain menguasai bahasa Arab, juga pernah menetap lama di negara-negara Arab, dan mampu berbicara dengan dialek lokal tertentu.
Setelah lolos seleksi, mereka menjalani pelatihan intensif selama bebepara tahun. Pelatihan ini melibatkan keluar masuk kota-kota Arab di sekitar Palestina untuk mempelajari budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, demi untuk memudahkan memanipulasi dan mengelabuhi dengan berbagai propaganda.
Tentu saja, yang lebih penting dari itu, beberapa dari mereka dilatih khusus untuk menghafal al-Qur'an, dan memahami ajaran syariat Islam, agar bisa dianggap sebagai seorang ulama.
Apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah Fadel Abdullah di atas? Yaitu, seorang agen intelijen itu tidak mungkin bertindak secara terang-terangan, misalnya berkomunikasi dan bahkan berkunjung ke Israel, apalagi kemudian didokumentasikan dan beritanya diliput secara terbuka. Spionase yang asli itu justru bertindak sebaliknya, misal aktif mendukung Palestina dan gencar mengecam serta mengutuk israel seolah-olah anti, padahal anteknya.
Kalau ada agen intelijen kok terangan-terangan berkomunikasi dan berkunjung ke Israel, itu pasti intelijen abal-abal. Anehnya, kendati tidak masuk akal namun dipercaya oleh mereka yang akalnya bebal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H