Organisasi Mossad mencari imigran Yahudi yang mahir berbahasa Arab untuk nantinya disusupkan di Palestina dan negara Arab sekitarnya.
Proses seleksi dilakukan dengan sangat ketat dan cermat mengikuti beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi. Misalnya, selain menguasai bahasa Arab, juga pernah menetap lama di negara-negara Arab, dan mampu berbicara dengan dialek lokal tertentu.
Setelah lolos seleksi, mereka menjalani pelatihan intensif selama bebepara tahun. Pelatihan ini melibatkan keluar masuk kota-kota Arab di sekitar Palestina untuk mempelajari budaya dan kebiasaan masyarakat setempat, demi untuk memudahkan memanipulasi dan mengelabuhi dengan berbagai propaganda.
Tentu saja, yang lebih penting dari itu, beberapa dari mereka dilatih khusus untuk menghafal al-Qur'an, dan memahami ajaran syariat Islam, agar bisa dianggap sebagai seorang ulama.
Apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah Fadel Abdullah di atas? Yaitu, seorang agen intelijen itu tidak mungkin bertindak secara terang-terangan, misalnya berkomunikasi dan bahkan berkunjung ke Israel, apalagi kemudian didokumentasikan dan beritanya diliput secara terbuka. Spionase yang asli itu justru bertindak sebaliknya, misal aktif mendukung Palestina dan gencar mengecam serta mengutuk israel seolah-olah anti, padahal anteknya.
Kalau ada agen intelijen kok terangan-terangan berkomunikasi dan berkunjung ke Israel, itu pasti intelijen abal-abal. Anehnya, kendati tidak masuk akal namun dipercaya oleh mereka yang akalnya bebal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H