Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (26): Mengendus Sosok Misterius

13 Juli 2024   04:49 Diperbarui: 16 Juli 2024   12:10 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

 

"Langgar kecil itu hanya memiliki sebuah pintu dan dikepung puluhan orang, jadi mustahil ada orang yang bisa menyelinap masuk dan keluar tanpa diketahui!" papar Raden Kusno kepada Ki Demang Wiryo dan beberapa anak buahnya.

"Di dalam hanya anak-anak kecil dan orang jompo kerempeng, menurutmu siapa di antara mereka yang pantas menjadi pembunuhnya?" tanya Ki Demang.

"Tidak ada!" jawab Raden Kusno singkat sambil memasukan sepotong pisang goreng ke mulutnya, "Tidak ada. Makanya orang bilang hanya malaikat pencabut nyawa pelakunya!"

"Jangan buat aku ketawa! Dan jangan pikir aku bisa dibodohi! Coba ceritakan siapa orang jompo kerempeng itu sebenarnya!"

Dengan nada suara hati-hati Raden Kusno menjawab, "Kalau tidak salah dulu orang memanggilnya Mbah Dhara, kemudian karena dia suka memberi makan kucing-kucing liar di pelataran langgar, akhirnya mereka menjulukinya Mbah Kucing. Sehari-hari dia merawat langgar dan mengajar anak-anak soal agama Islam. Tidak ada yang istimewa!"

"Sebentar. Tadi kamu menyebut namanya Mbah Dhara, apa mungkin dia Jirnodhara, Sang Mahapati Gajah Mada yang menghilang misterius itu?" tanya Ki Paimo yang kini tampak sangat serius.

"Hah..? Rasanya tidak mungkin!" bantah Ki Demang, "Jika Patih Gajah Mada sekarang masih hidup, umurnya sudah mendekati seratus lima puluh tahun. Tidak.., itu tidak mungkin!". "Oh iya, katanya ada seorang remaja yang berani menantang Ki Paimo, kamu tahu siapa dia, Kus?"

"Dia remaja yang kadang sembayang di langgar. Orang bilang namanya Tulus, atau Joko Tulus siapa gitu. Dia anak yatim piatu. Jangan hiraukan anak ingusan itu!"

Saat itu seorang tabib, Ki Dewo, datang menghadap Ki Demang Wiryo. Setelah memberi hormat dia berkata. "Mohon ijin mau melaporkan, Ki Demang!" ujarnya dengan kepala masih tetap tertunduk.

"Ya silakan!"

"Hasil pemeriksaan saya, kedua lengan Ki Blandotan telah dilumpuhkan terlebih dahulu sebelum serangan mematikan ke arah jantung. Pasti tujuannya untuk membebaskan kedua anak kecil yang disandera. Jadi ada dua kali serangan yang sangat cepat. Syaraf-syaraf di kedua lengannya putus! Jantungnya hancur seperti daging yang dicacah. Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tubuh tak bernyawa itu roboh di tempat di mana ia pertama menginjakkan kaki dengan sempurna. Saya belum pernah dengar ada ilmu mematikan semacam ini!"

Suasana mendadak sepi. Angin malam yang dingin menerobos melewati kelambu jendela seolah mengirimkan kengerian yang sama. Orang-orang yang berada di ruang tamu itu merasa ngeri membayangkan kehebatan ilmu si pembunuh misterius itu.

Selama ini Ki Blandotan Kobra dikenal sebagai pendekar yang sangat ambisius untuk menjadi orang yang paling sakti di Nusantara. Dia tidak pernah berhenti untuk terus berlatih demi memperdalam ilmu silatnya. Sudah tak terhitung berapa banyak pendekar-pendekar yang menghembuskan nyawa di tangannya, tapi kematiannya sendiri sungguh tragis. Benar-benar sulit dipercaya.

***

Ki Demang Wiryo yang sangat meyakini bahwa Mbah Kucinglah pembunuh itu, sengaja mau menguji. Ia curiga bahwa kakek kerempeng itu sebenarnya sedang bersandiwara. Awalnya ia hendak menawarkan bantuan untuk memperbaiki langgar dan meminta Mbah Kucing untuk menghitung biaya yang dibutuhkan. Ki Demang membawa seorang tukang bangunan untuk membantu merencanakan apa-apa yang perlu diperbaiki serta anggaran biayanya.

Di tengah percakapan Mbah Kucing dan tukang bangunan, Ki Demang mendadak melancarkan pukulan ke arah dada. Dia yakin secara reflek, seorang pendekar pasti akan menangkis atau mengelak dari sebuah serangan. Tetapi alangkah mengejutkan, ternyata serangan itu tepat mengenai sasaran. Tubuh Mbah Kucing terpental dua jengkal dan roboh sambil meludahkan sepercik darah.

Dengan wajah keheranan Mbah Kucing menatap Ki Demang dengan pandangan memelas. Orang-orang yang terkejut dengan kejadian itu segera datang menolong.

"Maaf! Apa yang terjadi Ki Demang?" tanya salah seorang dari mereka.

Ki Demang terpaku di tempatnya. Ia bingung, menyesal dan merasa malu. Ia kini benar-benar yakin bahwa kakek tua itu sama sekali tidak menguasai ilmu bela diri. Kemudian ia meminta maaf dan memberikan uang sebagai tebusan sebelum akhirnya menyingkir dari tempat itu.

***

Sejak peristiwa kematian Ki Blandotan Kobra, warung ayam bakar hampir setiap hari dipenuhi pengunjung. Tentu saja itu sangat menguntungkan bagi si pemilik tapi sekaligus mengkhawatirkan, sebab sebagian dari pengunjung itu adalah pendekar-pendekar yang cukup memiliki pamor di tanah Jawa. Potensi akan terjadinya konflik di antara mereka itulah yang sangat dikhawatirkan.

Panji Segoro, seorang dari kademangan ditugaskan secara rahasia untuk mengamati segala aktifitas di Langgar Al Akbar yang kecil itu, langgar yang menjadi kuburan Sang Penjahat Besar. Panji mencatat daftar nama orang-orang penting yang muncul. Ki Singo Bedander dari pedalaman hutan Kabuh tiba-tiba mau menampakan diri di warung. Ki Kelabang Karang, seorang kepala keamanan pengawal Tumenggung Raden Rangga Wisesa dari Mojokerto datang dengan menunggang kuda bersama dua orang anak buahnya. Ki Bongkok Klothok, pendekar dari Gunung Klothok Kediri yang terkenal dengan Ajian Lembu Sekilannya yang sempurna datang seorang diri. Tiga orang syech berbaju gamis dan bersurban bersama rombongannya, yang sedang dalam perjalanan dari Ampel hendak menuju Demak, menyempatkan diri mampir dan shalat di langgar.

Pendekar Celurit Setan yang sangat disegani terlihat di sekitar langgar di malam hari. Joko Cluring datang sebentar dan kemudian menghilang. Kyai Broto Brantas dan dua muridnya tampak ikut sembayang isyak di langgar. Masih banyak catatan mengenai pendekar-pendekar yang datang dengan menyamar. Satu hal yang membuat kemunculan mereka, yakni ingin mengendus sosok misterius yang sangat sakti itu.

Ketika malam semakin larut, tampak seorang perempuan dengan tongkat kayunya yang meliuk-liuk seperti ular berdiri di atas dahan sebuah pohon Trembesi. Dia dikenal dengan julukan Nini Jailangnak Si Nenek Siluman. Kulit mukanya yang pucat seperti lilin telah kisut berkerut-kerut.

Panji Segoro tidak menyadari sejak kapan perempuan itu berdiri dan mengamati langgar dari atas sana. Tapi satu hal yang diyakininya, bahwa Si Nenek Siluman itu hendak menuntut balas akan kematian Ki Blandotan. Menurut desas-desus mereka adalah sepasang kekasih.

Perempuan yang mengenakan pakaian panjang dan longgar berwarna merah itu tidak akan muncul kecuali akan ada kejahatan yang direncanakannya, tapi ia pasti bingung kepada siapa balas dendam itu harus dilampiaskan. Ia kemudian sadar telah ada seseorang yang mengamati keberadaannya.

'Hmm.., sekarang kau lihat ini!' batin Nenek Siluman itu sambil menggerakkan tongkat yang dipegangnya. Sebatang dahan pohon Akasia yang berjarak sekitar lima tombak darinya tiba-tiba bergetar hebat dan kemudian daun-daunnya yang mengering berguguran di atas tanah.

Ketika Panji kembali memalingkan wajah ke arah nenek itu, dahan tempatnya berpijak tadi telah kosong. Entah ke mana perginya perempuan yang memang tepat mendapat julukan siluman itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun