Oleh: Tri Handoyo
Tatkala bangun pagi, Japa merasa ada yang janggal. Tidak seperti biasanya. Ia tidak melihat Eyang Dhara, hingga hampir tengah hari. Tidak ada satu pun petunjuk ke mana perginya kakek sakti itu. Hanya saja, Eyang Dhara semalam memberikan sebuah bungkusan kepadanya sambil berkata, "Aku titipkan ini padamu, Japa!"
Bocah yang kini telah beranjak remaja itu lalu berpaling ke sebuah kantung bekal yang tampaknya sengaja ditinggal. Barang yang dititipkan itu, ketika dilihat isinya, ternyata dua buah kitab. Yang satu tipis, dan yang satunya cukup tebal. Secarik kain tua digunakan untuk membungkus, di mana tercantum sebuah nama. Mungkin itu nama si pemilik kitab. Satu-satunya petunjuk yang bisa ditelusuri.
Ia tetap menunggu dan berharap Eyang Dhara kembali, tapi setelah melewati malam dan di keesokan harinya sosok sakti itu belum juga muncul, maka ia memutuskan untuk pergi mencarinya. Ia sempat menaruh curiga ketika kemarin kakek itu menitipkan barang, ada kesan seolah-olah mereka akan berpisah. Saat itu sebetulnya ia sudah berniat bertanya, tapi entah kenapa diurungkannya.
Sebagai murid yang baik, ia harus berusaha menjalankan amanah gurunya, yakni menemui seseorang bernama Suto Gumilar, satu-satunya nama di kain pembungkus kitab dan menyerahkan titipan itu. Namun sebelumnya, ia ingin pulang ke rumah yang telah ditinggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Ia ingin bertemu ayah dan saudara-saudaranya. Di samping tentu saja ia akan mencari keberadaan Eyang Dhara yang mendadak pergi secara misterius.
Kurang lebih setengah hari waktu dihabiskan untuk menempuh perjalanan pulang. Maghrib baru saja berlalu. Langit tampak murung dikurung mendung. Bulanpun enggan menampakkan diri, menyelinap di balik segumpal awan hitam. Gerimis turun tipis.
Rumah berhalaman luas itu tampak sepi. Jelas tidak berpenghuni. Meskipun bangunannya masih dalam kondisi bagus, tapi sangat kotor. tampak seperti tak terurus dalam jangka waktu lama. Tanaman liar dibiarkan tumbuh menyemak. Di seberang jalan terdapat hamparan sawah yang terpisahkan oleh sungai kecil.
Untuk beberapa saat Japa berdiam diri di halaman depan rumah, berteduh di bawah pohon Asem yang rindang. 'Apa semua penghuni rumah ini pindah?' batinnya bertanya-tanya. 'Kenapa rumah besar ini dibiarkan kosong dan tak terurus?'
Ia menunggu orang lewat yang mungkin bisa ditanyai mengenai pemilik rumah tersebut, ke mana ayah, ibu tiri, dan saudara-saudara tirinya berada. Setelah dirasa cukup lama dan tak ada satu pun orang lewat, maka ia memutuskan mendatangi rumah terdekat, rumah yang dulu paling sering dikunjunginya semasa kecil. Dari jarak sepuluh meter ia melihat tiga orang yang sedang berbincang-bincang santai di teras rumah.
"Selamat sore paman-paman! Mohon maaf saya mau bertanya?" ucap Japa setelah menyalami ketiga orang yang tampak menatapnya dengan pandangan penasaran.