Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Merdeka Mencela

29 Juni 2024   09:31 Diperbarui: 1 Juli 2024   04:13 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Angin sejuk malam itu membuat mata ketiga anak Semar nyaris terpejam. Mereka berusaha keras membuka lebar matanya. Sementara Semar sendiri hanya sedikit menggigil digerayangi udara dingin perbukitan.

"Bagaimana pendapat romo mengenai tragedi Bubat? Siapakah yang harus disalahkan dalam peristiwa ini?" tanya Bagong dengan mimik muka menahan kantuk.

"Ada pepatah," jawab Semar, "Becik ketitik, ala ketara, yang artinya bahwa kebaikan itu terlihat jelas. Keburukan itu terlihat nyata. Nah, dalam kasus Bubat, apa yang sudah jelas? Apa yang sudah nyata? Setelah menganalisa itu baru kita bisa mengatakan pihak mana yang berada di posisi benar?"

"Yang jelas dan nyata adalah Gajah Mada mendapat celaan dari masyarakat luas!" sahut Gareng, "Bukan begitu, Mo?"

"Banyak demo di berbagai daerah menuntut Gajah Mada mundur!" timpal Petruk, "Jadi artinya Gajah Mada salah, bukan begitu, Mo?"

Semar menghela nafas panjang sebelum menjawab datar, "Kata 'kebenaran' dalam arti sempit adalah apabila suatu pernyataan memiliki kesesuaian dengan fakta atau realitas sebagaimana adanya. Lalu apakah kita tahu fakta bahwa masyarakat memang betul mencela Gajah Mada? Ataukah itu hanya klaim sepihak?"

Anak-anak Semar hanya terdiam mendengar penjelasan itu.

"Tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa adalah ketika masyarakatnya merdeka mencela. Majapahit hancur juga diawali dengan hal ini."

Suara gemericik air sungai di samping rumah menambah suasana malam itu begitu syahdu. Namun menambah pula semangat ketiga anak itu untuk menggali pengetahuan lebih jauh.

"Perjalanan kebenaran itu butuh proses panjang," sambung Semar, "Hingga bisa melewati masa ribuan tahun, jadi alangkah aneh jika kemudian ada pihak yang merasa paling tahu kebenaran hanya berdasarkan pada sepenggal episode dari jutaan episode perjalanan kehidupan!"

"Jadi kalau menurut romo informasinya yang salah?" tanya Bagong.

"Nah, tugas pencari kebenaran adalah untuk menguji sebuah informasi, sejauh mana dia sudah sesuai dengan fakta."

Ketiga anak Semar merespon dengan manggut-manggut sebagai tanda sepakat.

"Ketika suatu informasi yang salah namun terus diulang-ulang, maka yang akan terjadi adalah info itu akan dianggap sebagai sebuah kenyataan, dan tahap berikutnya diterima sebagai kebenaran. Ini adalah konsep dasar propaganda. Oleh karena itu, membangun kesadaran akan pentingnya literasi itu wajib. Literasi bukan cuma sekadar baca buku, melainkan semacam wawasan, sehingga dengan kekayaan literasi kita bisa terhindar dari terperosok ke jurang absolutisme. Yang memiliki ciri-ciri gegabah dalam mengambil kesimpulan dan gampang menghakimi! Kalian paham?"

"Paham, Mo! jawab mereka serempak.

"Kebenaran itu tidak ditentukan oleh berapa banyak orang yang mencela!" Imbuh Semar.

Semar sebetulnya merupakan sosok yang memiliki posisi lebih tinggi ketimbang para dewa lainnya. Ia telah mencapai puncak kayangan, namun kemudian turun ke bumi demi mengabdikan ilmu pengetahuannya. Ia membimbing para raja dan membela kepentingan rakyat banyak.

Sementara kebanyakan dewa lainnya berhenti pada zona nyaman manunggaling kawula Gusti, 'jumeneng' di kayangan. Mereka Mungkin beranggapan itulah tingkatan tertinggi.

Gareng sambil merapatkan sarungnya bertanya dengan antusias, "Bagaimana pendapat Romo mengenai persoalan Palestina?"

"Persoalan?" ujar Semar dengan nada balik bertanya.

"Benar, Mo! Perhatian dunia internasional belakangan kan tertuju ke persoalan di sana!"

"Hmm.., tidak ada persoalan di sana!" jawab Semar santai sambil menyeruput wedang kopi jahe.

"Ha..!" Gareng dan Petruk langsung terperangah mendengar jawaban sosok yang selama ini dianggap pakar kebijaksanaan di dunia wayang itu.

"Maaf, Mo, sejak perang di sana kembali meletus sampai saat ini," timpal Petruk sambil menampakan wajah penasaran, "Ribuan rudal berjatuhan merenggut puluhan ribu korban jiwa, lalu bagaimana mungkin Romo bilang tak ada persoalan?"

Gareng dan Bagong sepakat dengan Petruk sehingga kepalanya terangguk-angguk samarkan rasa kantuk. Sekalipun sudah terbiasa mendengar pernyataan 'nyeleneh' dari Semar, namun itu tetap mengagetkan.

Semar menjawab tenang, "Ngger, setiap penyakit itu pasti ada obatnya. Setiap masalah pasti ada solusinya. Setiap soal itu juga pasti ada jawabannya. Betul? Nah, perang di sana itu tak ada solusinya. Tidak ada jawabannya. Maka artinya itu bukan persoalan!"

"Tapi demonstrasi mengutuk, mengecam dan mencela Israel terjadi di banyak tempat, Mo!" sahut Gareng.

"He..he.., kalian tentu belum lupa kan? Kebenaran tidak ditentukan oleh banyaknya orang yang mencela. Apalagi sekarang ini memang eranya merdeka mencela. Artinya ini era mendekati kehancuran!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun