Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (18): Tragedi Bubat

26 Juni 2024   14:22 Diperbarui: 26 Juni 2024   14:30 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah rombongan Kerajaan Sunda Galuh. Tampak kereta berwarna putih dengan ornament kuning keemasan yang ditarik oleh empat ekor kuda meluncur di atas jalanan, diikuti beberapa kereta dalam kawalan pasukan berkuda yang gagah. Di urutan paling belakang terdapat empat kereta yang khusus memuat berbagai perbekalan. Tidak terlalu banyak yang mengiringi, hanya beberapa keluarga istana yang sekaligus perwira tinggi, pengawal pribadi dan pasukan khusus. Mengingat maksud dan tujuan ke Majapahit adalah untuk melangsungkan pesta pernikahan.

Setelah menempuh perjalanan panjang dan memerlukan istirahat beberapa kali, sampailah mereka harus menyeberangi Sungai Brantas. Sungai yang menampilkan sisi eksotis dengan panjang 320 kilometer itu menjadikannya sebagai sungai terpanjang di Jawa Timur.

Selepas dari Jombang, tibalah mereka di pintu gerbang Majapahit. Banyak warga di sepanjang jalan yang tercengang menyaksikan rombongan itu, menanti dengan penuh rasa penasaran. Seperti apakah putri Sunda yang telah memikat hati baginda raja itu. Rombongan itu meluncur terus ke timur hingga mencapai lapangan Bubat.

"Kita telah sampai di Bubat," lapor sang penunjuk jalan kepada Raja Lingga Buana. Bubat adalah lapangan berumput yang biasa dijadikan tempat diselenggarakannya hiburan rakyat. "Dari Bubat, kita masih harus menuju Manguntur," imbuhnya menguraikan beberapa nama wilayah yang akan dilewati sebelum mencapai pusat kota Majapahit. Sambil melihat catatan ia menyebut tempat seperti Darma Anar, Karang Kajraman, Karang Jaka, dan Palintahan. Dari nama-nama itu, hanya Palintahan yang hingga kini memiliki petunjuk sebagai nama wilayah di tenggara Gunung Penanggungan, yakni Plintahan.

Tidak lama kemudian rombongan itu ditemui oleh sekelompok pasukan Majapahit, yang menyambut kedatangan mereka dengan penuh suka-cita.

Setelah saling mengucapkan salam, salah seorang yang mengaku sebagai utusan Gajah Mada menyampaikan pesan dari mahapatih bahwa Putri Dyah Pitaloka agar diserahkan ke Kerajaan Majapahit sebagai persembahan. Maksudnya sebagai tanda bahwa Sunda Galuh menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.

Tentu saja raja Sunda kaget dan tidak senang mendengar ucapan utusan tersebut. Betapapun sikap itu dianggap merendahkan harga diri, akan tetapi lantaran segan terhadap Mahapatih Gajah Mada yang mempunyai nama besar, ia tetap menaruh hormat dan berusaha menahan emosi.

Berbeda dengan sang raja, panglima yang berada di samping raja, yang memang berwatak pemberani, berkata keras. "Hei saudara utusan, omongan macam apa yang kau katakan itu?" Ia dan semua pasukannya merasa sangat tersinggung.

"Mohon maaf beribu maaf, hamba hanya ditugaskan untuk menyampaikan pesan Mahapatih Gajah Mada!"

"Siapa namamu?"

"Mohon maaf, nama hamba Suto Gumilar!" jawab sang utusan sambil membungkukkan badan dengan sopan.

Melihat bahwa si utusan tak lain hanyalah seorang pemuda bersuara lemah-lembut, berbadan langsing dan berpakaian layaknya juru tulis istana, maka panglima Sunda berani memandang rendah sekali.

 "Eh, Suto! Banyak orang bilang bahwa tuanmu adalah seorang tokoh dunia persilatan yang gagah dan namanya telah menggemparkan dunia. Tidak tahunya dia hanyalah seorang tidak tahu aturan! Ataukah dia sengaja memandang sebelah mata kepada kami, hingga berani berbuat kurang ajar?"

Sungguhpun Suto tampaknya lemah-lembut dan baru berusia dua puluhan tahun saja, tetapi sebenarnya ia salah seorang prajurit andalan istana yang selama tiga tahun lebih namanya telah diperhitungan di dunia persilatan. Selain kecendikiawannya yang luar biasa, ia juga terkenal sebagai pendekar yang pilih tanding.

Kini mendengar orang memandang rendah kepadanya, terutama kepada tuannya, ia menanggapi dengan tersenyum simpul. Dengan suara tetap datar dan sabar ia berujar, "Tuan panglima, bicara anda agak berlebihan. Mengapa anda anggap kami berbuat kurang ajar?"

"Jangan pernah berharap Sundah Galuh akan tunduk kepada Majapahit!" sahut Raja Lingga Buana dengan memendam amarah.

Si panglima menambahi, "Harap kau tahu, saudara Suto, bala tentara kami tidak pernah terkalahkan di medan perang!"

"Mohon maaf wahai Baginda Prabu Lingga Buana," jawab Suto, "Ketahuilah, pasukan kami pun tak terkalahkan di medan perang, tapi kami tidak sedikitpun berniat untuk perang melawan kerajaan anda!"

Raja Lingga Buana akhirnya memintah agar raja Majapahit sendiri yang datang menjemput pengantin dan rombongannya di tempat itu, atau mereka akan kembali pulang dan membatalkan semua kesepakatan. Sang utusan kemudian meminta ijin untuk menyampaikan permintaan itu kepada Sang Mahapatih Gajah Mada.

Sang Mahapatih dihadapkan pada dilema, baik menyetujui maupun menolak persyaratan Sunda, itu sama-sama merugikan. Karena menurut pertimbangannya, itu akan membahayakan jalinan persatuan Nusantara yang selama ini sudah dengan susah payah dibangun.

Sebuah persatuan yang pada masa itu dapat dipertahankan di atas wibawa Sang Penguasa Kerajaan Majapahit. Para raja lain di bawah Majapahit akan membaca peristiwa tersebut sebagai isyarat melemahnya kepemimpinan Sang Prabu Hayam Wuruk. Hal itu dikhawatirkan bisa memancing berkobarnya pemberontakan dari kerajaan-kerajaan lain di bawah Majapahit.

Upaya mempersatukan Nusantara demi menuju era keemasan harus terus diperjuangkan. Ada peribahasa terkenal yang biasa digunakan untuk mengobarkan semangat para prajurit, yang berbunyi 'Rawe-rawe rantas malang-malang putung'. Makna yang terkandung dari peribahasa itu adalah bahwa segala sesuatu yang merintangi cita-cita harus disingkirkan. Tidak ada pilihan lain. Arti harafiahnya adalah bahwa tanaman menjulur yang menghambat harus dibabat dan yang menghalang-halangi harus dipatahkan.

Gajah Mada memandang gumpalan mendung hitam yang bergulung-gulung di atas langit Bubat. Sempat terpikirkan apakah itu isyarat alam. Firasat buruk membuatnya gelisah. 'Akan ada peristiwa apa yang bakal terjadi?' batinnya bertanya-tanya.

Akhirnya ia pun turun tangan langsung untuk berusaha membujuk raja. Malangnya, kesalahpahaman sudah terjadi sejak awal, sehingga adu argumentasi tidak dapat dihindari. Kedua belah pihak sama-sama mempertahankan pendirian dan tidak mau mengalah.

Kendati Prabu Lingga Buana merasa harga dirinya terinjak-injak, namun sebagai seorang pemimpim yang arif, ia tidak bertindak gegabah. Ia tidak serta-merta mengadakan perlawanan secara fisik. Dipandangnya wajah mahapatih tersohor itu dan berusaha memahami jalan pikirannya. Ia tidak mengerti mengapa Majapahit sampai tega berbuat demikian.

Di sisi lain Gajah Mada pun sulit percaya Prabu Lingga menolak bekerja sama dengan pihak Majapahit. Alasan apa yang membuat raja itu marah hingga mengancam akan membatalkan pernikahan.

Namun kearifan sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya. Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan tersebut, khususnya panglima dan pasukannya, pasti merasa dilecehkan. Satu lesatan tombak, entah terlepas dari tangan siapa, tiba-tiba menerjang cepat ke arah wajah Gajah Mada. Mahapatih itu berkelit dengan gesit.

Tombak itu meluncur mengenai salah seorang pasukan di belakang Gajah Mada hingga menembus leher, lalu tersungkur di tanah dan tewas seketika. Suasana menjadi tidak terkendali. Bentrokan pun tidak terlelakkan. Rombongan pasukan Sunda Galuh yang sebetulnya tidak siap berperang, terpaksa harus bertempur mati-matian. Pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak menghendaki peristiwa itu terjadi, terpaksa menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi amukan mereka.

Akhirnya, dalam waktu singkat seluruh anggota rombongan pasukan Sunda Galuh gugur di lapangan Bubat, termasuk Prabu Lingga Buana dan permaisurinya. Putri Dyah Pitaloka akhirnya memilih mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Tidak ada seorang pun yang mengira acara yang mestinya penuh kebahagiaan itu akan berakhir begitu memilukan. Sangat tragis.

Tragedi Bubat merupakan halaman hitam dari sepenggal sejarah kebesaran Majapahit. Tragedi itu juga menjadi lembaran kelam bagi karir politik Sang Mahapatih Gajah Mada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun