Sebuah persatuan yang pada masa itu dapat dipertahankan di atas wibawa Sang Penguasa Kerajaan Majapahit. Para raja lain di bawah Majapahit akan membaca peristiwa tersebut sebagai isyarat melemahnya kepemimpinan Sang Prabu Hayam Wuruk. Hal itu dikhawatirkan bisa memancing berkobarnya pemberontakan dari kerajaan-kerajaan lain di bawah Majapahit.
Upaya mempersatukan Nusantara demi menuju era keemasan harus terus diperjuangkan. Ada peribahasa terkenal yang biasa digunakan untuk mengobarkan semangat para prajurit, yang berbunyi 'Rawe-rawe rantas malang-malang putung'. Makna yang terkandung dari peribahasa itu adalah bahwa segala sesuatu yang merintangi cita-cita harus disingkirkan. Tidak ada pilihan lain. Arti harafiahnya adalah bahwa tanaman menjulur yang menghambat harus dibabat dan yang menghalang-halangi harus dipatahkan.
Gajah Mada memandang gumpalan mendung hitam yang bergulung-gulung di atas langit Bubat. Sempat terpikirkan apakah itu isyarat alam. Firasat buruk membuatnya gelisah. 'Akan ada peristiwa apa yang bakal terjadi?' batinnya bertanya-tanya.
Akhirnya ia pun turun tangan langsung untuk berusaha membujuk raja. Malangnya, kesalahpahaman sudah terjadi sejak awal, sehingga adu argumentasi tidak dapat dihindari. Kedua belah pihak sama-sama mempertahankan pendirian dan tidak mau mengalah.
Kendati Prabu Lingga Buana merasa harga dirinya terinjak-injak, namun sebagai seorang pemimpim yang arif, ia tidak bertindak gegabah. Ia tidak serta-merta mengadakan perlawanan secara fisik. Dipandangnya wajah mahapatih tersohor itu dan berusaha memahami jalan pikirannya. Ia tidak mengerti mengapa Majapahit sampai tega berbuat demikian.
Di sisi lain Gajah Mada pun sulit percaya Prabu Lingga menolak bekerja sama dengan pihak Majapahit. Alasan apa yang membuat raja itu marah hingga mengancam akan membatalkan pernikahan.
Namun kearifan sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya. Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan tersebut, khususnya panglima dan pasukannya, pasti merasa dilecehkan. Satu lesatan tombak, entah terlepas dari tangan siapa, tiba-tiba menerjang cepat ke arah wajah Gajah Mada. Mahapatih itu berkelit dengan gesit.
Tombak itu meluncur mengenai salah seorang pasukan di belakang Gajah Mada hingga menembus leher, lalu tersungkur di tanah dan tewas seketika. Suasana menjadi tidak terkendali. Bentrokan pun tidak terlelakkan. Rombongan pasukan Sunda Galuh yang sebetulnya tidak siap berperang, terpaksa harus bertempur mati-matian. Pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak menghendaki peristiwa itu terjadi, terpaksa menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi amukan mereka.
Akhirnya, dalam waktu singkat seluruh anggota rombongan pasukan Sunda Galuh gugur di lapangan Bubat, termasuk Prabu Lingga Buana dan permaisurinya. Putri Dyah Pitaloka akhirnya memilih mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri. Tidak ada seorang pun yang mengira acara yang mestinya penuh kebahagiaan itu akan berakhir begitu memilukan. Sangat tragis.
Tragedi Bubat merupakan halaman hitam dari sepenggal sejarah kebesaran Majapahit. Tragedi itu juga menjadi lembaran kelam bagi karir politik Sang Mahapatih Gajah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H