Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (15): Penyatuan Nusantara

23 Juni 2024   08:27 Diperbarui: 23 Juni 2024   09:26 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Setelah sarapan pagi, Japa tidak sabar menagih janji kepada Eyang Dhara untuk melanjutkan cerita mengenai Majapahit. Maka, berlanjutlah kisahnya.

Pada tahun 1334, di tahun yang sama ketika Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa, sang calon penerus mahkota lahir. Dia diberi nama Hayam Wuruk. Ia adalah putra Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara.

Nama Hayam Wuruk memiliki arti 'Ayam yang Terpelajar'. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud.

Ibu Suri Gayatri mengusulkan kepada putrinya Tribhuana dan Gadjah Mada agar membentuk dewan penasihat baru bagi calon putera mahkota. Ia juga memberi saran untuk membentuk dewan keluarga, yang nantinya akan bertugas membimbing dan membantu Hayam Wuruk memahami segala seluk-beluk pemerintahan.

Pada saat itu, diriwayatkan bahwa Majapahit sudah memiliki anggota dewan yang diwakili oleh semua pemimpin di daerah-daerah di seluruh wilayah Kerajaan Majapahit. Itu semacam dewan perwakilan daerah yang bersidang setahun sekali di pusat pemerintahan. Sidang permusyawaratan itu dipimpin langsung oleh Sang Ratu.

***

Gajah Mada memiliki kedudukan yang istimewa di dalam pemerintahan, bukan saja karena sistem pemerintahan yang solid dan telah tersusun rapi, melainkan dia juga berwenang untuk mengatur bagian-bagian badan pemerintahan demi mewujudkan kemajuan negara dan kemakmuran rakyat.

Mahapatih itu melihat kenyataan bahwa di luar sana, ada sebuah kerajaan yang beringas dan serakah, Kerajaan Mongol. Kerajaan asing itu sedang giat-giatnya melakukan ekspansi, yang sangat dimungkinan akan mengulang kembali kegagalannya saat dulu berniat menguasai Nusantara.

Untuk mencegah jangan sampai kejadian itu terulang kembali, Gajah Mada meyakini bahwa jalan keluarnya adalah seluruh kekuatan di Nusantara harus disatukan. Kerja keras pun segera dilakukan, bala tentara yang kuat disiapkan, armada laut dengan kapal-kapal besar dibangun, kemudian pemekaran wilayah dan ketahanan pangan pun siap untuk diterapkan.

Pemerintahan negara Majapahit terbagi atas bagian bawahan, yang dijalankan oleh susunan persekutuan adat di seluruh Nusantara. Kemudian bagian tengahan, yang dilaksanakan oleh demang dan tumenggung yang berada di daerah, yang menghubungkan pemerintahan di bawahnya dengan pemerintahan pusat. Terakhir adalah bagian atasan adalah pemerintah pusat yang berkedudukan di kota Majapahit.

Keadaan negara semakin maju pesat. Kesejahteraan rakyat dapat terlihat dari bangunan-bangunan rumah penduduk yang bermunculan bagaikan jamur di musim hujan, yang tertata rapih dan bersih. Bangunan candi-candi dan tempat-tempat ibadah yang indah menghiasi wajah kota.

Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor utama. Faktor yang pertama adalah lembah Sungai Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara yang sangat cocok untuk pertanian. Majapahit juga membangun berbagai infrastruktur irigasi yang modern untuk menunjang itu.

Faktor yang kedua adalah pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa yang berperan penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah dari Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah inilah merupakan salah satu sumber pemasukan penting.

Dengan adanya Sumpah Palapa, maka Gajah Mada berjuang sekuat tenaga untuk mempersatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Walaupun ada sejumlah orang yang meragukan sumpahnya, Gajah Mada, dengan dibantu Adityawarman, terbukti berhasil mewujudkan mimpi besarnya itu.

Beberapa kerajaan tetangga kemudian dihubungi, mereka dihimbau untuk bergabung dengan Majapahit. Bagi yang mau bergabung dengan suka rela atas kepentingan bersama diterima dengan senang hati, sementara kepada mereka yang menolak, dihimbau sekali lagi, dan ketika masih juga tidak mau bergabung, barulah ditaklukan.

Pada tahun 1334, Gajah Mada memasuki Bali. Ekspansi kerajaan Jawa ke Bali sebetulnya bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya, Raja Kertanegara (Singhasari) pernah melakukannya pada tahun 1284, dalam ekpedisi yang dikenal dengan istilah Cakrawala Mandala. Sementara ekspedisi Gajah Mada ke Bali dikenal sebagai Ekspedisi Bedahulu.

Di Bali saat itu dipimpin Raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Raja Bali yang berkuasa sejak tahun 1337 itu punya panglima perang bernama Amangkubumi Paranggrigis. Dalam menjalankan aktivitasnya, Paranggrigis dibantu seorang pembantu andalan yang bernama Kebo Iwa, asal desa Belahbatuh.

Menurut strategi Gajah Mada, untuk melemahkan Bali, Kebo Iwa itulah yang terlebih dulu harus diatasi. Sebelum diekspansi secara militer, Gajah Mada melakukan upaya diplomasi dengan Bali.

Ratu Tribhuana Tunggadewi menulis surat yang berisikan tawaran persahabatan. Amangkubumi Paranggrigis turun tangan secara langsung dalam mengambil keputusan penting itu. Ia mengumpulkan sejumlah tokoh Bali, bermusyawarah untuk menentukan sikap atas aksi Majapahit. Suara bulat dicapai, bahwa Bali menyatakan menolak dan tidak akan tunduk.

Akhirnya Gajah Mada membawa ekspedisi militernya ke Bali. Setelah serangan Majapahit, Bali dapat ditaklukan dan mengalami kekosongan kekuasaan.

Orang berpengaruh di Bali, Patih Ulung, tidak mampu menguasai keadaan. Sebab itu, ia bersama dua keluarganya, Arya Pemacekan dan Arya Pemasekan, datang menghadap Gajah Mada, agar berkenan menyampaikan permohonan mereka kepada Ratu Tribhuwana Tunggadewi untuk mengangkat otoritas Majapahit di Bali.

Ratu Tribhuwana berdiskusi dengan Gajah Mada, dan memutuskan mengangkat Sri Kresna Kepakisan, turunan Bali Aga, selaku otoritas Majapahit. Bali Aga adalah penduduk Bali pegunungan, yang kerap dipisahkan dengan Bali Mula (orang Bali asli). Strategi politik yang jelas terbaca adalah untuk memecah dan menyeimbangkan kekuatan antar kelompok di Bali.

Berikutnya, pada tahun yang sama, Gajah Mada juga memimpin penaklukan dua kerajaan di Lombok, Selaparang dan Dompu. Kisah kedatangan Gajah Mada tersebut terabadikan dalam memori yang disebut 'Bencangan Punan'.

Sementara itu, sebagai kepanjangan tangan Majapahit di Sumatera, Adityawarman memperluas wilayah ke arah barat, Minangkabau. Di sana ia memerintah atas nama Majapahit. Penaklukan diteruskan hingga Samudera Pasai, termasuk ke dalamnya, Bintan, Borneo (Kalimantan), termasuk Burni (Brunei) dan Tumasek (Singapura).

Penaklukan Gajah Mada lebih terarah ke timur. Perluasannya meliputi Logajah, Gurun, Seram, Hutankadali, Sasak, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, dan Timor. Bahkan sejumlah wilayah Filipina selatan. Sebagian besar perluasan mengandalkan kekuatan maritim, yang untuk itu, Gajah Mada punya andalannya sendiri, Panglima Angkatan Laut Laksamana Nala.

Tumasek (Singapura) di ujung barat Nusantara diserbu dipimpin langsung oleh Gajah Mada. Pendudukan Tumasek dianggap sangat penting karena di Selat Malaka itu bala tentara Mongol bisa lalu lalang dengan leluasa.

Nama semula Tumasek adalah Pu Lo Chung atau Pulau Ujung. Kemudian dikenal dengan nama Salahit (Hikayat Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi). Setelah itu disebut Tumasek yang berarti rawa-rawa. Ini sesuai dengan konfigurasi alami Singapura. Tumasek saat itu adalah bagian dari Kerajaan Malaka (Malaysia).

Sejumlah negeri di Kalimantan pun ditakhlukan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano.

Gajah Mada yang dikenal lemah lembut dan rendah hati itu, di tengah medan perang akan menjadi sosok yang paling ganas daripada siapapun. Ketika musuh-musuh menyadari bahwa mereka sedang berhadapan dengan panglima perang yang hebat itu, mereka akan lari pontang-panting menjauh dari jangkauan senjata gadanya.

Setiap prajurit pasti siap untuk mati, hanya saja mereka tidak mau mati terlalu dini. Apakah ada prajurit yang mau dijadikan tumbal yang pertama? Mereka mendengar kabar, jika ada sepuluh orang yang mengepung Gajah Mada, maka tanpa menuggu lama tujuh dari mereka akan cepat terkapar menjadi mayat. 

Sepertinya nasib prajurit sisanya juga akan berakhir sama dengan rekannya. Menyusul menjadi mayat. Nyaris tak ada kesempatan bagi lawan untuk bertahan hidup jika berada di dalam jangkauan gada mautnya. Di medan perang, sosok Gajah Mada seolah mewakili malaikat pencabut nyawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun