Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (14): Mendaki Puncak Tertinggi

22 Juni 2024   08:27 Diperbarui: 22 Juni 2024   08:28 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Di Majapahit, di bawah raja terdapat sejumlah pimpinan daerah yang disebut Paduka Bhattara. Mereka umumnya merupakan saudara atau kerabat raja yang bertugas mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pemegang komando pertahanan di wilayahnya masing-masing.

Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M), disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Lima daerah atau Propinsi menurut kiblat yaitu Utara, Timur, Selatan, Barat dan Pusat yang disebut Pancanegara, yang masing masing diperintah oleh juru Pangalasan atau Adipati yang bergelar Rakyan.

Di dalam pusat pemerintahan segala urusan menjadi tanggung jawab Patih Amangkubumi, kemudian Tumenggung, Rangga, Kanuruhan, Demang, dan selanjutnya Wateg (lurah).

Hari itu, puluhan pejabat tinggi kerajaan, para Rakyan, Kepala Prajurit Keamanan, Kepala Telik Sandibhaya, dan para Tumenggung, diminta hadir ke pendopo istana. Mereka yang biasanya terlihat gagah dan penuh wibawa, kini benar-benar tampil apa adanya. Tak pernah terduga sebelumnya, bahwa mereka harus menanggalkan segala atribut kebesaran, dan harus berkumpul pagi-pagi di pendopo agung. Itu merupakan pemandangan langka.

"Apa yang sedang terjadi?" celetuk seorang komandan pasukan.

"Saya juga gak tahu!" timpal sebelahnya, "Kok sepertinya kita sedang mau menerima hukuman?"

"Ya kita tunggu saja!" sahut yang lain singkat.

"Iya, tapi masak tiba-tiba semua pejabat tinggi dikumpulkan tanpa atribut kepangkatan hingga senjata keris pun harus ditanggalkan?"

"Ya kita lihat nanti! Serius, pasti ada sesuatu yang mendesak, yang tak lagi dapat ditunda!"

Perintah mendadak untuk menghadap Ratu Tribhuana Tunggadewi itu tertuang dalam surat rahasia yang langsung ditandatangani oleh Mahapatih Gajah Mada.

Pada kesempatan itu, mereka semua mendengar langsung bahwa sang ratu sangat menyayangkan peristiwa saat Ra Kembar yang mengambil tindakan di luar komando. Hal itu bisa sangat merugikan Majapahit, dan itu tidak perlu terjadi jika para pejabat taat aturan. Belum sempat kejadian itu mendapat hukuman, peristiwa memalukan di paseban menyusul.

Tidak lama setelah rapat penting itu, Ra Kembar dan Ra Banyak dicopot dari jabatan manteri dan dihukum atas kesalahan-kesalahannya. Gerakan para pembangkang dan pendengki satu per satu berhasil dibongkar dan disingkirkan.

Itu semua atas saran Gajah Mada, bahwa sikap tegas wajib diterapkan demi menjaga stabilitas keamanan negara. Itu juga bukti bahwa pengaruh Gajah Mada demikian kuat bagi Sang Ibu Suri Gayatri, dan terutama bagi Ratu Tribhuana Wiajayatunggadewi.

***

Majapahit memiliki hubungan erat dengan kerajaan Swarnabhumi, di pulau Sumatra. Kedatangan raja Swarnabhumi, Adityawarman (Aryo Damar) ke Majapahit digambarkan menggunakan kapal perang berukuran besar, yang belum ada tandingannya dari kesatuan pasukan laut Majapahit.

Penggambaran besarnya ukuran kapal perang dari Swarnabhumi ini sebagai cikal bakal teknologi yang menjadikan besarnya armada laut Majapahit kelak ketika penyatuan Nusantara dimulai.

Adityawarman adalah saudara sepupu mendiang prabu Sri Jayanegara, sekaligus sahabat yang cukup dekat dengan Gajah Mada. Sejak remaja, Adityawarman memang diasuh di lingkungan Majapahit. Adityawarman lalu diangkat menjadi otoritas Majapahit di Sumatera (wilayah bekas Sriwijaya). Itulah kenapa ia siap kapan pun membantu Majapahit untuk memberantas para pemberontak, meskipun tidak selalu tinggal di pusat pemerintahan.

Adapun tempat tinggal Gajah Mada di Puri kepatihan, berada di sebelah timur pasar. Ia memilih tinggal tidak di dalam keraton Trowulan. Kepatihan itu tidak jauh dari pintu gerbang Majapahit, yang hingga kini masih berdiri indah, yang dinamai Gapura Bajang Ratu. Gapura itu juga menuju sebuah bangunan suci yang dibangun untuk mengenang mendiang Prabu Jayanegara.

Gajah Mada dikenal sangat merakyat dan ingin selalu dekat dengan rakyat. Ia suka menyantuni janda-janda miskin, di samping untuk menebus hutang budinya kepada nenek Wuri yang belum sempat terbalaskan, juga demi menjalankan perintah agama.

Kini, dengan menaiki kedudukan yang tinggi itu, maka Patih Mangkubumi Gajah Mada semakin mendapat kekuasaan yang luas. Ia semakin dicintai rakyat. Beberapa tahun kemudian, karena kecakapannya, dia juga diangkat menjadi Rajaksa dan juga menjadi Amangkubumi (Perdana Menteri) yang mengepalai kementerian negara.

Ia tokoh yang paling revolusioner pada masa itu, yang mendatangkan banyak kekaguman baik dari kalangan kawan maupun lawan. Namanya melambung tinggi jauh melampaui nama para mahapati Majapahit sebelumnya.

***

"Sudah malam, tidurlah Japa!" kata Eyang Dhara mengakhiri cerita panjang tentang Majapahit.

Mereka berdua lalu menyiapkan alas tidur, tidak jauh dari bekas api unggun yang kini menyisakan bara. Eyang Dhara membaringkan tubuh, berselimut dengan selembar kain, dan siap menanti lelap.

Gelap telah melahap habis sisa-sisa cahaya, namun sepasang mata kecil yang bundar masih berusaha mencari setitik terang di antara tumpukan abu dan arang.

Kepakan sayap burung malam terbang menjauh ke arah selatan. Sayup-sayup celoteh aneka serangga sedikit mereda, membuat suasana berubah semakin sunyi.

"Apakah kamu belum tidur Japa?" tanya Eyang Dhara.

"Belum ngantuk, Eyang!"

"Kenapa?"

"Saya masih memikirkan cerita tentang Patih Gajah Mada!", jawab Japa Dananjaya, tatapan matanya kini menerawang jauh. "Saya ikut bangga mendengar prestasi beliau. Dari rakyat biasa sampai bisa mendaki puncak tertinggi, menjadi Mahapati Amangkubhumi!"

"Pelajaran apa yang bisa kamu petik?"

"Belajar keras dan berjuang dengan sepenuh hati!"

Eyang Dhara tersenyum mendengar jawaban bocah polos itu. "Bagus. Sekarang pejamkan matamu, tidurlah!"

Dari jarak sekitar dua puluh langkah, terlihat dua pasang mata mengintip dari balik rerimbunan, mata yang berwarna putih di antara gelap yang menyelimuti. Dua sosok bayang-bayang kini tampak mulai bergerak dalam kegelapan. Dia adalah Ki Gong Wojo dan gurunya, Ki Gardapati Geni.

Sejak kalah bertarung dengan Eyang Dhara, Ki Gong langsung mengadukan sakit hatinya kepada gurunya. Kesaktian yang Ki Geni miliki membuat Ki Gong sangat yakin dendamnya akan terbalaskan. Sekarang keberaniannya lebih besar dari segala rasa takut yang pernah timbul.

Tubuh Japa tiba-tiba terasa begitu ringan, seakan-akan eksistensi gravitasi telah lenyap dalam beberapa saat. Sayangnya, bocah kecil itu tak ingat lagi apa yang terjadi setelahnya. Ia langsung tertidur.

Dengan cepat kedua penjahat menyergap, laksana ular mematuk mangsanya. Anehnya, kakek tua dan bocah itu sudah tidak ada di tempatnya. Hanya meninggalkan alas tidur yang terhampar lebar.

Kedua pendekar jahat, yang matanya terbiasa melihat dalam pekatnya malam, dibuat sangat keheranan. Menandakan bahwa mangsa-mangsa itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Buktinya, Ki Geni saja terkecoh.

Tangan Ki Geni menggenggam golok semakin erat. "Gong! Ke mana mereka pergi?"

"Saya tidak tahu Guru!" jawab Ki Gong, dengan lengan gemetar menggenggam erat golok yang telah terhunus, siap menyabetkannya jika ada serangan datang.

Mendadak tampak serupa bayangan hitam melesat lewat dan secepat kilat menghilang. Bayangan yang membuat dua sosok tubuh terpelanting ke arah berlawanan. Keduanya mati-matian kembali bangkit.

"Gong, apa kamu baik-baik saja?"

"Ya, aku baik-baik saja, Guru!"

"Apa tadi yang menyerang kita?"

"Saya tidak tahu, Guru!"

Ki Gong dan gurunya berjalan saling mendekat, dengan sekujur tubuh meremang karena ngeri. Tanpa ada sedikit pun suara, namun bayangan itu telah berhasil merobohkan mereka, dan yang lebih mengagetkan, telah merampas kedua golok dari tangan mereka. Tanpa disadari sedikit pun. Keduanya semakin merinding, karena seperti sedang berhadapan dengan iblis. Sedetik berikutnya, tampak dua sosok bayangan memilih kabur secepatnya dari tempat itu.

Pagi telah tiba. Ketika cahaya itu sampai di hadapannya, dengan gesit ia menyingkap selimut dan bangun. Ia melirik Eyang Dhara di sebelahnya. "Sudah pagi, Eyang!"

Kakek tua itu pura-pura kaget dan menampakan seolah-olah semalam sangat nyenyak dalam tidurnya. "Eh, kamu selalu bangun duluan!"

"Eyang, semalam kita seperti didatangi dua orang penjahat!"

"Benarkah? Terus apa yang terjadi?"

"Saya tidak ingat!"

"Ah.., paling cuma mimpi!"

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun