Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terkarantina

20 Juni 2024   08:59 Diperbarui: 20 Juni 2024   09:42 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Waktu di bawa ke kamar, aku dalam keadaan sangat lemah. Berbaring di ranjang dan tidak sempat memperhatikan lorong-lorong yang terlewati. Bahkan tidak bisa melihat orang yang mendorong ranjangku.

Selepas isya' tadi tidak ada lagi dokter atau perawat yang datang. Aku juga tidak bisa membedakan mana yang perawat dan mana yang dokter, karena mereka semua memakai Alat Pelindung Diri yang sama, lengkap dengan masker dan kacamata. Mereka bilang selalu mengawasiku lewat cctv, sehingga aku tidak perlu merasa khawatir.

Saat itu aku ingin ke kamar kecil. Cukup repot karena harus menenteng infus. Kantung infus tidak boleh terlalu rendah, karena darahku akan mengalir melewati selang menuju kantung infus. Aku harus menjaganya tetap di posisi atas. Itulah yang membuat aku terpaksa mengurangi minum, agar tidak sering ke kamar mandi. Kecuali sudah sangat haus dan tidak bisa ditahan lagi. Padahal dokter menyarankan harus banyak minum air putih.

Setelah berada di dalam kamar mandi, dan menutup pintu yang tidak ada engselnya itu, tiba-tiba gelap.

"Listrik mati!" Terdengar suara orang di kejauhan.

"Kenapa jenzet tidak menyala? Cepat periksa!" sahut seseorang memberi perintah.

Mendadak mengkerut nyaliku. Aku ingin berteriak minta tolong tapi untungnya lampu kembali menyala. Untung saja belum sempat berteriak, karena itu akan menjadi peristiwa yang memalukan. Karena tidak ada pasien lain yang berteriak.

Terlintas dalam benakku, jangan-jangan memang tidak ada pasien lain. Artinya hanya aku sendirian di bagian ruang karantina itu. Itulah kenapa akhirnya aku memberanikan diri keluar, ingin memastikan bahwa ada pasien lain yang sedang menjalani perawatan seperti aku.

Tenagaku belum sepenuhnya pulih. Setelah berjalan, dengan langkah kecil dan lamban, sambil menenteng kantung infus, sampailah aku di lorong remang-remang yang mencurigakan itu.

Suara kursi roda tidak lagi mengikuti. Kini terdengar suara air menetes dari sebuah kran. Agaknya kran itu rusak. Aku melihat bangku panjang di sebelah kran. Syukurlah bisa istirahat sejenak.

Sambil melihat-lihat sekeliling, menyaksikan pintu-pintu dan jendela-jendela besar yang semuanya tertutup, cukup membuatku semakin curiga. Kenapa begitu sepi? Aku segera bangkit dan cepat-cepat melanjutkan perjalanan agar segera keluar dari tempat itu. Tempat yang menurut perasaanku sangat angker.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun