Oleh: Tri Handoyo
Secara diam-diam, tepat tengah malam, Sang Prabu bersama keluarganya dan beberapa pengawal setia melarikan diri dari istana. Atas saran Gajah Mada, mereka harus menanggalkan semua pakaian dan atribut istana, kemudian mengganti dengan pakaian rakyat biasa.
Gajah Mada mempunyai rencana akan membawa rombongan untuk bersembunyi di daerah Bedander (Kabuh, Jombang). Di samping sangat mengenal wilayah itu dengan baik, ia juga memiliki kakek dan teman-teman masa remaja yang sangat setia. Sangatlah tepat untuk dijadikan tempat persembunyian yang aman.
Hanya lima belas orang Bhayangkara yang ikut dalam perlarian. Namun, tidak ada jaminan bahwa seluruh anggota pasukan Bhayangkara memihak raja. Hal ini tentu menyulitkan tindakan penyelamatan karena setiap saat, di mana saja, musuh dalam selimut bisa bertindak mencelakai Sang Prabu.
Ketika di tengah perjalanan menuju Bedander, ada seorang yang tampak membuntuti dari kejauhan. Meskipun ia sudah berusaha mati-matian untuk tidak terlihat mencolok, tapi Gajah Mada mengenalinya. Komandan berpangkat bekel itu kemudian berhasil menjebak di suatu tempat, dan langsung membunuh mata-mata tersebut.
Baru beberapa hari di Bedander, seorang prajurit meminta ijin untuk pulang. Karena gerak-geriknya mencurigakan dan dikhawatirkan ia nantinya akan membocorkan lokasi persembunyian, maka Gajah Mada melarangnya.
Prajurit itu rupanya pergi secara diam-diam, sehingga Gajah Mada yang sudah mengawasinya memergoki dan mengambil keputusan untuk membunuhnya pula. Hampir saja ia mengeluarkan air mata, karena kepiluan hati dalam menghabisi nyawa anak buahnya sendiri. Tapi bagi seorang prajurit, ia bersumpah bahwa keselamatan Sang Raja jauh lebih utama.
***
"Seseorang yang berhasil memiliki sesuatu yang sangat diidam-idamkannya," papar Mbah Wonokerto alias Mbah Bedander kepada murid-muridnya. Mereka sedang berkumpul di pelataran di bawah pohon rindang, "Entah itu berupa benda atau kedudukan, ia hanya akan merasakan kenikmatan sesaat. Kenikmatan itu pasti tidak akan bertahan lama!"
Prabu Jayanegara yang sedang istirahat di atas ranjang bambu, di dalam bilik sederhana dan tanpa perabotan, menyimak ucapan Mbah Wonokerto. Ia lantas mengubah posisinya agar bisa mendengar ceramah itu dengan lebih jelas.
"Kenapa hanya sesaat?" sambung sesepuh Bedander itu, "Karena pasti ada benda lain atau kedudukan lain yang lebih menarik, lebih mentereng dan lebih tinggi. Nah ketika timbul hasrat untuk mendapatkan yang lebih itu, maka lupalah ia akan kenikmatan yang sebelumnya telah diraihnya."
 Jayanegara yang sejak kecil tinggal di lingkungan istana, bergelimang kemewahan, serba kecukupan dan apa pun yang diinginkan pasti akan terpenuhi, merasa tersindir oleh ucapan Mbah Wono. Sebagai seorang putera raja yang berkuasa di kerajaan besar, ia pun masih sering merasa tidak puas. Masih sering juga merasa kurang.
Baru beberapa hari tinggal di rumah rakyat kebanyakan, lengkap dengan segala kekurangannya, ia sudah merasa seperti hidup di dalam neraka. Bagaimana seandainya ia menjadi rakyat? Ditakdirkan lahir dari rahim perempuan biasa yang tinggal di pelosok desa? Tidak terasa air matanya menggenang di pelupuk mata, dan tidak berani berandai-andai lebih jauh.
"Banyak orang yang salah dalam mengartikan kenikmatan dengan kebahagiaan!" Mbah Wono melanjutkan, "Ada yang tahu bedanya?"
Semua murid terdiam. Mereka semua hanya menatap dengan wajah penuh tanda tanya ke arah sang guru.
"Menurutku sama saja!" celetuk Prabu Jayanegara dari bilik kamar. Tentu suaranya tidak terdengar sampai di pelataran.
"Tidak!" kata Mbah Wono, "Tidak sama. Kenikmatan itu seringkali diukur dengan materi. Sementara kebahagiaan itu non materi! Apa buktinya? Ada orang yang kecukupan secara materi akan tetapi ia tidak merasa bahagia. Sebaliknya ada orang yang serba kekurangan, namun ia bisa bahagia! Berarti, kenikmatan itu bersifat jasmani, sedangkan kebahagiaan itu bersifat ruhani. Bila kesadaran manusia telah meningkat, maka yang akan diusahakan untuk dicapai adalah kebahagiaan, bukan kenikmatan semata!"
"Lalu apa yang dimaksud dengan kebahagiaan?" celetuk suara seseorang yang tiba-tiba muncul, yang membuat semua orang terkejut karena sama sekali tidak menyangka. Orang itu adalah Prabu Jayanegara.
"Mohon maafkan hamba baginda raja!" ucap Mbah Wono sambil membungkukkan badan penuh hormat. Kakek itu kemudian memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk membubarkan diri.
"Tidak usah pergi!" sahut raja, "Tidak apa-apa. Saya hanya ingin ikut menyimak ceramah Mbah Wono!"
"Terima kasih atas kerelaan baginda berkenan mendengarkan ocehan receh orang desa bodoh ini!"
"Lanjutkan wejangan mbah tadi!"
"Baik. Kunci kebahagiaan adalah rasa syukur. Rasa itu akan timbul manakala tiada kemelekatan dari pikiran dan batin kita pada dunia. Kemelekatan pada dunia, atau disebut keduniawian, adalah akar dari segala ketidakbahagiaan!"
Prabu Jayanegara tampak menundukan wajah sambil mengangguk-angguk pelan. Rupanya ia benar-benar meresapi ucapan Mbah Wono.
***
Nasehat Mbah Wono kepada Gajah Mada untuk meneguhkan keyakinan akan perbuatan yang telah ditempuhnya, "Sebagaimana sebuah pepatah yang menyatakan, 'Tak ada gading yang tak retak'. Jadi jika kita fokus pada mencari retakan, maka kita pasti akan menemukan."
Gajah Mada sepakat sekali dengan ujaran bijak itu.
"Prabu Jayanegara memang bukan manusia sempurna, namun demikian bukan berarti lantas boleh mengingkari upaya dan perjuangan beliau untuk membawa Majapahit berjaya, agar bisa sejajar dengan kerajaan-kerajaan besar dan maju lainnya!"
"Benar Mbah," timpal Gajah Mada, "Saya meyakini bahwa masih banyak rakyat yang mendukung dan mengapresiasi upaya beliau itu!"
Sambil memegang janggutnya, Mbah Wono mengangguk-anggukan kepala. "Sekalipun tidak dipungkiri, ada pihak yang terus melakukan pembunuhan karakter dan menutup mata mati-matian secara tidak adil, lalu dengan entengnya menghina dan merendahkan beliau!"
"Tentu saja, sebagai putra bangsa yang mencintai negeri ini, kami tidak akan rela pemimpin tertinggi kami dihina sedemikian buruknya!"
Tegas guru yang telah menua dan rentah itu, "Orang semacam Halayudha itu memangnya sudah berbuat apa untuk memajukan negri ini? Jadi sebaiknya jika tidak mampu berbuat baik, setidaknya jaga mulut saja itu sudah sangat membantu!"
Gajah Mada dengan geram mengepalkan tinjunya dan menyahut, "Ra Kuti dan kawan-kawannya itu penjilat si mulut bejad gak beradab Halayudha, sehingga dengan mudahnya menelan hasutan itu."
"Sejarah kelak pasti akan mencatat, mana pejuang dan mana pecundang!"
"Saya mohon pamit, Mbah!"
"Jaga diri baik-baik!" pungkas Mbah Wono.
Setelah sepekan lamanya, Gajah Mada meminta ijin pulang ke Majapahit untuk menyelidiki situasi kerajaan. Dalam penyamarannya ia melihat bahwa masih banyak rakyat yang setia kepada raja yang sah. Ia kemudian mengumpulkan para pejabat di rumah Tumenggung Amancanegara (semacam wali kota), dan mengabarkan bahwa Prabu Jayanagara telah meninggal dunia di pengasingan. Para pejabat tampak sangat terpukul.
Gaja Mada dengan cermat mengamati wajah mereka satu per satu. Wajah-wajah yang sangat berduka cita. "Tenangkanlah hati kalian!"
"Apa maksudmu dengan tenang?"
"Bukankah kalian sudah punya pengganti raja, Ra Kuti?"
"Apa yang kamu katakan itu? Gajah, Kuti bukan raja kami!" seru mereka sepakat.
"Kami tidak akan pernah mau mengakui Ra Kuti sebagai raja yang sah!" timpal yang lain.
Setelah meyakini kalau pemberontakan Ra Kuti ternyata tidak mendapat dukungan, maka Gajah Mada pun memberi tahu keadaan yang sesungguhnya, bahwa raja saat itu masih hidup. Raja beserta keluarganya berada di tempat persembunyian yang aman.
Dengan berbekal lencana patih milik Arya Tadah, Gajah Mada meminta mereka menghimpun orang-orang yang masih setia dan kemudian meminta perlindungan dari para menteri untuk menumpas Ra Kuti dan kawan-kawannya.
Sebelum pelita-pelita di sepanjang jalan dan di rumah-rumah dinyalakan, saat Halayudha dan tujuh orang Darmaputera serta pengalasan sedang bersuka ria, terjadilah penyergapan. Ada badai yang tiba-tiba mengamuk. Badai itu digerakan oleh Gajah Mada untuk menumpas para pemberontak.
Empat orang anak buah Ra Kuti, dengan murka maju serentak mengeroyok Gajah Mada. Serangan-serangan yang mereka lancarkan sangat berbahaya. Akan tetapi, betapa pun gesitnya pedang mereka bergerak mengancam, senjata-senjata itu selalu tertangkis oleh Gajah Mada. Menghadapi gerakan pedang yang luar biasa cepat dan anehnya itu, kelima orang pengeroyok itu terkejut bukan main. Mereka berlima lalu mengerahkan ilmu silat andalan mereka, mengurung dari berbagai arah, merupakan kepungan segi lima yang sebentar-sebentar berubah karena mereka selalu berpindah-pindah posisi. Inilah keistimewaan pasukan khusus istana.
Dengan kewaspadaan tingkat tinggi, Gajah Mada menghadapi mereka yang luar biasa sekali gerakannya. Pemuda Mada itu seakan-akan tidak sedang menghadapi lima orang yang mengepung dari berbagai arah, karena ia tak pernah memalingkan wajahnya kecuali hanya menghadap ke satu orang, yakni Ra Kuti. Meskipun demikian, pedangnya bergerak sedemikian rupa hingga setiap kali senjata lawan datang dari arah mana pun, selalu dapat tertangkis. Bahkan sekali waktu ia masih sempat mengirim tusukan dan sabetan balasan yang tidak kalah hebatnya.
Demi menyaksikan jalannya pertempuran itu, banyak orang yang terpaksa menahan napas saking kagumnya. Betapa lima orang berputar-putar dan tubuh mereka tampak bagaikan bayangan yang berkelebat cepat sekali. Di tengah lingkaran itu tampak Gajah Mada yang masih sanggup menahan berbagai gempuran sengit itu dengan sangat gigih.
Banyak orang yang tidak akan menyangka sama sekali bahwa itulah ilmu Benteng Naga yang tidak ada duanya di dunia ini. Gerakan pedang itu dilakukan dengan gerakan yang tampaknya lentur dan lambat, karena kecepatannya memang memanfaatkan dari tenaga dan kecepatan lawan, sehingga Gajah Mada tak perlu menguras banyak tenaga.
Tiap kali serangan kilat lawan datang, cukup ia sentuh dengan ujung pedang dan senjata lawan itu tentu menyimpang arahnya, sedangkan dengan pinjaman tenaga kecepatan senjata musuh, pedangnya dapat memantul dengan luar biasa cepatnya dalam serangan balasan. Juga ia melakukan itu dengan tenaga dalam yang tinggi hingga tiap kali senjatanya membentur senjata lawan, maka lawannya akan merasa betapa tangan mereka tergetar.
Pada akhirnya, Ra Kuti dan Ras Semi terbunuh dilokasi, puluhan orang pengalasan tewas, tapi yang lain mendapatkan pengampunan. Halayudha yang belakangan diketahui sebagai dalang pemberontakan, akhirnya dihukum mati.
***
Setelah negeri aman, Raja Jayanegara dan keluarganya kembali ke istana. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Patih Kahuripan. Dua bulan kemudian dia juga diangkat menjadi Pati Daha untuk menggantikan Arya Tilam yang baru saja meninggal.
Gajah Mada dalam kemajuan karirnya itu mendapat bantuan dan dukungan penuh dari gurunya, Patih Arya Tadah (Mpuh Krewes). Sejak mengetahui potensi besar pada diri prajurit muda itu, Arya Tadah lantas membimbingnya secara khusus.
Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Ki Wonokerto, Raja Jayanegara bermaksud membuat prasasti. Sebetulnya warga Bedander tidak mengharapkan penghargaan semacam itu, karena bagi mereka apa yang dilakukan itu sudah merupakan kewajiban. Mereka memberikan bantuan semata-mata atas pertimbangan kemanusiaan. Ini tentu saja 'Makanan Ruhani' yang tidak mudah dikonsumsi masyarakat kebanyakan di perkotaan.
Ki Wonokerto adalah orang yang sudah lama meninggalkan segala kenikmatan dunia, sehingga prasasti dikawatirkan bisa mencemari sebuah keikhlasan. Di samping itu ia juga tidak ingin kedamaian di wilayah Bedander nantinya terkotori urusan politik. Pertarungan perebutan kekuasaan diperkirakan masih akan terus berlangsung. Bahkan para pemuda yang ditawari untuk menjadi prajurit Majapahit pun hanya beberapa gelintir saja yang bersedia. Padahal Bedander dihuni oleh orang-orang yang tidak mengenal kata takut.
Atas saran Gajah Mada, akhirnya untuk mengenang peristiwa itu, maka dibangunlah sebuah pesanggrahan berupa Pager Banon. Pesanggrahan itu kelak dikenal dengan "Pesanggrahan Buyut Bedander". Sebuah sumur juga dibangun di atas sumber mata air yang sangat jernih, yang dikenal dengan Sumur Gemuling. Air sumur itu biasa digunakan untuk upacara penyucian pusaka.
Adapun kesuksesan Gajah Mada menumpas pemberontakan Kuti sebagian besar disebabkan karena kesolidan susunan negara. Di dalam pemerintahan ada dua golongan jawatan yang selalu memangku cita-cita negara.
Jawatan pertama terdiri atas tujuh orang pemuda Darmaputera, yang menjaga pusat pemerintahan dengan menjalankan kewajiban menjaga ketetapan mahkota. Mereka itu mendapat tempat yang teristimewa dalam susunan negara.
Pemberontakan Kuti merupakan kesalahan besar, karena melanggar kesetiaan kepada mahkota. Oleh karena itu hukumannya adalah mati. Kuti sebetulnya orang yang paling setia kepada Raja Wijaya tapi tidak kepada Jayanegara.
Jawatan kedua yaitu golongan pemuda Bayangkara, yang terbagi atas bagian pusat dan bagian daerah (Bayangkara Lelana). Kewajiban mereka adalah sebagai barisan pelopor menjaga ketetapan cita-cita negara.
Anggota Bayangkara semuanya adalah satria muda yang bersifat gagah berani, serta wajib mampu mengatasi segala bahaya maut. Dengan Andika Bayangkara, dapatlah suatu negara didirikan dan dipelihara, karena jiwa raga mereka semata-mata dipersembahkan dengan segala keikhlasan untuk kepentingan bangsa dan negara. Mereka mendapat tempat dalam susunan negara dan dalam pemerintahan, di antara pusat pemerintah dan pasukan bersenjata. Jawatan Bayangkara ini bukanlah buatan Majapahit, melainkan suatu tatanan negara yang mereka warisi dari Kerajaan Singhasari.
Titah baginda raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu: Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja. Setelah itu di bawahnya Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan. Setelah itu Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan. Kemudian yang terakhir Dharmma-upapatti, para pemimpin keagamaan.
Meskipun menjabat sebagai patih di Daha, Gajah Mada tetap tinggal di Majapahit. Tenaga dan pikirannya selalu dibutuhkan kerajaan.
Jayanegara yang masih muda, dengan watak yang keras, memerintah tanpa memperhatikan aspirasi rakyat. Selama dibawah pemerintahannya beberapa kali terjadi pemberontakan, namun berhasil ditumpasnya dengan tangan besi dan terjun langsung ke medan perang. Ia membentuk pengawal elit istana, dimana salah seorang perwira seniornya berasal dari rakyat biasa. Gajah Mada sang perwira senior ini mendapat kepercayaan penuh dari raja.
Semua orang tahu, Gajah Mada adalah orang yang paling gagah berani di medan pertempuran. Ketika ia marah, dengan menjejakkan kakinya yang besar dan kuat ke tanah, itu sudah cukup membuat lawan-lawannya gemetar dan berkeringat dingin. Lengan dan tangannya yang kekar membuat benda apapun yang dipegangnya akan menjadi senjata yang mematikan. Gerakannya yang lincah dan gesit, sampai bisa mengeluarkan suara hempasan angin, segera menyiutkan nyali semua lawan-lawannya.
Dialah seorang lelaki sejati yang keperkasaannya mampu membuat Sang Nasib menyingkir untuk memberi jalan lebar menuju kejayaan. Bunga-bunga ditaburkan dari langit untuk mengiringi langkahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H