Oleh: Tri Handoyo
Jarum pendek jam menunjuk angka sembilan. Sebetulnya masih sore, tapi jalan begitu sunyi. Jarang ada kendaraan lewat di situ. Meskipun tersedia halte tua yang kondisinya lumayan bersih. Tapi keberadaannya tak berguna.
Ketika melintasinya, tiba-tiba pandangan mataku tertuju pada seorang gadis yang  duduk sendirian di bangku halte. Dari sorot lampu jalan, meskipun remang-remang, terlihat parasnya yang tampak memendam kesedihan.
Gadis itu memakai baju tidur. Rambutnya yang sebahu diikat ke belakang. Lumayan cantik dan anggun, meskipun penampilannya sangat sederhana dan tanpa make-up.
Aku yang biasanya pemalu jika berhadapan dengan perempuan kali ini nekad menghampirinya. itu karena aku menangkap ada sesuatu yang tidak lazim. Hati kecilku membisikan dia sedang butuh pertolongan.
"Selamat malam! Permisi, Mbak?" tegurku berusaha sesantun mungkin, agar dia tidak sampai ketakutan. "Boleh duduk di sini?"
"Selamat malam, pak!" jawabnya lirih. Suaranya sedikit parau seolah habis menangis. "Silakan, Pak!"
Aku semakin yakin bahwa dia butuh pertolongan dan itu mendorongku untuk memberanikan diri mengoreknya lebih jauh.
"Kok sendirian di sini?"
Dia menundukkan muka, menatap lantai paving di bawah. Beberapa saat ia membisu. Keheningan merambat pelan.
"Maaf, mungkin saya bisa membantu Mbak!" Aku semakin tertarik. Entah karena mungkin sudah terpesona oleh kecantikannya. Tapi aku ingatkan pikiranku agar kembali ke niat semula. Menolong, titik.
"Saya kabur dari rumah!" gumamnya seperti pada diri sendiri.
"Masyaallah..! Maaf, kalau boleh tahu kenapa, Mbak?" Aku tidak melihat ia membawa perbekalan apa pun. Tampaknya ia memang pergi tergesa-gesa. Itu membuatku bertambah yakin bahwa gadis itu memang butuh pertolongan.
"Saya sering mendapat perlakuan kasar dari suami. Dijambak. Dipukul. Ditendang. Bahkan pernah sampai pingsan dan diseret di jalan!"
Spontan terlontar dari mulutku, "Laki-laki biadab! Kurang ajar!"
Dia memalingkan wajahnya yang sendu dan dengan pandangan sayu menatap, tepat di bola mataku.
"Maaf, Mbak sepertinya masih sangat muda, masih seperti anak SMU, kok sudah menikah?"
"Saya dijodokan orang tua. Saya tidak punya pilihan selain harus mematuhi perintah itu!"
"Hmm..! Seringkah dia melakukan kekerasan, Mbak?"
"Sangat sering!"
"Kenapa Mbak tidak minta cerai saja?" tanyaku geram. "Maaf, saya mencampuri urusan rumah tangga Mbak!" Saya jadi terbawa emosi.
"Kalau saya minta cerai, dia mengancam akan membunuh saya, dan juga kedua orang tua saya!"
"Apa orang tua mbak tahu perlakuan suami Mbak?"
"Tidak, Pak. Saya tidak tega cerita ke orang tua. Kami hanya orang miskin. Kami takut!"
"Saya siap melindungi Mbak. Kalau ada apa-apa saya yang akan menghadapi suami Mbak! Kalau memang dia laki-laki, jangan hanya berani melawan perempuan, hadapi sesama laki-laki!"
Dia menghela nafas panjang dan menatapku seolah tidak percaya. "Maaf, Pak, suami saya orangnya tinggi besar. Dia juga seorang pendekar silat!"
"Haa, apa? Hmm...! Maaf, bukannya sombong, meskipun saya kurus tapi saya punya akal, Mbak! Kalau kita kalah fisik kita harus pakai strategi!" Saya mulai membual, "Dan sekalipun dia jagoan, saya tidak pernah takut menghadapi manusia biadab dan pengecut seperti itu!"
Aku sendiri sebetulnya tidak yakin apa yang harus aku lakukan, tapi niat untuk menolong telah mengobarkan semangatku. Atau jangan-jangan aku telah jatuh hati, sehingga mau mati-matian menolongnya. Atau sesungguhnya aku sedang berupaya untuk menarik hatinya. Entahlah. Yang jelas setan mulai menghasut pikiran nakalku.
Angin malam menyebarkan hawa dingin. Di langit bulan pun enggan menampakkan diri. Bintang-bintang bersembunyi di balik kelam. Dingin yang merayapi tubuhku semakin membuatku menggigil.
Aku kemudian mengeluarkan dompet, tergesa-gesa mengambil beberapa lembar uang dan kusodorkan ke perempuan malang itu. "Mbak, ini ada sedikit uang. Sebaiknya Mbak pergi ke rumah saudara atau teman yang bisa melindungi Mbak! Tidak baik perempuan sendirian di tempat seperti ini!"
"Tidak usah, Pak. Terima kasih!" sahutnya cepat sambil tangannya memberi kode menolak.
"Saya ikhlas, Mbak!"
"Terima kasih, tapi tidak usah, Pak. Maaf!"
"Bagaimana kalau suami Mbak mencari dan menemukan Mbak berada di sini? Apa gak berbahaya?"
Setelah beberapa detik berlalu, dia berkata, "Iya, itu sudah pernah terjadi, Pak!"
"Ha.., terus?"
"Dia sangat murka waktu itu. Saya dihajar habis-habisan sambil dikata-katai sebagai pelacur murahan. Terakhir saya dilemparkan ke jalan, dan kebetulan ada mobil yang melintas dan melindas tubuh saya!"
"Ya Allah!"
Tiba-tiba tercium bau wangi yang menyengat. Angin dingin bertiup dan membuat bulu kudukku meremang. Aku baru ingat bahwa saat itu malam Jumat.
Terdengar di kejauhan, suara penjaga malam memukul tiang listrik untuk menunjukan waktu. 'Dua belas kali? Apa gak keliru si penjaga malam itu?' batinku. Aku lihat arloji, jarum masih menunjukan angka sembilan. Aku periksa lebih teliti. 'Ya ampun, ternyata jamku yang mati. Jarum pendeknya dari tadi masih tetap di angka sembilan!'
 Pantas saja jalanan sepi sekali. "Terus, Mbak?" tanyaku semakin penasaran. "Terlindas mobil?"
"Suami saya lalu dihajar massa hingga nyaris tewas. Saya sempat ditolong dan mau dibawa ke rumah sakit. Tapi tidak tertolong!" Ia memalingkan wajah ke arahku, dan sambungnya lirih, "Saat menunggu ambulan datang, saya meninggal, di bangku ini!"
"Yaa Allah..! Kok gak ngomong dari tadi, Mbak!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H