"Kalau saya minta cerai, dia mengancam akan membunuh saya, dan juga kedua orang tua saya!"
"Apa orang tua mbak tahu perlakuan suami Mbak?"
"Tidak, Pak. Saya tidak tega cerita ke orang tua. Kami hanya orang miskin. Kami takut!"
"Saya siap melindungi Mbak. Kalau ada apa-apa saya yang akan menghadapi suami Mbak! Kalau memang dia laki-laki, jangan hanya berani melawan perempuan, hadapi sesama laki-laki!"
Dia menghela nafas panjang dan menatapku seolah tidak percaya. "Maaf, Pak, suami saya orangnya tinggi besar. Dia juga seorang pendekar silat!"
"Haa, apa? Hmm...! Maaf, bukannya sombong, meskipun saya kurus tapi saya punya akal, Mbak! Kalau kita kalah fisik kita harus pakai strategi!" Saya mulai membual, "Dan sekalipun dia jagoan, saya tidak pernah takut menghadapi manusia biadab dan pengecut seperti itu!"
Aku sendiri sebetulnya tidak yakin apa yang harus aku lakukan, tapi niat untuk menolong telah mengobarkan semangatku. Atau jangan-jangan aku telah jatuh hati, sehingga mau mati-matian menolongnya. Atau sesungguhnya aku sedang berupaya untuk menarik hatinya. Entahlah. Yang jelas setan mulai menghasut pikiran nakalku.
Angin malam menyebarkan hawa dingin. Di langit bulan pun enggan menampakkan diri. Bintang-bintang bersembunyi di balik kelam. Dingin yang merayapi tubuhku semakin membuatku menggigil.
Aku kemudian mengeluarkan dompet, tergesa-gesa mengambil beberapa lembar uang dan kusodorkan ke perempuan malang itu. "Mbak, ini ada sedikit uang. Sebaiknya Mbak pergi ke rumah saudara atau teman yang bisa melindungi Mbak! Tidak baik perempuan sendirian di tempat seperti ini!"
"Tidak usah, Pak. Terima kasih!" sahutnya cepat sambil tangannya memberi kode menolak.
"Saya ikhlas, Mbak!"