Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan Sunyi

15 Mei 2024   08:34 Diperbarui: 9 Juni 2024   16:37 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada satu orang pun yang percaya. Padahal sejak saat itu sampai berhari-hari berikutnya, aku masih takut jika berada di dapur. Bahkan hanya untuk melihat ke arah sosok misterius itu menampakkan diri saja, aku tidak berani. Membayangkan dia muncul saja sudah cukup membuat seluruh tubuhku merinding.

Satu alasan tunggal yang membuatku selalu tidak nyaman berada di ruang makan, apalagi jika sendirian, yaitu menyadari bahwa jika di siang hari saja, di saat terang, dia berani muncul, apalagi jika malam hari. Pikiran itu selalu menguasaiku sepanjang waktu.

Semua itu tidak seperti cerita kebanyakan orang mengenai hantu atau jin, yang katanya hanya muncul di dalam kegelapan. Nyatanya tidak demikian. Mereka berani muncul di dalam keadaan terang, asal memiliki kekuatan yang sangat besar. Karena dibutuhkan energi besar untuk melawan cahaya terang.

Di pojok sebelah lemari es, di bawah sorot matahari dari genting kaca. Aku merekam dalam-dalam sosoknya yang beranjak menghilang meninggalkanku. Begitulah, perempuan berkebaya dan berkerudung kuning gading memperkenalkan diri. Sosok misterius yang kulihat pertama kali dengan perasaan sangat ngeri.

Aku tahu, kemunculannya merupakan garis rencana Tuhan, rencana yang paling kubenci. Entah kenapa aku tak ingin sosok perempuan itu muncul lagi.

Dengan bertambahnya usia, aku mulai belajar untuk tidak memedulikan lagi penampakan sosok misterius itu. Bahkan kadang aku sengaja berdiri di tempatnya, sekedar ingin melihat dari sudut pandangnya ketika ia menatapku.

Menyelinap perasaan aneh saat kusentuh tembok, pinggir kusen jendela, dinding lemari es, sambil mencari-cari getaran asing merambati tubuhku. Mungkin saja dia masih berada di situ.

"Hei, kamu mestinya tahu, aku tidak sedang dalam fase siap saat itu!" kataku, "Aku masih seorang anak-anak. Kamu tahu itu. Kita tidak ada dalam satu dimensi yang sama di dunia ini!"

Sampai detik ini, setelah empat puluh tahun berlalu, aku masih penasaran, siapakah kamu sebenarnya? Apa tujuanmu menampakkan diri? Muncullah sekarang jika kamu berani, dan katakan apa maumu, atau harus kutunggu sampai malam tiba, sampai situasi gelap.

Dalam imajiku dia berkata, "Aku tidak akan mengganggumu lagi!" Dengan tatapan mata yang teduh, memandang tepat bola mataku, ia mengucapkan kata perpisahan dan kemudian perlahan-lahan menghilang.

Entah dari mana aku tiba-tiba tahu bahwa ia sebetulnya memiliki wajah yang cantik, anggun dan senyum yang manis. Kini, setiap senja pamit pergi, yang kuharap senyumnya tetap tinggal di sini, hinggap dan menetap dalam ingatan, hingga bisa kukenang di saat menjelang mataku terpejam di malam hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun