Ketika mendengar hasil pemeriksaan medis bahwa anaknya menderita kanker hati, dunia terasa kiamat. Hatinya hancur lebur.
"Ya Allah, apa dosaku?" serunya menggugat.
Setelah beberapa minggu, di tengah keputusasaan, seiring kepasrahan, setelah segala doa dipanjatkan bersama cucuran air mata yang nyaris kering, ada informasi yang membuat gairah hidupnya kembali bangkit. Seseorang yang mendonorkan hatinya sebelum meninggal sangat cocok dengan kondisi tubuh anaknya.
"Allah akhirnya menjawab doa ku!" kata hatinya sedikit bersyukur. Kedamaian merasuki jiwanya. Inilah buah damai.
Ia rela menggadaikan rumah, harta paling berharga terakhir yang dimilikinya, demi menyelamatkan nyawa si buah hati. Segera semua keperluan untuk operasi cangkok hati dipersiapankan.
Tepat seminggu sebelum operasi, Rizki ingin menemui keluarga pendonor. Ia ingin menyampaikan rasa terima kasih. Ia yakin ini adalah jalan keluar yang diberikan Tuhan. Buah hatinya akan terselamatkan.
Ketika sampai di rumah yang dituju dan dipersilakan masuk oleh seorang pembantu rumah tangga, kedua lutut Rizki bergetar di tempatnya berpijak. Matanya menatap nanar sebuah lukisan Yesus yang terpajang di ruang tamu. Hatinya terguncang dan kepalanya terasa pening.
Pemilik rumah akhirnya muncul menemuinya di ruang tamu, dan dia adalah dosen pembimbing anaknya, yang dulu dia katakan kafir. Jemari hening menggerayangi waktu. Membuat mulut Rizki terbungkam rapat dan erat. Penyesalan yang menyeruak tak hendak beranjak. Gejolak hati memberontak.
"Ya Allah!" keluh Rizki lirih sementara air mata menggenang di pelupuk. Badai dilema mengamuk. Segumpal hati yang selama ini sangat dibencinya, hati kafir, tidak lama lagi bakal menjadi bagian terpenting dari buah hatinya.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan, walaupun hanya seberat debu."
Saat itu seorang laki-laki menyahut, "Sesungguhnya orang itu suka memakai busana bagus dan sandal yang bagus pula."