Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buah Hati

5 Mei 2024   07:13 Diperbarui: 11 Juni 2024   20:27 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Setelah menyimak ceramah seorang ustadz di acara sebuah kampanye, Rizki menegaskan dalam hati untuk lebih konsisten menerapkan ajaran Islam. Khususnya menerapkan ayat Al Maidah 51, sebab tafsirnya mengenai larangan memilih pemimpin non muslim. Tepat untuk dibahas setiap masa menjelang pemilu.

Sikap tegas Rizki dibuktikan dengan memindahkan sekolah anaknya, lantaran kepala sekolahnya non muslim. Anak pertamanya yang sedang menyusun skripsi dipaksa untuk minta ganti dosen pembimbing, juga gara-gara non muslim. Untung rektornya muslim, sehingga tidak perlu pindah ke universitas lain.

Di komplek perumahannya, lelaki yang konsisten untuk hijrah itu menghasut warga agar mengganti ketua RT mereka. Lagi-lagi gara-gara non muslim. Menurutnya, jika seorang pimpinan non muslim kebijakannya nanti pasti tidak islami. Pasti tidak berpihak kepada Islam.

"Ini perintah Allah yang wajib ditaati!" ujar Rizki mengutip ucapan seorang ustadz, "Kita harus menjadi muslim yang kaffah, yaitu dengan menolak pemimpin kafir..! Pokoknya itu haram..!" serunya lantang.

Yang lebih tragis lagi, dia mengajukan pengunduran diri dari perusahaan tempatnya bekerja, karena direktur dan kebanyakan manajernya non muslim. Ia nekad mengambil keputusan berat itu karena yakin Allah akan mengganti dengan yang lebih baik, seperti yang disampaikan sang ustadz. Ia merasa imannya begitu kuat sebab berani memilih menganggur daripada menerima gaji haram. Ia yakin imannya telah sempurna.

Seiring berjalannya waktu, suatu ketika Rizki benar-benar mengalami kesulitan keuangan. Satu per satu perabotan rumah sudah dijual. Ia mulai dijangkiti keraguan, karena sudah terjepit dan tak sanggup bangkit. Biaya kebutuhan pendidikan anak-anaknya semakin sulit dipenuhi, padahal dulu ia selalu memprovokasi orang lain agar punya banyak anak.

"Jangan kuatir, semua itu sudah diatur dan dijamin rejekinya sama yang Maha Kuasa!" celotehnya bak ahli agama, "Bukankah banyak anak banyak rejeki!"

Belakangan bebannya bertambah, anak pertamanya tiba-tiba diantar pulang ke rumah oleh teman kuliahnya. Teman itu bilang anak kesayangannya itu mengeluh sakit dan kemudian pingsan di ruang kuliah.

Rizki segera membawa ke puskesmas, dan dokter yang memeriksa menyatakan harus segera dirawat inap di rumah sakit. Kondisinya sangat kritis.

Ketika mendengar hasil pemeriksaan medis bahwa anaknya menderita kanker hati, dunia terasa kiamat. Hatinya hancur lebur.

"Ya Allah, apa dosaku?" serunya menggugat.

Setelah beberapa minggu, di tengah keputusasaan, seiring kepasrahan, setelah segala doa dipanjatkan bersama cucuran air mata yang nyaris kering, ada informasi yang membuat gairah hidupnya kembali bangkit. Seseorang yang mendonorkan hatinya sebelum meninggal sangat cocok dengan kondisi tubuh anaknya.

"Allah akhirnya menjawab doa ku!" kata hatinya sedikit bersyukur. Kedamaian merasuki jiwanya. Inilah buah damai.

Ia rela menggadaikan rumah, harta paling berharga terakhir yang dimilikinya, demi menyelamatkan nyawa si buah hati. Segera semua keperluan untuk operasi cangkok hati dipersiapankan.

Tepat seminggu sebelum operasi, Rizki ingin menemui keluarga pendonor. Ia ingin menyampaikan rasa terima kasih. Ia yakin ini adalah jalan keluar yang diberikan Tuhan. Buah hatinya akan terselamatkan.

Ketika sampai di rumah yang dituju dan dipersilakan masuk oleh seorang pembantu rumah tangga, kedua lutut Rizki bergetar di tempatnya berpijak. Matanya menatap nanar sebuah lukisan Yesus yang terpajang di ruang tamu. Hatinya terguncang dan kepalanya terasa pening.

Pemilik rumah akhirnya muncul menemuinya di ruang tamu, dan dia adalah dosen pembimbing anaknya, yang dulu dia katakan kafir. Jemari hening menggerayangi waktu. Membuat mulut Rizki terbungkam rapat dan erat. Penyesalan yang menyeruak tak hendak beranjak. Gejolak hati memberontak.

"Ya Allah!" keluh Rizki lirih sementara air mata menggenang di pelupuk. Badai dilema mengamuk. Segumpal hati yang selama ini sangat dibencinya, hati kafir, tidak lama lagi bakal menjadi bagian terpenting dari buah hatinya.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan, walaupun hanya seberat debu."

Saat itu seorang laki-laki menyahut, "Sesungguhnya orang itu suka memakai busana bagus dan sandal yang bagus pula."

Jawab Rasulullah, "Sesungguhnya Allah itu maha indah dan menyukai keindahan. Sombong itu menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia."

"Siapa yang suka merendahkan orang lain," kata tuan rumah memecah keheningan, "Kelak pasti akan direndahkan oleh kehidupan!"

Rizki tergeletak pingsan di kursinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun