Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penghuni Neraka yang Ahli Ibadah

19 April 2024   23:20 Diperbarui: 20 Juni 2024   19:42 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh: Tri Handoyo

Menjaga kewarasan barangkali termasuk hal tersulit dewasa ini. Jauh lebih sulit ketimbang menjaga kesehatan tubuh, sebab orang yang tubuhnya tidak sehat biasanya akan dengan mudah menyadarinya. Sementara mengenai kewarasan, seringkali si penderita sulit atau bahkan sama sekali tidak menyadari. Lebih parahnya lagi, ia sebaliknya bisa menuduh orang lainlah yang tidak waras.

Hal itu terjadi pada Bu Tifa. Dulu ia sosok wanita karir yang sukses, disiplin, cermat dan cerdik. Itu yang membuat dirinya selalu merasa baik dan yakin pasti terhindar dari melakukan tindakan bodoh.

Suaminya sudah lama meninggal dunia. Mungkin itu cara terbaik bagi si suami agar terbebas dari omelan-omelan yang bagai debur ombak lautan. Tak kenal reda. Bisa jadi lelaki malang itu mati dengan perasaan merdeka.

Bu Tifa yang rajin ibadah itu sedang belanja kebutuhan sehari-hari di toko pojok jalan menuju rumahnya.

Kang Dodit si pemilik warung menyapanya dengan ramah, "Wah mau mborong ya, Bu? Barusan dapat gaji ke 13 nih rupanya?"

Bu Tifa tidak langsung merespon, tapi pikirannya dengan cepat menganalisa ucapan Kang Dodit. Kemudian perempuan setengah baya itu, seperti yang selama ini dikenal masyarakat sebagai perempuan cerewet, melontarkan pertanyaan balik dan tanpa memberi kesempatan langsung memberondong dengan sengit. "Kang Dodit pasti tahu kan kalau setiap awal bulan belanja saya ya seperti ini, jadi apa maksudnya kok bilang saya mau mborong?" Ia bertanya sambil bersungut-sungut, "Lagi pula saya kalau belanja tidak pernah ngutang! Saya selalu bayar tunai! Apa saya pernah ngutang di sini, Kang? Gak pernah kan? Terus apa urusannya dengan dapat gaji ke 13, kang?"

"Maaf Bu Tifa, saya tadi sekedar bercanda. Saya tidak punya maksud seburuk yang ibu katakan!"

"Makanya kalau mau ngomong itu dipikir dulu! Tapi saya tahu maksud tersembunyi dari ucapan mu itu, Kang? Pasti mengira saya mau ngutang kan? Saya paham, karena saya janda, pensiunan pegawai rendahan, dan anak-anak saya jauh di luar kota. Saya bukan orang bodoh, Kang? Jadi jangan dikira saya tidak bisa menagkap maksud burukmu itu?"

"Oh ala, bu. Sekali lagi saya minta maaf, Bu. Baiklah, sebagai permintaan maaf, saya akan beri discount belanjaan ibu sebesar lima persen!"

"Hei kang Dodit, sekedar tahu saja ya, biarpun saya janda tapi saya masih punya harga diri! Saya masih dapat pensiunan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan saya. Jadi saya tidak pernah mengharap belas kasihan orang. Saya ke sini mau beli, bukan mau ngemis. Kang Dodit sudah keterlaluan menghina saya!"

Pemilik toko itu hanya bisa mengelus dada, "Masyaallah, Bu, saya sama sekali tidak punya pikiran seburuk itu terhadap Bu Tifa! Sumpah!"

"Sudah, tidak usah mengelak. Saya bukan orang bodoh yang tidak tahu maksud tersembunyi dari ucapan orang. Pakai nyindir-nyindir segala. Kalau tidak suka saya belanja di sini, mulai saat ini, saya bersumpah tidak akan menginjakan kaki di toko ini lagi!"

"Sabar Bu Tifa. Istighfar.., istighfar..!"

"Saya itu setiap selesai shalat selalu baca istighfar 100 kali, jadi Kang Dodit gak usah sok alim ngajari saya untuk baca istighfar. Kang Doditlah yang harus banyak istighfar, biar tidak gampang berprasangka buruk sama orang!"

"Baik saya yang salah!" Kang Dodit menyerah, karena keributan itu telah menarik perhatian pembeli lain. "Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Bu Tifa!"

"Tidak perlu minta maaf sama saya, tapi mintalah ampunan sama Allah! Hanya Allah yang bisa mengampuni dosa-dosamu!"

"Baik, Bu. Trima kasih sudah mengingatkan saya! Sekali lagi saya minta maaf!"

Di sepanjang perjalanan pulang, Bu Tifa selalu menyempatkan diri untuk menceritakan kepada setiap orang yang ditemuinya mengenai betapa sangat terluka hatinya.

"Ya Allah, saya ini orang baik-baik," tutur Bu Tifa, "Tapi diperlakukan oleh pemilik toko sombong itu seperti pengemis! Kang Dodit itu rupanya mulai gak waras!"

"Kok bisa sampai begitu ya bu?" tanya Ning Atik penasaran.

"Ya pada dasarnya Kang Dodit itu memang sombong. Saya sudah lama kenal dia. Apalagi pilpres kemarin saya tidak mau diarahkan untuk milih jago dia, makanya dia jadi sinis sama saya dan makin sombong saja!" celoteh Bu Tifa panjang lebar.

"Kok sampai segitunya, bu?"

Bu Tifa yang tak kenal lelah berkicau itu akhirnya mengundang simpati beberapa orang. Mereka yang memang punya dendam pribadi kepada Kang Dodit gara-gara beda pilihan politik, segera mengkoordinir massa untuk melakukan aksi. Ya, ini adalah aksi bela janda.

"Ayo kita demo toko Kang Dodit!" teriak Rafli memprovokasi kerumunan orang.

"Kang, apa tidak perlu diklarifikasi dulu ke Kang Dodit," saran seorang warga, "Apa benar dia telah melecehkan dan menghina Bu Tifa?"

"Hei Mbak Yu, saya kenal baik siapa Bu Tifa itu," jawab Rafli, "Dia itu rajin ke masjid, shalatnya khusuk, rajin ikut pengajian, jadi dia tidak mungkin bohong. Ayo, di mana rasa solidaritas mu sebagai sesama janda, Mbak?"

Entah bagaimana cerita mengenai Bu Tifa itu bisa menjadi berkembang dan semakin memanas. Sekelompok orang berduyun-duyun mendatangi toko Kang Dodit dengan diiringi teriakan berbagai kecaman dan caci-maki yang cukup memancing emosi warga.

"Boikot toko penista janda!"

"Boikot toko anti warga pribumi!"

"Usir orang kaya sombong dari kampung kita!"

"Ayo kita jihad!"

Orang-orang yang merasa waras itu dengan penuh semangat merasa sedang berjuang membela kebenaran. Mereka merasa sangat yakin sudah berada di jalan yang benar.

Belasan abad yang lalu, seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasul, ada seorang wanita yang rajin shalat malam, gemar berpuasa di siang hari, giat melakukan amal kebaikan dan banyak bersedekah. Namun dia sering menyakiti tetangganya dengan lisannya? Bagaimana dengan dia ini?"

Rasulullah menjawab tegas, "Tiada kebaikan padanya dan dia termasuk penghuni neraka."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun