Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Gadungan

13 April 2024   14:35 Diperbarui: 22 Juni 2024   07:49 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo


Oleh: Tri Handoyo

Tidak jarang kejadian orang yang berpura-pura menjadi aparat. Entah itu sebagai polisi atau tentara. Biasanya itu disebut dengan istilah aparat 'gadungan'.

Kenapa orang berniat menjadi aparat gadungan? Kebanyakan bertujuan untuk mengelabuhi masyarakat. Jika dari situ tidak bisa mendapatkan keuntungan materi, paling tidak bisa mendapatkan keuntungan moril, seperti dihormati atau disegani. Berharap biar tampak lebih berkharisma atau berwibawa. Bahkan tidak sedikit yang motivasinya untuk berbuat kriminal.

Apabila mengingat dampak buruknya, hal-hal yang berbau gadungan sudah semestinya ditertibkan. Hukumnya wajib ditindak tegas. Jadi mestinya kita bersyukur ketika ada orang yang berniat meluruskan atau menertibkan hal tersebut.

Andaikata orang yang ditindak itu memang aparat asli, tentu dia tidak akan keberatan untuk diselidiki keasliannya. Jika dia keberatan, menolak, ngamuk dan menyerang balik, justru akan menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat. Ada apa? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan?

Masyarakat tidak bisa disalahkan jika kemudian mencurigai oknum tersebut adalah gadungan. Realitasnya memang sering muncul dokter gadungan, pengacara gadungan, jurnalis gadungan, budayawan gadungan, dan lain-lain. Namun tidak ada peran gadungan yang jauh lebih berbahaya dibanding dengan agamawan gadungan, yang belakangan semakin merajalela. Ada kyai gadungan, gus gadungan, Ustadz gadungan, dan ada keturunan nabi gadungan.

Apa bahayanya? Kalau dokter gadungan barangkali hanya menipu seorang pasien yang datang kepadanya. Sementara jika agamawan gadungan, dia bisa menipu banyak orang. Berbagai doktrin dikemas dengan simbol-simbol agama, mengatasnamakan Tuhan dan nabi, bisa menyesatkan banyak umat. Bisa mengadu domba umat, hingga menimbulkan bentrok fisik, bahkan sampai perang.

Sejarah membuktikan bahwa betapa banyak pertumpahan darah di antara sesama umat Islam yang awalnya disebabkan oleh pemimpin agama gadungan. Dia mempolitisasi agama hanya demi meraih kedudukan dan kekuasaan semata.

Gadungan adalah bentuk kepura-puraan. Tentu bukan hal yang mudah jika harus berpura-pura dalam jangka waktu lama. Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang pasti memiliki bakat akting luar biasa. Pasti ahli manipulasi, dan biasanya disertai pamer kerelijiusan atau klaim-klaim untuk menunjang aktingnya tersebut. Dari fenomena itu muncul istilah 'manipulator agama'.

Contoh seorang manipulator agama ulung adalah Snouck Horgonje. Apakah dia mengambil hati umat dengan menyodorkan uang? Harta benda? Atau dengan sembako? Tidak! Tidak sama sekali. Yang dia sodorkan adalah pesona ilmunya yang penuh manipulasi dan simbol-simbol agama.

Yang memalsukan obat-obatan seringkali ahli obat. Yang merekayasa hukum seringkali ahli hukum. Begitu juga yang memanipulasi agama seringkali justru yang ahli agama.

Snouck pura-pura shalat, pura-pura nyembah Allah, pura-pura berjuang dan membela agama, dan itu dilakuakn dalam kurun waktu yang cukup lama. Snouck mampu melakukan semua itu demi pengabdiannya kepada Belanda agar proyek penjajahannya langgeng.

Itulah kenapa, jika oknum gadungan itu diabaikan, tidak diluruskan dan ditertibkan, akan semakin banyak fenomena orang tergoda untuk menjadi gadungan. Itu jelas sangat berbahaya.

Hukum pelurusan dan penertiban terhadap nasab-nasab gadungan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah fardu kifayah. Sebab pemalsuan nasab itu termasuk istihqor bi haqqi al mustofa (merendahkan hak Nabi Muhammad SAW).

Imam Malik bin Anas pernah menyatakan, "Barangsiapa yang bernisbah kepada keluarga nabi, yakni dengan cara batil (memalsukan), maka ia wajib dipukul dengan pukulan yang pedih dan diumumkan ke publik serta dipenjara." (Ushulu wa Qowaid Fi Kasfi Mudda'I al-Syaraf: 9).

Fenomena gadungan, khususnya mengenai nasab yang dinisbahkan kepada nabi, telah lama menjadi subjek kajian. Mulai dari kajian agamis, psikologis, filosofis, sosiologis, antropologis, dan bahkan mistis, yang semua itu untuk memperkaya perspektif. Tujuannya adalah mencegah timbulnya fenomena gadungan yang terstruktur, masif dan sistematis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun