Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kampung Kalbu

27 Maret 2024   17:12 Diperbarui: 20 Juni 2024   19:59 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo 

Ustadz Asman adalah tokoh agama yang sangat dihormati. Sejak kecil ia memang dididik di dalam keluarga yang menjunjung tinggi ajaran agama. Pantas jika ia kemudian menjadi seorang mubaligh yang populer dan memiliki banyak penggemar.

Jadwal pengajian yang begitu padat dan selalu dihadiri banyak jamaah membuat ia terbuai puji sanjung. Lambat laun, tanpa disadarinya ia giat berdakwah lantaran kecanduan nikmatnya berada di antara para pengagum, dan tentu saja juga karena bayaran yang lumayan dalam setiap undangan ceramah. Ia mengira bahwa semua itu adalah nikmat yang diperoleh karena telah memperjuangkan agama. Anugerah dari Sang Maha Kuasa.

Ia juga semakin tekun beribadah. Shalat, puasa, baca Al Quran, dan semangatnya tampak jauh meninggalkan ustadz-ustadz lainnya. Ia pergi haji dan umrah berkali-kali. Kekayaan pun bagaikan menghampiri dengan sendirinya. Sepertinya Allah begitu bermurah hati, sampai tak terdapat satupun cela ada pada sosok yang nyaris sempurna itu.

Tidak berhenti di situ, Asman bin Nurrudin juga memiliki nasab yang dianggap mulia yang menjadi kebanggannya. Di tambah penampilan yang memesona, sehingga hampir bisa dipastikan semua wanita berandai-andai bisa menjadi istrinya, tidak peduli meskipun menjadi yang ketiga atau keempat.

Semua kata-kata yang keluar dari mulutnya laksana fatwa, dan itu dijadikan pedoman perilakunya bagi para pemujanya.

Suatu hari Asman bermimpi berada di sebuah tempat terpencil, ada tulisan 'Kampung Kalbu', dan dia dalam kondisi terperosok ke dalam kubang kotoran. Tubuhnya sudah hampir tenggelam sepenuhnya. Namun kemudian ada seorang kakek tua datang memberikan pertolongan. Sebelum berhasil keluar dari kubangan, ia terjaga dari tidur. Keringat membasahi tubuhnya.  Kenyamanannya terusik, dihantui oleh bayang-bayang mimpi yang sangat mengerikan dan menjijikan itu.

Hari itu juga, Asman yang gelisah segera mencari kampung terpencil yang muncul dalam mimpinya. Ia diam-diam pergi. Seorang diri.

Di sebuah padang ilalang yang luas, ia bertemu dengan seorang pencari rumput, dan ia bertanya letak kampung yang sedang dicarinya.

Ketika orang itu berpaling, betapa terkejutnya Asman, karena wajah orang itu adalah wajah kakek tua yang ada dalam mimpinya, wajah yang mengulurkan tangan memberikan pertolongan.

"Shalat anda memang sudah bagus," tutur kakek pencari rumput datar, "Tapi akan berguna jika semua itu mampu meningkatkan kualitas akhlak dan meninggikan budi pekerti anda!"

Asman mulai tersinggung. 'Seandainya kamu tahu siapa aku? Mulutmu pasti akan terbungkam,' batinnya. Namun rasa penasaran yang menggumpal menahan emosinya untuk bereaksi sebagaimana biasanya.

"Puasa anda memang sudah baik, tapi akan bermanfaat jika itu mampu menguatkan rasa belas kasih kepada orang lain, menguatkan kepedulian kepada sesama, dan mampu membuat anda semakin rendah hati!"

Damar tertunduk lesu. Mulutnya terkunci dan lidahnya kelu. Ia baru menyadari bahwa selama ini dirinya begitu mudah menghujat, mencaci-maki dan menghina serta memandang rendah orang yang berseberangan dengan keyakinannya. Ia memang merasa sudah demikian baik, sehingga merasa sah berbuat seperti itu. Ia merasa apa yang dilakukannya itu adalah demi membela agama. Demi cintanya pada agama.

"Agama itu mulia karena akhlak. Jadi bela agama itu dengan berakhlak mulia. Itu jika anda memang benar menuhankan Allah," tandas kakek itu tegas, "Bukan menuhankan agama, apalagi yang diliputi hawa nafsu!"

'Betapa kurang ajarnya orang ini! Tapi semua ucapannya benar!' Damar semakin tak berdaya.

"Anda tadi mencari kampung kalbu, silakan anda pergi ke atas bukit sana!" sambung kakek tua seraya tangannya menunjukkan arah, sebelum akhirnya dia melangkah pergi meninggalkan ustadz yang tampak masih sangat terpukul itu. "Permisi..! Assalamualaikum..!"

"Wa..alaikum..salam..!" jawab Asman, "Tunggu, siapa anda?" teriaknya setelah kakek itu nyaris menghilang dari pandangan.

"Saya hanya tukang cari rumput!"

Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akhirnya Ustadz Asman berhasil mencapai tempat yang bisa dijadikan untuk istirahat. Itu sebuah langgar kecil, berdinding papan kayu, berlantai tanah dan beratap jerami. Luasnya hanya sekitar tiga kali tiga meter. Selembar tikar tua tampak menutupi sebagian lantai. Kondisi langgar tua itu memprihatinkan tapi terlihat cukup bersih. Tempat itu seakan-akan mengundang ustadz itu untuk melaksanakan shalat di situ.

Sejenak ia termenung, menyandarkan tubuhnya yang letih pada tiang penyangga dari kayu. Sementara pandangan matanya menelusuri batu-batu tempat pijakan menuju tempat wudhu. Saat itu mentari sudah menyelinap di balik pepohonan. Namun sebagian sinarnya masih mampu menerjang dedaunan, lalu jatuh menerangi teras langgar, dengan semburat cahayanya yang mempesona.

Ia paksa tubuhnya untuk bangkit berjalan menuju sumur, mengambil air wudhu. Ketika membasuh muka yang masih penuh keringat, ada kesejukan yang menyeruak. Rasa segar mengguyur sekujur tubuh. Begitu sejuk. Air yang bening itu seketika menjernihkan pikirannya.

Ia ingin segera sembayang. Rindu untuk melakukannya dengan khusuk. Kini ia merasa hanya ada dirinya dan Allah. Ya, hanya Allah, yang sedang mengarahkan pandanganNya ke dirinya. Damai membanjiri hati. Sebuah kedamaian yang selama ini menyingkir jauh. Kedamaian yang sebelumnya tidak pernah ia temukan di masjid-masjid besar dan megah.

Barangkali, karena di dalam membangun masjid-masjid megah itu tercampur uang haram. Dibangun oleh orang-orang yang berniat mencari muka. Dibangun oleh orang-orang yang mencari kebanggaan dan demi ambisi duniawi. Sementara langgar tua ini dibangun dari sumber dana yang halal. Dibangun dengan ketulusan dan keikhlasan, hanya demi mencari ridha Allah.

Ia seolah telanjang. Dosa-dosa terpampang di depan mata. Sampai akhirnya ia tersungkur, air mata mengucur, tak kuasa ditahan.

"Ya Allah, ampuni hamba yang selama ini penuh kepura-puraan, bukan menghidupkan agama, tapi mencari hidup dari agama. Mencari nafkah dengan menjual simbol-simbol agama."

"Ya Allah, ampuni hamba yang selama ini menipuMu. Hamba beribadah ditengah-tengah umat manusia dan terbesit di hati agar mendapat sanjungan. Prasangka dan pendapat mereka lebih penting bagi hamba dibanding menggapai ridhaMu."

"Ya Allah, ampuni hamba yang telah mendustaiMu. Hamba memperjuangkan agama di tengah-tengah umat manusia dan terbesit di hati agar mendapat gelar sebagai pejuang agama, sebagai pahlawan agama."

"Ya Allah, ampuni hamba yang pandai menuntut orang lain agar mengerti dan memahami hamba, tapi hamba tidak sudi untuk mengerti dan memahami orang lain. Hamba rajin menilai kekurangan dan mencela kelemahan orang lain. Tapi hamba tidak sudi diingatkan, apalagi dikritik."

"Ya Allah, ampunilah hambaMu ini, yang selama ini tidak serius menyembahMu, tidak sungguh-sungguh mempertuhankanMu. Hamba lebih mempertuhankan kebutuhan dan kepentingan hawa nafsu."

Kesadaran seperti itu justru timbul ketika ia berada di dalam langgar tua yang terpencil, bukan di dalam masjid yang indah dan megah.

"Ya Allah, terimahlah taubat hambaMu ini!" Perbuatan dosa yang paling terakhir diingatnya adalah ia suka memotivasi umat untuk menyumbangkan dana sebanyak-banyaknya buat masjid di dekat rumahnya. Ia bermegah-megah soal pembangunan masjid, tapi mengabaikan kesulitan dan penderitaan umat di sekelilingnya.

Keluarga Ustadz Asman sudah melaporkan mengenai orang hilang ke polisi. Sudah sejak sepuluh hari di akhir Ramadan hingga mau mendekati Syawal, tak seorang pun tahu di mana keberadaan si ustadz terkenal.

Jauh di sebuah tempat terpencil di atas bukit, warga menemukan orang asing meninggal dunia di langgar tua. Langgar yang lama tak terpakai dan terbengkalai. Sebuah papan kayu di bagian depan, terdapat tulisan yang agak memudar tapi masih bisa terbaca, berbunyi 'Kampung Kalbu'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun