"Shalat anda memang sudah bagus," tutur kakek pencari rumput datar, "Tapi akan berguna jika semua itu mampu meningkatkan kualitas akhlak dan meninggikan budi pekerti anda!"
Asman mulai tersinggung. 'Seandainya kamu tahu siapa aku? Mulutmu pasti akan terbungkam,' batinnya. Namun rasa penasaran yang menggumpal menahan emosinya untuk bereaksi sebagaimana biasanya.
"Puasa anda memang sudah baik, tapi akan bermanfaat jika itu mampu menguatkan rasa belas kasih kepada orang lain, menguatkan kepedulian kepada sesama, dan mampu membuat anda semakin rendah hati!"
Damar tertunduk lesu. Mulutnya terkunci dan lidahnya kelu. Ia baru menyadari bahwa selama ini dirinya begitu mudah menghujat, mencaci-maki dan menghina serta memandang rendah orang yang berseberangan dengan keyakinannya. Ia memang merasa sudah demikian baik, sehingga merasa sah berbuat seperti itu. Ia merasa apa yang dilakukannya itu adalah demi membela agama. Demi cintanya pada agama.
"Agama itu mulia karena akhlak. Jadi bela agama itu dengan berakhlak mulia. Itu jika anda memang benar menuhankan Allah," tandas kakek itu tegas, "Bukan menuhankan agama, apalagi yang diliputi hawa nafsu!"
'Betapa kurang ajarnya orang ini! Tapi semua ucapannya benar!' Damar semakin tak berdaya.
"Anda tadi mencari kampung kalbu, silakan anda pergi ke atas bukit sana!" sambung kakek tua seraya tangannya menunjukkan arah, sebelum akhirnya dia melangkah pergi meninggalkan ustadz yang tampak masih sangat terpukul itu. "Permisi..! Assalamualaikum..!"
"Wa..alaikum..salam..!" jawab Asman, "Tunggu, siapa anda?" teriaknya setelah kakek itu nyaris menghilang dari pandangan.
"Saya hanya tukang cari rumput!"
Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akhirnya Ustadz Asman berhasil mencapai tempat yang bisa dijadikan untuk istirahat. Itu sebuah langgar kecil, berdinding papan kayu, berlantai tanah dan beratap jerami. Luasnya hanya sekitar tiga kali tiga meter. Selembar tikar tua tampak menutupi sebagian lantai. Kondisi langgar tua itu memprihatinkan tapi terlihat cukup bersih. Tempat itu seakan-akan mengundang ustadz itu untuk melaksanakan shalat di situ.
Sejenak ia termenung, menyandarkan tubuhnya yang letih pada tiang penyangga dari kayu. Sementara pandangan matanya menelusuri batu-batu tempat pijakan menuju tempat wudhu. Saat itu mentari sudah menyelinap di balik pepohonan. Namun sebagian sinarnya masih mampu menerjang dedaunan, lalu jatuh menerangi teras langgar, dengan semburat cahayanya yang mempesona.