Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merdeka Itu Mahal, tapi Damai Tak Ternilai

15 Maret 2024   11:43 Diperbarui: 18 Juni 2024   21:18 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Mari kita tengok negara Afganistan. Serangkaian kudeta di tahun 1970an, menghancurkan sebagian besar Afganistan. Setelah bebas dari cengkeraman pasukan Soviet, negara ini menjadi negara Islam. Sebagian besar wilayahnya telah dikuasai oleh kelompok Taliban, yang memerintah negara itu selama hampir lima tahun sebagai rezim totaliter. Taliban berusaha menerapkan interpretasi hukum Syariah Islam yang kaffah dan ketat. Apakah dengan menerapkan hukum Islam lantas membuat negara itu baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur? Tidak! Afghanistan telah menjadi tempat bersarang bagi individu dan organisasi yang terlibat terorisme, terutama jaringan Al-Qaeda.

Sampai sekarang Afghanistan masih dilanda konflik paling rumit. Kemiskinan, ketiadaan jaminan kesehatan dan perang etnis, membuat Afghanistan menjadi negara paling tidak bersahabat bagi kaum wanita dan anak-anak di dunia.

Pada pertengahan tahun 2012, beberapa faksi di Suriah gegap gempita angkat senjata untuk menggulingkan Presiden Assad. Mereka berdalih bahwa Assad itu Syiah yang tengah memusuhi dan membantai warga  Sunni.

Hoax tersebut disebarkan dengan  gencar dan terus-menerus, hingga tembus ke mancanegara. Tidak sedikit yang akhirnya meyakini itu sebagai suatu realitas. Fakta-fakta framing pun diproduksi untuk pembenaran keyakinan itu.

Beberapa faksi yang bersatu memberontak kepada pemerintah yang sah itu adalah Ikhwanul Muslimin (IM) Suriah, Hizbut Tahrir Suriah, dan Al Qaida Suriah (Jabhah Al Nusra). Di tahun berikutnya muncul ISIS, yang akar ideologinya tidak jauh beda dengan Al Qaida, ikut bergabung menggempur Pemerintahan Assad.

IM mendapatkan dukungan dana dari banyak negara, antara lain Turki, Qatar, AS, Prancis, Inggris, dll. Turki menjadi pilihan untuk menjadi markas mereka, dan membentuk "Free Syrian Army" (FSA), yang terdiri dari banyak milisi juga, salah satunya yang terkenal yaitu "Jaysh Al Islam".  

Saudi Arabia juga terlibat ikut mendanai proyek penggulingan Assad, tapi karena Saudi sebetulnya anti IM, maka uangnya mengalir ke faksi Al Qaida. Oleh karena itu Qatar dan Saudi sempat putus hubungan diplomatik gara-gara beda jagoan.

Pada tahun 2013, Al Nusra pecah. Sebagian gabung dengan ISIS. Al Nusra ysng oleh PBB dinyatakan sebagai organisasi teroris itu kemudian ganti nama menjadi "Haiat Tahrir Al Syam" (HTS). Bermarkas di Idlib. HTS berkolaborasi dengan milisi-milisi IM, yang sama-sama bercokol di wilayah tersebut.

Di sisi lain, Pemerintah Suriah mendapat bantuan dari Rusia untuk membasmi para teroris di Idlib, yang hingga sekarang masih belum berhasil mengambil alih Provinsi tersebut dari tangan teroris.

Yang lumayan menggelikan, para teroris yang mengaku mujahidin itu selalu mengklaim pro kemerdekaan Palestina, tapi saat Gaza digempur Israel, mereka justru meningkatkan intensitas serangan bom ke warga Suriah sendiri.

Sebetulnya ini bukan hal aneh, sebab ISIS pun pernah minta maaf ke Israel lantaran bomnya nyasar ke wilayah tersebut. Mengaku pejuang khilafah tapi menyerang sesama umat Islam dan tunduk kepada Yahudi. Unik dan menarik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun