Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Para Pembeli Suara

15 Maret 2024   01:37 Diperbarui: 23 Juni 2024   11:39 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoo

Sempat beredar wacana untuk melegalkan politik uang, yang bisa jadi ini sebagai bentuk frustasinya KPU dalam mengatasi problem masifnya politik uang.

Money politic di musim pemilu merupakan dampak dari revisi undang-undang pemilu dari sistem proporsional tertutup menjadi proposional terbuka. Meskipun sebetulnya proporsional tertutup pun tak luput dari money politic, namun terjadi hanya di lingkaran elit politik.

Indonesia rupanya adalah negara demokrasi terbesar sebagai pelaku money politic. Dari sebuah hasil penelitian lembaga survey Indikator Politik menyebutkan ada sekitar 33% pemilih yang mengaku menerima uang. Dari jumlah total pemilih, itu berarti sekitar 60 juta orang.

Orang indonesia sudah menganggap hal ini lazim, sehingga dari pemilu ke pemilu semakin vulgar, tidak merasa tabu dan malu untuk melakukan politik uang, atau bisa juga berwujud sembako.

Market yang menjadi target utama para caleg adalah para partisan yang jumlahnya sekitar 13%. Namun ini belum cukup untuk bisa memenangkan pemilu, maka target berikutnya adalah pemilih non partisan, atau disebut pemilih mengambang, karena sulit untuk bisa dipastikan. Kelompok ini sekitar 20%. Para caleg terpaksa menyasar mereka meskipun tidak ada jaminan bahwa pemilih ini akan menepati janjinya.

Biaya politik memang sangat besar, lantaran  para politisi juga butuh tim sukses, tim yang sejatinya adalah broker.

Tim sukses bisa bekerja kepada lebih dari satu kandidat. Modalnya adalah klaim bahwa mereka punya massa, bisa by name dan by address.

Tim ini yang akan bekerja untuk mendistribusikan APK, uang dan sembako. Tidak menutup kemungkinan sebagian besar uang itu justru masuk ke kantong tim sukses sendiri. Para politisi tetap nekad menyewa mereka, kendati sebetulnya sadar bahwa potensi kebocoran pendistribusian sangat tinggi.

Ada satu pertanyaan menarik dalam survey soal apakah uang mampu memengaruhi keputusan konstituen dalam memilih. Hasilnya yang menjawab ada pengaruh itu hanya 10%. Jumlah yang lumayan kecil.

Para pemilih kadang menerima uang dari beberapa kandidat dan dari beberapa partai. Ini bisa dianggap sebagai insentif agar mereka bersedia pergi ke TPS, sebab jumlah uang yang diterima tidak terlalu besar. Hanya cukup sebagai pengganti aktifitas kerja dan pengganti transportasi.

Sisi positif dari kegiatan pemilu memang mampu menggerakkan roda perekonomian. Peredaran uang di masyarakat cukup besar. Uang yang sebelumnya diparkir di bank akan dikeluarkan untuk biaya politik para caleg.

Hukum bahwa politik uang adalah haram rupanya tidak berlaku di negara yang mengaku berdasarkan ketuhanan yang maha esa ini.

Satu hal yang sering dilupakan para pemilih, jika para pembeli suara yang berhasil meraih kursi parlemen menggunakan cara-cara haram, bisakah rakyat kelak berharap bahwa produk yang dihasilkan DPR halal? Bisakah DPR bekerja demi kepentingan rakyat?

Yang masuk akal, para pembeli suara itu pasti lebih mengutamakan bagaimana balik modal secepat mungkin. Logis.

Bagi pemerhati yang menyimak dan mempelajari setiap pemilu pasti tahu bahwa pemilu akan selalu diwarnai kecurangan. Dari pihak mana pun. Sama saja.

Pemilu 2004 terungkap ada kecurangan. Pemiku 2009 juga demikian. Pemilu 2014, 2019, 2024 pun kecurangan tetap terjadi. Pelakunya ya semua pihak. Cuma beda kapasitas dan intensitasnya.

Nah, agar pemilu 2029 tidak ada kecurangan, barangkali ada baiknya  pilpres di kembalikan dipilih oleh MPR. Setidaknya money politik di sana tidak sampai menimbulkan karut-marut yang menguras energi masyarakat.

Sepanjang mayoritas masyarakat masih bodoh, ya money politik akan terus ada, keterbelahan masyarakat akan tetap terulang, dan berbagai sengketa paska pemilu akan terus terjadi.

Lantas para pembeli suara sibuk saling tuding curang, apalagi pihak yang kalah. Bantuan yang terlanjur disalurkan pun kalau bisa minta dikembalikan. Stress berat. Sudah curang kalah lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun