Oleh: Tri Handoo
Sempat beredar wacana untuk melegalkan politik uang, yang bisa jadi ini sebagai bentuk frustasinya KPU dalam mengatasi problem masifnya politik uang.
Money politic di musim pemilu merupakan dampak dari revisi undang-undang pemilu dari sistem proporsional tertutup menjadi proposional terbuka. Meskipun sebetulnya proporsional tertutup pun tak luput dari money politic, namun terjadi hanya di lingkaran elit politik.
Indonesia rupanya adalah negara demokrasi terbesar sebagai pelaku money politic. Dari sebuah hasil penelitian lembaga survey Indikator Politik menyebutkan ada sekitar 33% pemilih yang mengaku menerima uang. Dari jumlah total pemilih, itu berarti sekitar 60 juta orang.
Orang indonesia sudah menganggap hal ini lazim, sehingga dari pemilu ke pemilu semakin vulgar, tidak merasa tabu dan malu untuk melakukan politik uang, atau bisa juga berwujud sembako.
Market yang menjadi target utama para caleg adalah para partisan yang jumlahnya sekitar 13%. Namun ini belum cukup untuk bisa memenangkan pemilu, maka target berikutnya adalah pemilih non partisan, atau disebut pemilih mengambang, karena sulit untuk bisa dipastikan. Kelompok ini sekitar 20%. Para caleg terpaksa menyasar mereka meskipun tidak ada jaminan bahwa pemilih ini akan menepati janjinya.
Biaya politik memang sangat besar, lantaran  para politisi juga butuh tim sukses, tim yang sejatinya adalah broker.
Tim sukses bisa bekerja kepada lebih dari satu kandidat. Modalnya adalah klaim bahwa mereka punya massa, bisa by name dan by address.
Tim ini yang akan bekerja untuk mendistribusikan APK, uang dan sembako. Tidak menutup kemungkinan sebagian besar uang itu justru masuk ke kantong tim sukses sendiri. Para politisi tetap nekad menyewa mereka, kendati sebetulnya sadar bahwa potensi kebocoran pendistribusian sangat tinggi.
Ada satu pertanyaan menarik dalam survey soal apakah uang mampu memengaruhi keputusan konstituen dalam memilih. Hasilnya yang menjawab ada pengaruh itu hanya 10%. Jumlah yang lumayan kecil.