Mohon tunggu...
TRI HANDITO
TRI HANDITO Mohon Tunggu... Guru - Kawulaning Gusti yang Mencoba Untuk Berbagi

Agar hatimu damai, tautkankanlah hatimu kepada Tuhanmu dengan rendah hati.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan dalam Ranah Sakral dan Profan

15 Januari 2025   11:16 Diperbarui: 15 Januari 2025   11:16 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumen pribadi

Prolog : Dua Dimensi Pendidikan

Pendidikan memegang peranan penting dalam proses bertumbuhnya individu, masyarakat, dan juga peradaban bangsa dari generasi ke generasi. Dalam konteks ini, bicana tentang pendidikan tidak hanya berbicara mengenai pengembangan intelektual, tetapi juga mencakup tentang dua aspek, yaitu aspek nilai-nilai abadi yang dipertahankan dalam setiap generasi dan aspek adaptasi terhadap dinamika modernisasi. Dalam pandangan yang lebih mengakar, kedua aspek ini merupakan dimensi sakral dan dimensi profan pendidikan yang memberikan landasan penting bagi peran pendidikan di masa kini (pendidikan kontemporer). Kedua dimensi ini memberikan sudut pandang yang kaya tentang esensi dan peran pendidikan dalam kehidupan manusia. Dimensi sakral menawarkan kerangka nilai yang abadi yang mencerminkan keluhuran sebagai landasan pendidikan, yang diimbangi oleh fleksibilitas yang dimiliki oleh dimensi profan dalam merespons kebutuhan zaman.

Dimensi Sakral Pendidikan

Dimensi sakral pendidikan merujuk pada nilai-nilai luhur yang abadi yang terkandung dalam inti pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai luhur ini selalu dipertahankan dari generasi ke generasi. Sebagai contoh, nilai luhur penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, nilai keadilan sosial, dan nilai-nilai moral-spiritual yang menjadi pedoman hidup seperti yang tercermin dalam prinsip-prinsip kearifan lokal dan ajaran moral universal. Nilai-nilai ini tidak tergerus oleh perubahan zaman dan tetap menjadi pedoman yang tak tergantikan. Salah satu contoh yang mencerminkan dimensi sakral adalah visi spiritualitas peradaban bangsa sebagai nilai luhur yang harus dipertahankan dalam pendidikan, untuk menjaga harmoni dan martabat manusia dalam menjalani kehidupan dan penghidupan. Pendidikan sakral berpijak pada cita-cita tradisional yang luhur, seperti membentuk manusia yang bermoral, berintegritas, dan mampu menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

Pendidikan dalam dimensi ini merupakan wujud dari pencarian makna hidup yang lebih dalam. Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan humanisme, menyebut pendidikan sebagai praktik pembebasan. Pendidikan, dalam dimensi sakral adalah proses humanisasi yang bertujuan melawan dehumanisasi, yakni segala bentuk perlakuan yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Lagi-lagi dinyatakan oleh Paulo Freire, proses pendidikan dalam tataran praksis jangan sampai terjebak pada banking concept of education, di mana siswa dianggap seperti "celengan" yang harus selalu diisi, yang begitu mekanis sekaligus antidialogis, di mana fenomena ini akan menghasilkan manusia nekrofili (kecintaan manusia pada segala sesuatu yang tidak memiliki jiwa kehidupan/nonmaknawi). Banking concept of education hanya memproduksi individu-individu yang cerdas secara intelektual namun kosong secara spiritual. Menjadi manusia nekrofili berarti semakin menjauhkan manusia dari esensi nilai-nilai kemanusiaan.

Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa buah dari pendidikan adalah "matangnya jiwa". Kematangan jiwa ini mencakup kemampuan untuk hidup secara tertib, suci, dan bermanfaat bagi sesama. Pendidikan, dalam aras dimensi sakral, tidak hanya membentuk individu yang cerdas dan terampil, tetapi juga manusia yang memiliki kualitas spiritual dan sosial yang tinggi. Dalam perspektif ini, pendidikan menjadi sarana pembentukan karakter yang kokoh dan pengabdian kepada sesama.

Dimensi Profan Pendidikan

Dimensi profan pendidikan berkaitan dengan aspek teknis dan praktis dalam proses pembelajaran. Dimensi ini menggambarkan bagaimana pendidikan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kebutuhan praktis masyarakat. Namun, penyesuaian ini sering kali dapat mengesampingkan nilai-nilai luhur yang semestinya dijaga dan dilestarikan melalui pendidikan.

Secara praksis, pendidikan menjawab perubahan zaman melalui pengembangan kurikulum. Kurikulum mengalami proses transformasi yang terus menerus, disesuaikan dengan dinamika masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan. Kurikulum tidak hanya berfungsi sebagai acuan konseptual, tetapi juga sebagai panduan praktis, sehingga menjadi elemen kunci dalam memastikan pendidikan relevan dengan kebutuhan zaman. Sebagai contoh, pengembangan kurikulum masa kini mencerminkan kebaruan dengan mengintegrasikan teknologi digital dan menanamkan literasi teknologi dalam berbagai mata pelajaran, guna mempersiapkan siswa menghadapi tantangan keterampilan abad modern.

Keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada kemampuan untuk memperbarui kurikulum secara berkesinambungan. Proses ini merupakan ujian utama kualitas pendidikan, baik secara konseptual maupun praktis. Pendidikan harus selalu mampu merespons tantangan baru tanpa terjebak dalam hasrat modernisasi yang mengorbankan nilai-nilai luhur abadi yang menjadi inti dari pendidikan.

Glorifikasi terhadap hal-hal yang bersifat profan semata harus dihindari. Hal ini berisiko mengaburkan tujuan utama pendidikan sebagai sarana pembentukan karakter yang bermoral dan bermartabat.

Jangan sampai paradigma pendidikan terjebak dalam pemujaan terhadap aspek-aspek profan dan menegasikan dimensi sakral.

Paradigma semacam itu menyebabkan pendidikan kehilangan arah dan tujuan utamanya. Kehilangan dimensi sakral tidak hanya mengurangi makna pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan, tetapi juga sebagai proses untuk memanusiakan manusia.

Oleh karena itu, keseimbangan antara dimensi sakral dan unsur modernitas dalam dimensi profan harus senantiasa dijaga. Pendidikan modern harus mampu mengintegrasikan inovasi dan dinamika zaman tanpa melupakan nilai-nilai dasar yang menjadi landasan utamanya. Dengan demikian, pendidikan dapat tetap relevan, adaptif, dan bermakna. Pendidikan yang seimbang akan menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga bermoral dan berintegritas. Hal ini hanya dapat dicapai dengan menjaga keseimbangan antara dimensi sakral dan profan, sehingga pendidikan tetap berakar pada nilai-nilai luhur abadi sambil terus berinovasi menjawab kebutuhan zaman.

Epilog : Pilar Moral Pendidikan

Pendidikan adalah perjalanan panjang yang mencakup dimensi sakral dan profan. Dalam upaya menciptakan manusia yang seutuhnya, pendidikan harus berfungsi sebagai proses humanisasi yang memadukan nilai-nilai abadi dengan berbagai upaya pembaruan yang relevan. Pendidikan yang hanya mengutamakan aspek profan tanpa memperhatikan dimensi sakralnya berisiko kehilangan tujuan hakiki, sementara pendidikan yang hanya berpegang pada sakral tanpa adaptasi akan tertinggal dan tergerus tenggelam oleh perkembangan zaman.

Dengan menjaga keseimbangan antara dimensi sakral dan profan, pendidikan dapat menjadi sarana yang tidak hanya mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi juga membentuk manusia yang bermartabat dan mampu memberikan manfaat bagi kehidupan bersama. Namun, tantangan utama dalam menjaga keseimbangan ini adalah bagaimana memastikan nilai-nilai sakral tetap relevan di tengah arus perubahan yang cepat dan bagaimana inovasi profan tidak mengaburkan tujuan hakiki pendidikan?

Seperti yang dicita-citakan oleh dua tokoh pembaharu pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan. Ki Hadjar Dewantara mencita-citakan pendidikan harus melahirkan manusia yang matang jiwa dan raga, yang hidupnya tertib, suci, dan membawa manfaat bagi sesama. Adapun menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan dan pengetahuan adalah landasan utama dalam membangun moralitas individu dan kolektif.

Visi kedua tokoh ini menggambarkan betapa pendidikan tidak hanya sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga sarana pembentukan karakter yang kokoh. Ki Hadjar Dewantara memusatkan perhatian pada pengembangan aspek spiritual dan sosial individu, sehingga hasil pendidikan tidak hanya mencerdaskan tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, K.H. Ahmad Dahlan menggarisbawahi bahwa pendidikan harus berlandaskan pengetahuan yang menjadi dasar untuk menciptakan masyarakat yang bermoral. Penekanan pada moralitas ini relevan dengan tantangan modern di mana degradasi nilai sering kali menjadi isu krusial. Kombinasi pandangan ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya alat untuk mencapai tujuan pragmatis dan sesaat semata, tetapi juga merupakan instrumen transformasi sosial menuju bertumbuhnya peradaban yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun