Oleh karena itu, keseimbangan antara dimensi sakral dan unsur modernitas dalam dimensi profan harus senantiasa dijaga. Pendidikan modern harus mampu mengintegrasikan inovasi dan dinamika zaman tanpa melupakan nilai-nilai dasar yang menjadi landasan utamanya. Dengan demikian, pendidikan dapat tetap relevan, adaptif, dan bermakna. Pendidikan yang seimbang akan menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga bermoral dan berintegritas. Hal ini hanya dapat dicapai dengan menjaga keseimbangan antara dimensi sakral dan profan, sehingga pendidikan tetap berakar pada nilai-nilai luhur abadi sambil terus berinovasi menjawab kebutuhan zaman.
Epilog : Pilar Moral Pendidikan
Pendidikan adalah perjalanan panjang yang mencakup dimensi sakral dan profan. Dalam upaya menciptakan manusia yang seutuhnya, pendidikan harus berfungsi sebagai proses humanisasi yang memadukan nilai-nilai abadi dengan berbagai upaya pembaruan yang relevan. Pendidikan yang hanya mengutamakan aspek profan tanpa memperhatikan dimensi sakralnya berisiko kehilangan tujuan hakiki, sementara pendidikan yang hanya berpegang pada sakral tanpa adaptasi akan tertinggal dan tergerus tenggelam oleh perkembangan zaman.
Dengan menjaga keseimbangan antara dimensi sakral dan profan, pendidikan dapat menjadi sarana yang tidak hanya mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi juga membentuk manusia yang bermartabat dan mampu memberikan manfaat bagi kehidupan bersama. Namun, tantangan utama dalam menjaga keseimbangan ini adalah bagaimana memastikan nilai-nilai sakral tetap relevan di tengah arus perubahan yang cepat dan bagaimana inovasi profan tidak mengaburkan tujuan hakiki pendidikan?
Seperti yang dicita-citakan oleh dua tokoh pembaharu pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Ahmad Dahlan. Ki Hadjar Dewantara mencita-citakan pendidikan harus melahirkan manusia yang matang jiwa dan raga, yang hidupnya tertib, suci, dan membawa manfaat bagi sesama. Adapun menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan dan pengetahuan adalah landasan utama dalam membangun moralitas individu dan kolektif.
Visi kedua tokoh ini menggambarkan betapa pendidikan tidak hanya sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga sarana pembentukan karakter yang kokoh. Ki Hadjar Dewantara memusatkan perhatian pada pengembangan aspek spiritual dan sosial individu, sehingga hasil pendidikan tidak hanya mencerdaskan tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, K.H. Ahmad Dahlan menggarisbawahi bahwa pendidikan harus berlandaskan pengetahuan yang menjadi dasar untuk menciptakan masyarakat yang bermoral. Penekanan pada moralitas ini relevan dengan tantangan modern di mana degradasi nilai sering kali menjadi isu krusial. Kombinasi pandangan ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya alat untuk mencapai tujuan pragmatis dan sesaat semata, tetapi juga merupakan instrumen transformasi sosial menuju bertumbuhnya peradaban yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H