Dalam sistem among terjadi proses pendidikan dan pengajaran untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Konsep sistem among ini relevan dengan pendapat Paulo Fraire yang menyatakan bahwa pendidikan harus menjadi proses pembebasan dan pemerdekaan, bukan penguasaan dan penjinakan sosial budaya (social and cultural domestification).
Dalam sistem among ini bidang garapan para guru bukan ansich penanaman dan pengisian beragam pengetahuan melalui sistem kurikulum yang begitu rigid, melainkan menggarap realitas manusia melalui aktualisasi potensi dalam diri anak didik.
Mengenai hal ini, sangat menarik untuk merenungkan sebuah kalimat puitis yang dikemukakan Plutrarch (seorang esais Yunani) :
“pikiran bukanlah bejana untuk diisi, tapi api untuk dinyalakan”.
Atau (lagi-lagi dinyatakan oleh Paulo Fraire), proses pendidikan dalam tataran praksis jangan sampai terjebak pada banking concept of education, di mana siswa dianggap seperti “celengan” yang harus selalu diisi, yang antidialogis, di mana fenomena ini akan menghasilkan "manusia nekrofili" (kecintaan manusia pada segala sesuatu yang tidak memiliki jiwa kehidupan/nonmaknawi).
Guru: Sang Pamomong dalam Laku Tut Wuri Handayani
Supaya benar-benar bisa menjadi pemantik aktulisasi potensi dalam diri para anak didiknya, maka ada “lelaku” yang seyogyanya dilakukan oleh para guru. “Lelaku” itu adalah : Ing ngarso sung tulodo (di depan, seorang guru harus mampu menjadi teladan), Ing madyo mangun karso (di tengah-tengah, seorang guru harus mampu menjadi motivator serta menstimulasi kreatifitas dan daya juang), dan Tut wuri handayani (di belakang, seorang guru harus mampu memberikan daya dorong).
“Lelaku” Tut Wuri Handayani hanya dapat dicapai dengan maksimal manakala guru memiliki bekal mental, pengetahuan, dan kompetensi yang mumpuni supaya ketika Tut Wuri bisa benar-benar Handayani (memberi daya dorong) menuju ke arah tujuan yang dicita-citakan.
Pada bagian akhir tulisan ini saya merasakan bahwa ternyata menjadi guru adalah menjadi “manusia super”, dengan amanah yang sangat berat dan “lelaku” yang berat pula, dengan satu tujuan : memantik karakter manusia pembelajar dengan cara membangkitkan potensi dalam diri anak didik.
Terlebih lagi dalam era yang serba modern yang senantiasa mengalami percepatan perkembangan IPTEK, amanah yang diemban seorang guru menjadi semakin berat.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah Anak-anak “generasi zaman know” memiliki jejaring yang sangat luas melalui media gawai dan internet yang sudah lumrah menjadi bagian dari kehidupan masa kini.