Belakangan, selain bertualang dalam buku-buku tebal yang relatif tidak berguna, mengoleksi piringan hitam dan duduk menyepi di taman kota, saya rajin sekali mendengar band bernama The Velvet Underground yang terbentuk circa 1964 di New York. Mendengar sengau suara Lou Reed dan teman duetnya Nico, segera membuat saya jatuh cinta.
Tidak peduli fakta bahwa Lou Reed adalah pendukung zionisme dan Nico yang seorang rasis. Ahmad Dani sama menyebalkannya, bukan? Alih-alih jengkel mendengar Ahmad Dani berbicara tentang politik serta mendukung gerakan fundamentalist, namun bagi saya, musik yang ia produksi tetap bagus dan canggih. Begitu pula dengan The Velvet Underground.
Lou Reed, dalam pengalaman spiritual saya mempelajari giat kreatifnya, merupakan radical frontman yang menghasilkan lagu-lagu wangi, puitis dan transgresif unto ironis dalam album Velvet Underground & Nico yang dirilis tahun 1967. Salah satu nomer favorit, tentu selain “After Hours” dan “Heroin”, adalah lagu berjudul “Venus in Fur” yang, misalnya, ia adopsi dari sebuah buku berjudul serupa yang ditulis oleh seorang penulis asal Austria beranama Leopold von Sacher-Masoch.
Seperti isi lagu tersebut, buku Venus in Fur memberikan deskripsi tentang apa itu psiko-seksual, sadisme, dan masokisme. Mendengar dan membaca “Venus in Fur” via Velvet Undergorund dan Sacher-Masoch, menarik ingatan saya pada Marquis de Sade yang memplopori filsafat kebebasan ekstrem seperti pornografi kekerasan yang menolak etika, agama, dan hukum.
Petemuan intelektual antara Lou Reed dan John Cale yang adalah seorang sarjana musik dari London Univesity pada terang dan sibuknya Kota New York, menjadi penanda hubungan artistik yang menghasilkan sekaligus mengilhami musikalitas Velvet Underground. John Cale dipuji oleh banyak kalangan karena membuat musik yang spektakuler dengan estetika yang melampau zamannya.
Orkestrasi estetik John Cale dan kecerdasan Lou Reed dalam menulis lirik, disempurnakan pula oleh Christa Paffgen aka Nico yang menjadi kolaborator Lou Reed dalam menyanyikan beberapa nomer dalam album The Velvet Underground & Nico: “Famme Fatale”, “All Tommorow Party’s” dan “l’ll Be Your Mirror”. Nico terlibat dalam formatur band setelah dipromosikan oleh seninam avant-garde Andy Warhol yang merupakan manajer band. Kentalnya aksen Jerman Nico dalam menyayikan lagu berbahasa Inggris membuat kritikus musik Richard Goldstein menyebutnya sebagai, “cello yang bangun di pagi hari.”
Nico merupakan seorang aktris dan model asal Jerman. Selain bermain untuk film eksprimental berjudul Chelsea Girl besutan Andy Warhol dan Paul Morrissey, Nico juga pernah tinggal di Paris dan bekerja untuk majalah Vogue. Sebuah majalah glamor dan terkenal yang menampilkan life-style orang-orang glamor dan terkenal. Setelah Velvet Underground bubar, ia memulai debut solonya serta menjadi seniman bohemian yang rajn menggunakan narkoba dan tinggal dari satu kemegahan kota ke kegemerlapan kota lainnya.
Sama seperti Niqo, Lou Reed adalah seorang pemabuk berat dan pengguna obat-obatan. Dalam lagu “Heroin” misalnya, ia menulis: “Heroin, it's my wife and it's my life”. Namun demikian, kendati ia eksentrik dan ugal-ugalan, saya tetap menganggap Lou Reed sebagai seorang jenius dan berbakat. Jejak intelektual Lou Reed sebagai seorang sarjana yang mempelajari jurnalisme, film dan sastra berkontribusi besar dalam penulisan lirik-lirik Velvet Underground.
Selain itu, buudaya populer, melalui Album The Velvet Underground & Nico, yang cover albumnya digarap oleh Andy Warhol, bahkan menginspirasi Vaclav Havel mengorganisir Velvet Revolution di Cekoslovakia dalam rangka mengamplifikasi gerakan anti-komunis di negri tersebut. Vaclav Havel, dikemudian hari pasca-revolusi, dideklarasikan sebagai presiden yang demokratis di Cekoslovakia dengan, dan ini akan terbaca spektakuler, Frank Zappa (komposer dan gitaris) sebagai konsultan budayanya.
Selain membuat artwork berbentuk pisang dalam album Velvet Underground, Andy Warhol juga berperan dalam perjalanan karir mereka. Pada tahun 1965 dan 1966, Andy Warhol, menggelar hajat monumental yang ia sebut sebagai “Exploding Plastic Inevitable” dengan menampilkan Velvet Underground & Nico, pemutaran film, dan pertunjukan teater serta tari di New York dan seluruh kota di Amerika. Acara tersebut populer dan berhasil meraup respon positif masyarakat Amerika dan Dunia. Hal tersebut pula yang menyebabkan pamor Velvet Underground meningkat dan segera setelahnya menginspirasi banyak seniman dan musisinya setelah mereka.
Andy Warhol adalah seorang seniman yang menginisiasi lahirnya gerakan Pop Art. Karya-karyanya mengeksplorasi hubungan antara ekspresi artistik, periklanan (citra) dan budaya selebriti. Selain sebagai seniman komersil dan industrialis, Andy Warhol menyebut studio tempat di mana ia biasa melukis sebagai pabrik.
Maka tak heran bila ia menkomodifikasi hampir pelbagai hal yang memiliki nilai ekonomis sebagai basis produksi karya-karyanya. Di pabrik tempat di mana Andy Warhol menghabiskan waktunya berkesenian dan berpesta, juga menjadi tempat berkumpulnya orang-orang terkemuka: intelektual borjuis, selebriti Hollywood, kolektor dan pembisnis. Hal tersebut pula yang menginspirasi The Velvet Underground dalam berkarya.
Oleh karena itu, melihat irisasn antara Velvet Underground, Andy Warhol dan Vaclav Havel serta revolusi di Cekoslovakia, membuat saya pada sebuah kesimpulan akademik: “Tidak ada Marx dan Lenin hari ini. Panjang umur budaya populer!”
Dalam sebuah catatan, Rafi Dafari, menyebut bahwa album The Velvet Underground dan Nico bahkan mengilhami musisi seperti David Bowie, Strokes, Sonic Youth, Joy Division hingga Sex Pistol. Menurut keterangan Bowie, tidak akan ada album “The Rise and Fall of Ziggy Stardust and the Spiders From Mars” tanpa profetiknya album Velvet Underground & Nico. Pun bila ingin sedikit glorifikatif, aku ingin menuduh: tidak akan ada Velvet Revolution tanpa Velvet Underground.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H