Mohon tunggu...
krisnaldo Triguswinri
krisnaldo Triguswinri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Lahir di Jambi, Sumatra, pada 24 Oktober 1996. Menempuh pendidikan pascasarjana di Daparteman Administrasi Publik, Universitas Diponegoro, Semarang. Memiliki ketertarikan pada bidang kajian filsafat politik, kebijakan publik, ekonomi-politik, feminisme, dan gerakan sosial. Mengagumi para pemikir The New Left: dari Alain Badiou, Michel Foucault hingga Slavoj Zizek.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Data dan Sains

9 Juni 2020   14:03 Diperbarui: 9 Juni 2020   14:07 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Terdapat perspektif dari sisi akademisi mengenai kesulitan menembus demokrasi pemerintah mengenai perbedaan data pada level pusat dan daerah. Dr. Pandu Riono menjelaskan bahwa data itu belum tentu selalu benar dan perlu mengkaji metodologi yang digunakan serta memegang kejujuran dalam kesalahan mengolah data. 

Penekanan keterbukaan data sangat berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Kemudian policy brief yang dirancang oleh akademisi tidak sepenuhnya sampai kepada sasaran pembuat kebijakan, maka dibutuhkan strategi personal connection dalam siklus kebijakan dan policy maker khususnya kasus Covid-19 ini terlebih tidak ada usaha sistematis dalam pelibatan akademisi dalam proses kebijakan. 

Maka timbul pertanyaan mengapa institusi yang terkait terkesan tidak menggunakan knowledge memory mengingat Indonesia yang juga pernah mengalami pandemi pada dekade sebelumnya.

Adanya kebijakan yang dirancang berdasarkan data (evidence-based policy) selalu berputar pada hubungan research dan policy. Dr. Yanuar menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara research sebagai intellectual moments dengan policy sebagai political moments. 

Kebijakan merupakan sebuah konten, substansi, dan mekanisme dimana diputuskan dan diimplementasikan sebagai proses politik. Hal tersebut menandakan bahwa pandemi ini tidak hanya mengedepankan intellectual moments saja tetapi terdapat pula apek ekonomi politik. 

Terdapat dua jenis masalah yang kita hadapi yaitu masalah substantif dimana pemerintah mempunyai wewenang dalam menentukan arah kebijakan. Tidak dipungkiri bahwa pemerintah tentu mempunyai agenda setting yang telah dibawa, maka perlu untuk pemerintah mendapatkan masukan dari pihak-pihak lain yang mendukung kebijakan tersebut. 

Masalah kedua yaitu masalah teknis terkait formulasi program/kebijakan yang penting diperhatikan untuk tidak mengedepankan aspek monopolitik saja sehingga program/kebijakan tersebut dalam berkelanjutan. 

Aspek ini melibatkan kemampuan dan kapasitas negara dalam menyediakan data terbuka untuk publik. Adanya masalah-masalah tersebut telah melekat pada pemerintahan, jadi seolah-olah berulang dan tidak ada institutional knowledge memory.

Dalam diskusi ini ditekankan pula oleh Dr. Yanuar yang mengatakan bahwa terdapat empat level bila berbicara hubungan negara dan rakyat terkait dengan kebijakan yang dibuat yaitu : (1) Level teknis, merupakan level yang berada dipermukaan dengan menunjukkan sejauh mana kemampuan negara dalam melakukan suatu kebijakan; (2) Level gradient, yaitu sejauh mana wewenang yang dimiliki negara; (3) Level motivasi, yang mengkaji motivasi-motivasi yang digunakan oleh negara dalam kebijakan dan; (4) Level trust, merupakan level dasar dimana kepercayaan rakyat menjadi penting untuk mendukung pelaksanaan kebijakan. 

Penjelasan diatas berbanding lurus dengan pernyataan Ringeling (2015:295) bahwa terdapat ruang terbuka dan komunikasi yang mengandung wacana publik mengenai hal-hal yang menjadi perhatian bersama dan memengaruhi pembuatan keputusan politik yang disebut dengan istilah "Offentlichkeit". 

Dalam artikel ini (Elster, 1986 dalam Ringeling, 2015) juga menjelaskan bahwa ranah publik harus dilihat sebagai forum, aktivitas publik yang terbuka sehingga citizenship dapat diwujudkan melalui participation in collective deliberation.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun