Mohon tunggu...
Lindawati
Lindawati Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Setiap orang unik, Setiap orang istimewa, Setiap orang berharga, Jadilah diri sendiri :)

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Anak di Antara Perceraian Orangtua

10 November 2020   23:36 Diperbarui: 10 November 2020   23:58 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa bulan ini, meningkatnya angka perceraian menjadi topik berita di media sosial. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka perceraian di Indonesia pada tahun 2018 berjumlah 392,610 kasus meningkat menjadi 438,013 kasus pada tahun 2019. Terdapat kenaikan sekitar 11.56%. Faktor penyebab perceraian tertinggi, yaitu konflik dan pertengkaran yang terus menerus antara suami-istri, faktor ekonomi, salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain, dan kekerasan rumah tangga.

Di lingkungan terdekat, kita seringkali terkejut mendengar kabar pasangan suami-istri yang akan bercerai. Entah pasangan itu saudara, sahabat, kolega, atau tetangga terdekat. Retaknya relasi suami-istri membuat perhatian kita tertuju pada anak-anak mereka. Biasanya orang-orang yang terdekat dengan pasangan tersebut memberikan pesan, "Pikirkan kembali keputusan kalian bercerai, kalau bisa dipertahankan, kasihan anak-anak." Pesan yang baik itu perlu disertai dengan pemahaman apa sebenarnya yang terjadi pada anak ketika orangtua bercerai.

Saya pernah bertemu dengan anak-anak yang orangtua bercerai. Mereka mengalami permasalahan yang beragam, meskipun orangtuanya sudah bercerai cukup lama. Permasalahan anak tidak hanya terjadi secara langsung saat orangtua bercerai. Namun permasalahan anak dapat terjadi setelah beberapa tahun kemudian. Berikut ini merupakan gambaran singkat mengenai anak-anak yang orangtuanya bercerai. Nama anak tersebut telah disamarkan.    

Tobi berumur 10 tahun, anak ke 2 dari 2 bersaudara. Akhir-akhir ini, Tobi sering mengeluh sakit perut saat akan berangkat ke sekolah. Hasil pemeriksaan beberapa dokter menyatakan bahwa Tobi tidak memiliki masalah fisik. Saat ini, Tobi tinggal bersama ibu, kakak perempuan, dan nenek. Orangtuanya bercerai ketika Tobi berusia 5 tahun. Ayahnya telah membangun keluarga yang baru. Kadangkala ayah mengajak Tobi dan kakak untuk berakhir pekan bersama dengan keluarga barunya. Ibu sebagai tulang punggung keluarga, lebih banyak menggunakan waktu untuk bekerja. Saat ada waktu luang, ibu sering membicarakan tugas sekolah Tobi. Kakak perempuan yang berusia remaja mempunyai aktivitas dan kesibukan sendiri. Sedangkan neneknya yang berusia lanjut terbatas memberikan perhatian pada Tobi. Komunikasi Tobi dengan orang dewasa terdekat kurang memadai. Selain itu, Tobi tidak memiliki figur panutan laki-laki dewasa terdekat yang dapat membimbingnya saat menghadapi kesulitan. Jadi Tobi seringkali menyimpan masalahnya sendiri. Ia merasa kurang percaya diri di lingkungan sosial. Ketika ia merasa tidak mampu menyelesaikan masalah di sekolah ataupun memenuhi tuntutan ibu, ia merasa cemas dan cenderung menghindari situasi. Akibatnya muncul keluhan fisik, seperti sakit perut.

Meli adalah anak tunggal yang berusia 5 tahun. Orangtuanya berpisah sejak Meli masih dalam kandungan. Selama ini, Meli tidak pernah mengetahui sosok ayahnya. Ia dan ibunya tinggal di rumah keluarga besar. Sehari-hari ibu sibuk bekerja di perusahaan keluarga. Sedangkan Meli lebih banyak didampingi pengasuh (baby sitter) di rumah.

Meli mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Ia juga mudah menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan kepada ibu, seperti dipukul oleh pengasuh. Meskipun Meli sering merasakan kesedihan, ia menyembunyikan perasaan tersebut. Ia terlihat "baik-baik saja" dihadapan orang-orang di sekitar. Kondisi ini menjadi perhatian ibunya. Dari gambaran Tobi dan Meli menunjukkan bahwa perceraian bukan suatu kejadian tunggal, tetapi suatu kejadian yang memicu beberapa perubahan pada anak dan orangtua dari waktu ke waktu.

Perceraian membawa sejumlah perubahan, seperti anggota keluarga, keuangan, serta perubahan suasana hati dan perilaku anak maupun orangtua. Meningkatnya tanggung jawab orangtua tunggal yang merawat anak dapat membuat orangtua merasa tertekan. Dari hasil pengamatan, orangtua dan anak membutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk beradaptasi dengan semua perubahan dan membentuk pola kehidupan yang baru (Brooks, 2011).

Bagaimana reaksi langsung anak terhadap perceraian orangtua?

Secara umum, anak menunjukkan reaksi kesedihan, ketakutan, kemarahan, kebingungan, dan beberapa anak merasa lega. Emosi utama yang dirasakan anak dapat bervariasi, sesuai dengan usia dan keadaan keluarga. Namun kemarahan, kesedihan, dan putus asa merupakan faktor utama yang memperkirakan anak akan mengalami masalah suasana hati dan perilaku. Sebagian besar anak menyesali perceraian orangtuanya. Sedangkan beberapa anak merasa lega karena perceraian adalah solusi yang terbaik. Hal ini terjadi karena anak (terutama yang berusia lebih tua) menyaksikan salah satu orangtua atau anggota keluarga lain mengalami kekerasan dan penderitaan psikologis yang berat (Brooks, 2011).  

Reaksi perilaku anak terhadap perceraian juga bervariasi, tergantung pada karakteristik anak (usia, jenis kelamin, temperamen) dan keluarga (tingkat konflik, reaksi emosi orangtua, kuantitas waktu anak dengan masing-masing orangtua). Ada anak yang mengekspresikan kemarahan dan ketakutan dengan perilaku agresif dan tidak taat sehingga relasi dengan ibu semakin jauh. Ada juga anak yang menunjukkan sikap diam dan menutupi emosi. Namun pada batas tertentu, anak menampilkan emosi dan perilaku yang bermasalah.

Anak yang berperilaku agresif, merasa tidak aman, atau masalah lainnya seringkali kurang mendapatkan dukungan dari orang dewasa terdekat. Orangtua kurang memerhatikan dan terlibat dalam kehidupan anak, kurang menunjukkan kasih sayang, ataupun mengontrol anak secara berlebihan. Selain itu, orang dewasa di luar keluarga inti juga kurang peduli dengan anak. Sebaliknya, kepedulian orang dewasa terdekat (seperti kakek, nenek, om, tante) merupakan dukungan yang berarti sehingga anak lebih sedikit mengalami masalah.

Apa akibat jangka panjang yang terjadi pada anak dengan orangtua yang bercerai? 

Perceraian orangtua memberikan pengaruh yang beragam pada anak. Dari hasil penelitian anak yang orangtuanya bercerai selama 6 tahun menunjukkan sebesar 25% anak mengalami kesulitan, seperti perilaku agresif, pikiran dan perilaku yang sulit dikendalikan. Selain itu, anak dengan orangtua bercerai dapat mengalami risiko meningkatnya masalah pada kompetensi kognitif dan sosial.

Penelitian terbaru dengan mengamati anak usia 4 hingga 7 tahun menunjukkan bahwa anak telah mempunyai masalah sebelum terjadi perceraian. Terutama konflik orangtua yang terjadi secara intens, anak menunjukkan masalah emosi dan perilaku. Demikian juga saat orangtua akan bercerai, anak menampilkan masalah perilaku agresif, tidak patuh, dan suasana hati gelisah yang lebih besar dibandingkan dengan anak yang orangtua tidak bercerai. Setelah perceraian, perilaku anak yang agresif dan melawan aturan akan menurun, tetapi suasana hati gelisah akan meningkat. Anak masih merasakan kemarahan dan kesedihan mengenai perceraian keluarga (Brooks, 2011).

Penelitian pada orang dewasa yang sejak kecil mengalami perceraian orangtua menunjukkan sebagian besar mereka mempunyai tingkat kehidupan yang lebih nyaman, sehat, dan bahagia dibandingkan dengan orang dewasa yang orangtua tidak bercerai. Mereka juga relatif sedikit mengalami konflik pernikahan dan mempunyai relasi yang dekat dengan figur ayah di beberapa keluarga. Jadi meskipun perceraian memengaruhi anak secara negatif dan berisiko akan terjadinya masalah pada fungsi sosial dan emosi, namun sebagian anak-anak dapat melaluinya dengan baik.

Orangtua tetap bersama atau bercerai?  

Dengan mempertimbangkan akibat negatif dari perceraian, banyak orang yang bertanya-tanya "Manakah yang lebih baik untuk anak, orangtua yang melanjutkan pernikahan dengan konflik yang intensitas tinggi atau bercerai untuk mengakhiri konflik?" Apabila perceraian dipilih dengan alasan menyelamatkan anak dari situasi konflik, tetapi pada kenyataannya konflik terus berlanjut setelah bercerai. Tentunya anak-anak tetap berada dalam masalah. Apakah orang tua dapat memastikan bahwa konflik benar-benar berakhir setelah bercerai?

Pada situasi yang sulit ini, orangtua perlu dibantu oleh Psikolog untuk mengidentifikasi kondisi perceraian yang mengarahkan pada akibat negatif ataupun akibat positif. Identifikasi meliputi sifat konflik pernikahan dan sejumlah perubahan yang mengikuti perceraian. Dengan mempertimbangkan faktor yang mencegah terjadinya masalah yang lebih buruk pada anak, yaitu kondisi keluarga yang stabil dan konflik yang rendah.

Peran orangtua saat mendampingi anak 

Berikut ini merupakan masukan bagi orangtua yang telah bercerai sehingga anak dapat melalui perubahan dengan baik.

  • Menyediakan dukungan emosi untuk anak, seperti mendengarkan ungkapan perasaan, menjawab pertanyaan, dan berbicara dari hati ke hati. Hal ini dapat membangun relasi yang erat antara orangtua dengan anak. Anak juga mendapatkan perhatian yang memadai dari orangtua. Relasi yang erat membuat anak mudah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, terutama yang terkait kesedihan, ketakutan, kemarahan, dan kebingungan.
  • Menyatakan kasih sayang tanpa syarat kepada anak ("Kamu sangat berarti buat mama") sehingga anak merasakan penerimaan dan kasih sayang yang tulus. Sebaliknya, ungkapan kasih sayang bersyarat dan penuh tuntutan membuat anak merasa tidak disayangi apa adanya. Hal ini dialami Tobi dan Meli yang sering menerima ucapan seperti "Ibu senang jika nilai ulangan Tobi bagus" atau "Mama sayang kalau Meli tidak nakal".
  • Perceraian membuat anak terpisah dengan salah satu orangtuanya. Kondisi ini membuat anak merasa takut karena berpikir "Bagaimana jika ia terpisah dari kedua orangtua?" Diharapkan orangtua meyakinkan anak berulang-ulang dengan kata-kata "Ayah/ibu tetap bersama kamu dan mendampingimu." Dengan demikian, anak merasa lebih aman.
  • Sejak orangtua bercerai, anak menyadari bahwa keluarganya berbeda dengan keluarga teman-teman. Khususnya pada acara yang melibatkan kehadiran kedua orangtua. Hal ini dapat membuat anak merasa rendah diri di lingkungan sosial. Sebaiknya, orangtua membicarakan masalah ini sehingga anak dapat menerima keberadaan keluarganya. Di sisi lain, orangtua dapat mengeksplorasi dan mengembangkan keunggulan, bakat, dan minat anak sehingga anak merasa lebih percaya diri.
  • Sebaiknya anak mempunyai figur panutan orang dewasa di lingkungan terdekat sesuai dengan jenis kelamin anak. Misalnya Tobi dapat menjalin komunikasi yang intens dengan guru rohani laki-laki atau guru laki-laki di sekolah. Proses ini bermanfaat bagi perkembangan kognitif dan sosial anak.
  • Orangtua tunggal yang menjalankan peran pengasuhan anak sekaligus mencari nafkah memang tidaklah mudah. Ditambah dengan kelelahan psikologis akibat konflik pernikahan yang berkepanjangan dan perceraian yang terjadi sebelumnya. Untuk mengatasinya, orangtua dapat berkonsultasi dengan Psikolog atau Konselor. Kondisi psikologis yang baik sangat mendukung peran orangtua tunggal menjadi lebih efektif.   

Mari.... berikan dukungan dan dampingi anak yang mengalami perceraian orangtua sehingga mereka mampu melaluinya dengan baik :)

Daftar Referensi 

Brooks, Jane B. (2011). The Process of Parenting. Eighth Edition. New York, NY: McGraw-Hill.

Badan Pusat Statistik https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data_pub/0000/api_pub/110/da_04/1 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun