"Sabar pa!" desis istrinya lembut.
"Bagaimana bisa  bersabar kalau dia melakukan hal sinting semacam ini?" balas sang suami, tanpa sedikitpun berusaha menahan rasa marahnya. Kemudian kembali pada anak gadisnya, yang tampak tetap tidak mengerti mengapa kedua orang tuanya, terutama ayahnya, marah mendengar kabar yang baginya merupakan kabar gembira itu.
"Tahukan engkau apa artinya hamil bagi seorang anak gadis yang belum menikah? Sadarkah kamu akan arti semua ini? Kehormatanmu juga kehormatan kedua orang tuamu yang sedang dipertaruhkan untuk, Nina? Kamu ..."
Mungkin karena terlalu emosi laki-laki itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Mukanya berubah merah padam, sementara nafasnya memburu.
"Nina," sang istri yang rupanya mulai menguasai diri kembali, menyela, sambil tetap berusaha berbicara setenang mungkin meskipun jelas sekali betapa dia sangat tidak tenang. "Siapa laki-laki itu, nak?" Kami ingin bertemu dengannya secepat mungkin."
"Untuk apa, ma?" tanya Nina polos.
Sekarang kesabaran sang papa benar-benar sampai batasnya. Dia yang sudah berusaha mengendalikan emosi sekuat tenaga, tidak tahan lagi mendapat jawaban begitu enteng dari anak gadisnya.
Sambil menggebrak meja, laki-laki ini bangkit dari duduknya. Nina, tidak kecuali mamanya, terlonjak dari tempat duduknya. Mungkin mereka berdua sama sekali tidak menyangka kalau sang papa akan menggebrak meja.
"Kau katakan untuk apa? Setan engkau! Katakan itu sekali lagi, kuhajar mampus kamu. Setelah kau coreng arang di mukaku, engkau masih bisa menjawab untuk apa? Ayo katakan siapa laki-laki itu? Akan kuseret dia ke sini, segera menikahimu atau kuhancurkan kepalanya?"
Sekarang Nina yang takut, mukanya berubah pucat, dan segera dia bergerak mendekati ibunya, memeluknya mencari perlindungan. Wanita itu membalas rangkulan putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Papa tidak bisa marah-marah sebelum semua perssoalan menjadi jelas. Kemarahan tidak pernah bisa menyelesaikan masalah."