Kalau sudah begini, perdebatan biasanya berlanjut, meskipun pada akhirnya, sang suamilah yang menang.
"Sudahlah, ma!" begitu biasanya sang suami meng-akhiri kemenangannya, "tiap orang punya ciri sifat masing-masing. Kita tidak perlu mengubah sifat Nina karena sifat ini tidak jelek dan tidak merugikan siapa-siapa."
"Memang tidak merugikan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri!" sang istri membalas.
Memang itulah yang terjadi kemudian. Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja Nina menyatakan bahwa dirinya mencintai seorang laki-laki. Mengejutkan, tapi juga sekaligus menggembirakan, terutama bagi mama Nina. Dia tahu persis, apa itu cinta, karena paling tidak dia sendiri pernah mengalaminya. Meskipun pada akhirnya, tidak perduli pria atau wanita, semuanya akan kembali lagi pada sifatnya yang asli setelah menikah, tetapi jelas, akan ada perubahan sikap begitu mereka mulai jatuh cinta.
Begitu juga yang diharap wanita itu. Dia berharap dengan jatuh cinta, sifat tertutup putrinya yang keterlaluan akan berubah. Paling tidak untuk sementara ini.
Memang ada perubahan, meskipun Nina ternyata merahasiakan mati-matian, siapa laki-laki pujaannya itu.
"Lho, kan tidak ada salahnya menceritakan pada papa siapa laki-laki yang engkau cintai itu. Teman sekolahmu barangkali ya?" begitu sang papa membujuk setelah berkali-kali Nina menolak memberi keterangan siapa laki-laki berhasil yang merebut hatinya, dan memberi perubahan cukup besar pada sifat tertutupnya itu.
Nina biasanya menggeleng.
"Tidak sekarang, Pa!" begitu jawabnya selalu sambil seperti biasa, masuk ke kamar dan di sana berjam-jam.
Usaha mamanya juga berjalan tidak lancar. Nina selalu menolak memberi keterangan. Padahal ketika pertama kali memberitahu pada mamanya kalau dia sedang jatuh cinta, mamanya senang setengah mati. Anggapnya berakhir sudah segala sifat tertutup putrinya itu. Ternyata dia hanya setengah benar...
Nina masih kukuh dengan sifat tertutupnya meskipun ada banyak perubahan sejak pernyataannya itu.