Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Relung-Relung Penyesalan

14 Maret 2021   10:58 Diperbarui: 14 Maret 2021   11:48 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
onelittleproject.com

Relung-Relung Penyesalan
Tri Budhi Sastrio

Sedikit kejutan itu bumbu kejadian

"Jangan kau putuskan kebanggaan keluarga ini dengan tingkahmu, Negara!" kata laki-laki bertubuh kekar itu dengan suara dalam. Sedangkan wanita yang duduk di sebelahnya menatap sosok anak muda yang duduk dengan santai di depan mereka berdua dengan lembut.

"Kakekmu, aku dan saudara-saudaraku berjuang dengan segenap kemampuan yang ada guna melanjutkan dan memupuk kebanggaan ini. Semua paman dan bibimu lulusan universitas terkemuka negara ini. Begitu juga dengan aku, ayahmu. Juga ibumu!"

Laki-laki bertubuh kekar itu berhenti sejenak, membetulkan duduknya dan dengan ekor matanya melirik istrinya, seorang wanita yang sudah tidak muda lagi tetapi masih memancarkan keceriaan dan kecantikan.

Laki-laki bertubuh kekar itu bangga pada  istrinya. Mungkin cuma statusnya saja yang kalah dengan dirinya. Orang memang tidak bisa memandang enteng, meskipun cuma seorang wanita, kalau wanita itu lulus dengan predikat cum laude setelah mempertahankan disertasi dalam bidang filsafat. Wanita lembut itu seorang doktor Filsafat.

Sedangkan dirinya, profesor ilmu bedah mata, juga lulus dengan predikat yang sama. Istrinya belum professor tetapi dia sudah guru besar. Itu saja bedanya. Hanya saja yang penting sebenarnya bukan itu. Semua saudaranya sarjana. Sekarang, semua anak dari saudara-saudaranya sedang menapak ke arah sana. Tak seorang pun di antara keponakannya yang tidak duduk di universitas terkemuka. Bahkan beberapa dari mereka belajar di universitas terkenal di luar negeri.

Laki-laki bertubuh kekar itu masih ingat pesan almarhum ayahnya. "Kuwariskan tekad memperjuangkan sesuatu ini pada kalian semua. Kalian memang belum semua berhasil berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi tetapi aku percaya anak-anakku tidak akan mengecewakanku di alam baka. Aku yakin kalian akan menyelesaikan apa yang selama ini kurintis untuk kalian. Aku yakin kalian akan menyelesaikan pendidikan kalian."

Sekarang pesan itu seperti tergiang kembali. Mustahil warisan kebanggaan itu putus di tangan anaknya. Anak laki-laki satu-satunya, yang ketika lahir dulu begitu diharapkan sampai-sampai hampir tiga hari tiga malam dia tidak henti-hentinya berpikir mencarikan nama yang cocok, sekarang tiba-tiba saja ingin mengecewakan dirinya.

Yudha Negarawan. Itulah nama yang akhirnya dipilih dan diberikan pada anak laki-laki pertamanya. Dia berharap anaknya kelak menjadi negarawan ulung yang bukan saja sanggup menjunjung negara dan bangsa tetapi juga sanggup memancarkan suar kebanggaan keluarga.

Dia memang berharap para keponakannya menjadi orang-orang terkenal tetapi dia ingin anaknyalah yang paling terkenal. Hanya saja sekarang, malam ini, anaknya sekali lagi mengutarakan niatnya.  Niat yang akan menghancurkan impian keluarga. Niat yang akan mematahkan warisan semangat sang ayah.

Dua tahun yang lalu, begitu Negara lulus SMA, dia sudah dikecewakan. Fakultas Sastra pilihan anaknya. Apa yang bisa diharapkan dari Fakultas Sastra? Dia tahu banyak nama besar diukir oleh para sastrawan dunia tetapi di bandingkan dengan profesi lainnya profesi apalagi yang paling menyedihkan jika bukan profesi sastrawan?

Memang banyak nama sastrawan mencuat ke atas tetapi berapa lama nama itu bisa bertahan? Sebentar muncul untuk menghilang tak berbekas, seperti awan tipis disapu badai kencang. Yang tidak pernah muncul apalagi mencuat? Yah, segudanglah jumlahnya.

Bukan itu saja yang membuat hatinya kecut ketika anaknya bersikeras memilih Fakultas Sastra atau tidak melanjutkan kuliah. Sastrawan mana di Indonesia yang suaranya bisa berkumandang jauh ke manca negara? Tidak ada, bantahnya keras waktu itu. Sastrawan mana dari negara dan tanah ini, yang bisa berdiri tegar di puncak dengan segala macam prestasinya? Tidak ada! Mereka cuma pandai bicara dan bicara itupun cuma dalam bahasa mereka sendiri. Bahasa yang cuma mereka mengerti sendiri. Bahasa yang tidak bisa memberi sebuah bangsa teknologi atau kemajuan, dan anaknya, yang diharapkan menjadi seseorang yang akan dikenang oleh siapa saja, sekarang memilih profesi itu?

Hanya saja dia terpaksa mengalah waktu itu. Anaknya bukan seorang pemuda yang keras kepala tetapi dia tahu sekali pilihan dan tekad telah diucapkan, anaknya pantang mencabut kembali. Tidak apalah menjadi Sarjana Sastra dari pada tidak menjadi apa-apa.

Pada istrinya dia mengutarakan penyesalannya pada waktu itu dengan kata-kata: "Sayangnya engkau cuma memberikan seorang anak padaku! Seandainya Negara punya adik mungkin sifatnya tidak akan sekukuh seperti ini. Juga aku bisa mengharapkan yang lain dari adik-adiknya."

Sekarang kekecewaan itu mulai terlihat akan terulang kembali. Bahkan lebih parah. Negara menyatakan akan mengundurkan diri dari fakultasnya dengan alasan yang menurutnya sangat bodoh dan dicari-cari.

Negara ingin memahami makna hidup seperti yang telah banyak dibacanya di buku-buku dan itu semua tidak mungkin bisa dicapai di universitas.

"Selesaikan studimu, setelah itu aku tidak akan pernah mengatur lagi langkahmu," laki-laki bertubuh kekar itu melanjutkan kata-katanya. "Kau anakku satu-satunya Negara. Jangan kau kecewakan harapan ayah dan ibumu. Juga jangan kau hancurkan harapan kakekmu, yang bagiku merupakan amanah. Ingat, engkau juga ikut bertanggung jawab melaksanakannya!"

Negara menggigit bibir. Duduknya tidak berubah.

"Negara!" sekarang ibunya yang doktor filsafat itu menimbrung, "aku yakin engkau tentu mengerti. Bagi orang berpendidikan, semua tindakan harus berlandaskan alasan yang masuk akal. Wawasan pandangan orang yang satu dengan orang yang lain mungkin berbeda, meskipun latar belakang pendidikan mereka sama, tetapi yang jelas alasan yang melandasi tindakan mereka pasti sama. Bisa diterima oleh nalar, logis, tidak bertentangan dengan norma, etika dan masih banyak lagi batasan yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin mengambil keputusan."

Wanita yang tidak perlu diragukan lagi kemampuan otaknya itu menatap anak laki-laki satu-satunya itu dengan pandangan lembut, penuh kasih sayang. Di relung hatinya yang paling dalam, kasih sayanglah yang pada akhirnya akan melandasi semua bicara dan keputusannya. Kasih sayang terhadap anak yang dilahirkan dengan susah payah dari rahimnya.

"Bagitu juga dengan engkau anakku," katanya melanjutkan. "Alasan-alasanmu mungkin engkau pikir benar anakku," katanya melanjutkan, "tetapi benarkah alasan itu bagi orang lain? Bagi ayah dan ibumu? Bagi orang-orang yang mendambakan keberhasilan dirimu? Engkau ...!"

"Bu ...!" potong Negara lirih, tidak ingin mengejutkan ibunya karena kata-katanya terpotong. Mata Negara yang bening menatap mata ibunya. Wanita itu mengangguk. Diam-diam perasaan sayang pada anaknya semakin kental meskipun wanita itu selalu mencoba untuk tidak menunjukkan secara berterang. Hati ibu mana yang tidak akan terkesima kalau anak satu-satunya tidak cuma bisa tersenyum dengan bibirnya tetapi juga dengan matanya? Negara bisa tersenyum dengan matanya.

"Berbicara tentang alasan," kata Negara sambil terus tersenyum, "mungkin aku salah menafsirkan alasan yang ada dalam kepala ini dengan kata-kata yang benar, tetapi yang jelas, aku minta ijin pada ayah dan ibu untuk berhenti kuliah, semata-mata karena hatiku mengatakan demikian. Manusia harus menurut pada kata hatinya, bukan? Manusia harus akrab dengan bisikan nuraninya. Ibu pasti tahu hal ini. Begitu juga ayah."

Laki-laki bertubuh kekar yang dipanggil ayah oleh Negara, mendengus pelan. Sedangkan istrinya tersenyum lembut setelah lebih dahulu mengangguk lemah.

"Manusia memang harus akrab dengan kata hatinya dan bisikan nuraninya,"wanita setengah baya itu mendahului berkata pada Negara, "tetapi ini tidak berarti segala macam pikiran logis diabaikan begitu saja. Kalau seseorang berhasil menggabungkan logika dan bisikan nurani menjadi sesuatu yang selaras dan harmoni, dia pasti tidak akan melangkah di jalan yang salah. Meskipun pada akhirnya, setiap orang harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri tetapi sebagai seorang ibu, juga ayahmu sebagai seorang ayah, tetap akan mencoba mencampuri urusanmu, anakku. Pertimbangkan sekali lagi kehendakmu itu. Tiga tahun bukan waktu yang terlalu lama untuk menunggu, apalagi untuk urusan sebesar ini. Juga bukankah engkau bisa mengerjakan bisikan nuranimu sambil meneruskan kuliah. Menunda sesuatu yang telah dimulai adalah tindakan sia-sia dan bodoh!"

Negara menggigit bibirnya. Ayahnya tampak tidak sabar lagi. Ini terlihat ketika laki-laki itu berkata dengan suara dalam.

"Yang jelas engkau harus menyelesaikan kuliah sebagai tanggung jawabmu terhadap aku. Setelah kuliahmu selesai kau boleh berbuat apa saja tetapi sebelum kuliahmu selesai kau harus tunduk pada peraturan rumah ini. Ingat Negara, dua tahun yang lalu kau telah mengecewakan hatiku tetapi aku masih bisa memaafkan dirimu, karena kupikir-pikir, di jurusan apa saja engkau belajar, nilai akhir dan maknanya akan sama saja tetapi kalau kali ini tetap nekad dengan tekadmu   yang  tidak beralasan itu, sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkanmu!"

Istrinya memegang lengan suaminya. Pandangan matanya yang mengandung makna tersendiri seakan hendak mengingatkan suaminya untuk tidak berkata seperti itu pada Negara.

Negara sendiri makin keras menggigit bibirnya. Dia bukan pemberani tetapi juga bukan orang yang suka diancam meskipun yang mengancam kali ini adalah ayahnya sendiri.

"Ayah," kata Negara sambil agak mencondongkan tubuh ke depan. "Apa sih pentingnya sebuah gelar? Cuma untuk kebanggaan? Atau mungkin prestise? Tanpa melalui sekolah pun seseorang bisa memperoleh gelar semacam itu. Menurut pandanganku gelar adalah sebuah penghargaan dan sebuah penghargaan tidak pantas untuk dikejar, direbut, apalagi diusahakan dengan segala macam pengorbanan untuk mendapatkannya."

"Ayah kan pernah mendengar ketika salah seorang pejabat tinggi pemerintah mengatakan pada para pegawai negeri seluruh negara ini tentang masalah kenaikan pangkat. Kenaikan pangkat menurutnya adalah penghargaan pemerintah terhadap seluruh aparat dan karena kenaikan pangkat adalah penghargaan jadi salah kalau sebuah kenaikan pangkat diurus. Penghargaan tidak pantas dan tidak patut diurus. Begitu juga dengan gelar, ayah! Gelar adalah penghargaan dan sebuah penghargaan tidak pantas dikejar-kejar."

Negara berhenti sejenak. Ayah dan ibunya tergugu. Inilah anak mereka sekarang. Pandai bicara. Pandai mengemukakan alasan.

"Aku memutuskan untuk berhenti kuliah sekarang ini, bukan karena malas atau tidak mampu tetapi karena tidak ingin memperoleh penghargaan seperti itu dari lembaga resmi yang seakan-akan menjadi gudang persediaan penghargaan. Aku ingin memperoleh penghargaan itu secara wajar, kalau memang nanti patut mendapat penghargaan. Betapa mudahnya seseorang memperoleh gelar. Dia cuma membutuhkan ketekunan, biaya dan kesabaran. Itulah kesanku untuk mereka yang memperoleh gelar dari bangku pendidikan, seperti ayah dan ibu umpamanya."

"Bah, omong kosong orang yang merasa dirinya pandai, padahal dia sebenarnya tidak mengerti apa-apa," kata laki-laki bertubuh kekar itu dengan suara keras. "Seseorang tidak boleh cuma pandai berkata saja, sementara dia tidak bisa membuktikan kata-katanya. Kau mengatakan mencapai gelar atau seperti menurutmu, penghargaan, itu mudah? Bah, buktikan buyung! Coba buktikan dulu baru engkau boleh mengatakan hal itu di hadapanku. Tidak seperti sekarang ini! Kata-katamu saja yang menjulang tinggi, sementara buktinya cuma kentut belaka. Kau katakan mudah, tapi engkau sendiri sudah menunjukkan tanda-tanda tidak akan mendapatkan sesuatu yang kau pikir mudah itu. Huh ...!"

Ternyata tidak seperti yang diharapkan. Negara malah terseyum lebar.  Sang ibu sendiri sampai heran melihat anaknya tersenyum lebar.

"Ayah tidak usah menggunakan tehnik memanas-manasi!" kata Negara. "Aku tidak akan semudah itu terjebak dalam tehnik semacam ini! Aku...."

"Untuk apa memanas-manasi anak ingusan seperti dirimu!" potong sang ayah sambil mendengus sinis. "Lagi-lagi di sini engkau memperlihatkan sok pintarmu, tetapi lagi-lagi kukatakan bahwa engkau salah besar!  Aku tidak bergurau, aku tidak memanas-manasimu. Aku serius. Bahkan kalau perlu aku akan menantangmu. Kutantang membuktikan kata-katamu. Akan kutanggalkan semua gelarku yang telah kuperoleh selama ini. Ayo sama-sama menjadi mahasiswa baru dan lihat, siapa di antara kita berdua yang bisa berdiri tegak dengan muka tengadah, karena tidak perlu menunduk dalam-dalam akibat tidak kuasa menahan malu. Aku atau engkau. Engkau yang mengatakan mudah mencapai gelar kesarjanaan dari bangku universitas, atau aku yang mengatakan sebaliknya. Kau berani anak muda?"

Ruangan itu hening. Mata Negara membelalak lebar. Bersungguh-sungguhkah ayah? Tantangan ini seriuskah? Kalau memang serius, akan ditaruh di mana mukanya kalau dia tolak tantangan ini tetapi kembali alasan sebenarnya yang selama ini disembunyikannya mengganggu pertimbangannya.

"Aku tidak percaya, kalau darah dagingku, yang selama ini kupercaya telah mewarisi kehormatan keluarga ini akan mundur begitu saja. Tantangan memang tidak pantas dicari-cari tetapi kalau tantangan sudah di depan mata, kemudian mundur sambil mengepit ekor, bah, apa bedanya dengan anjing geladak tanpa nyali?"

"Kuterima tantangan ini!" kata Negara tajam, sambil bangkit dari duduknya. Kemudian tanpa memberi kesempatan ayah dan ibunya mengutarakan sesuatu lagi, Negara melangkah ke kamarnya.

Pasangan suami-istri itu saling pandang. Begitu Negara menghilang, keduanya tersenyum. Mereka tidak berkata apa-apa tetapi senyum itu mewakili semua kata-kata.

Sedangkan Negara, berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Tantangan telah diterima. Tidak ada jalan mundur tetapi bagaimana dengan ...?

Negara melangkah ke meja tulisnya. Ada banyak kertas dan tumpukan naskah yang belum rampung.

Anak muda ini menghela nafas. Kalau dia terus disibukkan oleh kuliah bagaimana dia bisa cepat-cepat menyelesaikan novel akbar ini?

Negara meraih tumpukan naskah yang belum selesai itu. Masih sampai halaman yang keseribu padahal dia merencanakan sampai sepuluh ribu halaman. Mungkinkah tahun ini  "Relung-Relung Penyesalan" akan rampung seperti yang direncanakan sementara tantangan baru yang tidak kalah rumitnya telah menunggu?

"Tidak selesai setahun, akan kuselesaikan dua tahun!" gumam pemuda yang sedang mencoba menciptakan novel terakbar dan tertebal ini. "Pokoknya sebelum aku memenangkan taruhan dengan ayah, novel ini harus telah diselesaikan!" (R-SDA-14032021-087853451949)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun