Relung-Relung Penyesalan
Tri Budhi Sastrio
Sedikit kejutan itu bumbu kejadian
"Jangan kau putuskan kebanggaan keluarga ini dengan tingkahmu, Negara!" kata laki-laki bertubuh kekar itu dengan suara dalam. Sedangkan wanita yang duduk di sebelahnya menatap sosok anak muda yang duduk dengan santai di depan mereka berdua dengan lembut.
"Kakekmu, aku dan saudara-saudaraku berjuang dengan segenap kemampuan yang ada guna melanjutkan dan memupuk kebanggaan ini. Semua paman dan bibimu lulusan universitas terkemuka negara ini. Begitu juga dengan aku, ayahmu. Juga ibumu!"
Laki-laki bertubuh kekar itu berhenti sejenak, membetulkan duduknya dan dengan ekor matanya melirik istrinya, seorang wanita yang sudah tidak muda lagi tetapi masih memancarkan keceriaan dan kecantikan.
Laki-laki bertubuh kekar itu bangga pada  istrinya. Mungkin cuma statusnya saja yang kalah dengan dirinya. Orang memang tidak bisa memandang enteng, meskipun cuma seorang wanita, kalau wanita itu lulus dengan predikat cum laude setelah mempertahankan disertasi dalam bidang filsafat. Wanita lembut itu seorang doktor Filsafat.
Sedangkan dirinya, profesor ilmu bedah mata, juga lulus dengan predikat yang sama. Istrinya belum professor tetapi dia sudah guru besar. Itu saja bedanya. Hanya saja yang penting sebenarnya bukan itu. Semua saudaranya sarjana. Sekarang, semua anak dari saudara-saudaranya sedang menapak ke arah sana. Tak seorang pun di antara keponakannya yang tidak duduk di universitas terkemuka. Bahkan beberapa dari mereka belajar di universitas terkenal di luar negeri.
Laki-laki bertubuh kekar itu masih ingat pesan almarhum ayahnya. "Kuwariskan tekad memperjuangkan sesuatu ini pada kalian semua. Kalian memang belum semua berhasil berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi tetapi aku percaya anak-anakku tidak akan mengecewakanku di alam baka. Aku yakin kalian akan menyelesaikan apa yang selama ini kurintis untuk kalian. Aku yakin kalian akan menyelesaikan pendidikan kalian."
Sekarang pesan itu seperti tergiang kembali. Mustahil warisan kebanggaan itu putus di tangan anaknya. Anak laki-laki satu-satunya, yang ketika lahir dulu begitu diharapkan sampai-sampai hampir tiga hari tiga malam dia tidak henti-hentinya berpikir mencarikan nama yang cocok, sekarang tiba-tiba saja ingin mengecewakan dirinya.
Yudha Negarawan. Itulah nama yang akhirnya dipilih dan diberikan pada anak laki-laki pertamanya. Dia berharap anaknya kelak menjadi negarawan ulung yang bukan saja sanggup menjunjung negara dan bangsa tetapi juga sanggup memancarkan suar kebanggaan keluarga.
Dia memang berharap para keponakannya menjadi orang-orang terkenal tetapi dia ingin anaknyalah yang paling terkenal. Hanya saja sekarang, malam ini, anaknya sekali lagi mengutarakan niatnya. Â Niat yang akan menghancurkan impian keluarga. Niat yang akan mematahkan warisan semangat sang ayah.