Dua tahun yang lalu, begitu Negara lulus SMA, dia sudah dikecewakan. Fakultas Sastra pilihan anaknya. Apa yang bisa diharapkan dari Fakultas Sastra? Dia tahu banyak nama besar diukir oleh para sastrawan dunia tetapi di bandingkan dengan profesi lainnya profesi apalagi yang paling menyedihkan jika bukan profesi sastrawan?
Memang banyak nama sastrawan mencuat ke atas tetapi berapa lama nama itu bisa bertahan? Sebentar muncul untuk menghilang tak berbekas, seperti awan tipis disapu badai kencang. Yang tidak pernah muncul apalagi mencuat? Yah, segudanglah jumlahnya.
Bukan itu saja yang membuat hatinya kecut ketika anaknya bersikeras memilih Fakultas Sastra atau tidak melanjutkan kuliah. Sastrawan mana di Indonesia yang suaranya bisa berkumandang jauh ke manca negara? Tidak ada, bantahnya keras waktu itu. Sastrawan mana dari negara dan tanah ini, yang bisa berdiri tegar di puncak dengan segala macam prestasinya? Tidak ada! Mereka cuma pandai bicara dan bicara itupun cuma dalam bahasa mereka sendiri. Bahasa yang cuma mereka mengerti sendiri. Bahasa yang tidak bisa memberi sebuah bangsa teknologi atau kemajuan, dan anaknya, yang diharapkan menjadi seseorang yang akan dikenang oleh siapa saja, sekarang memilih profesi itu?
Hanya saja dia terpaksa mengalah waktu itu. Anaknya bukan seorang pemuda yang keras kepala tetapi dia tahu sekali pilihan dan tekad telah diucapkan, anaknya pantang mencabut kembali. Tidak apalah menjadi Sarjana Sastra dari pada tidak menjadi apa-apa.
Pada istrinya dia mengutarakan penyesalannya pada waktu itu dengan kata-kata: "Sayangnya engkau cuma memberikan seorang anak padaku! Seandainya Negara punya adik mungkin sifatnya tidak akan sekukuh seperti ini. Juga aku bisa mengharapkan yang lain dari adik-adiknya."
Sekarang kekecewaan itu mulai terlihat akan terulang kembali. Bahkan lebih parah. Negara menyatakan akan mengundurkan diri dari fakultasnya dengan alasan yang menurutnya sangat bodoh dan dicari-cari.
Negara ingin memahami makna hidup seperti yang telah banyak dibacanya di buku-buku dan itu semua tidak mungkin bisa dicapai di universitas.
"Selesaikan studimu, setelah itu aku tidak akan pernah mengatur lagi langkahmu," laki-laki bertubuh kekar itu melanjutkan kata-katanya. "Kau anakku satu-satunya Negara. Jangan kau kecewakan harapan ayah dan ibumu. Juga jangan kau hancurkan harapan kakekmu, yang bagiku merupakan amanah. Ingat, engkau juga ikut bertanggung jawab melaksanakannya!"
Negara menggigit bibir. Duduknya tidak berubah.
"Negara!" sekarang ibunya yang doktor filsafat itu menimbrung, "aku yakin engkau tentu mengerti. Bagi orang berpendidikan, semua tindakan harus berlandaskan alasan yang masuk akal. Wawasan pandangan orang yang satu dengan orang yang lain mungkin berbeda, meskipun latar belakang pendidikan mereka sama, tetapi yang jelas alasan yang melandasi tindakan mereka pasti sama. Bisa diterima oleh nalar, logis, tidak bertentangan dengan norma, etika dan masih banyak lagi batasan yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin mengambil keputusan."
Wanita yang tidak perlu diragukan lagi kemampuan otaknya itu menatap anak laki-laki satu-satunya itu dengan pandangan lembut, penuh kasih sayang. Di relung hatinya yang paling dalam, kasih sayanglah yang pada akhirnya akan melandasi semua bicara dan keputusannya. Kasih sayang terhadap anak yang dilahirkan dengan susah payah dari rahimnya.