Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Nawa Aksara

10 Maret 2021   17:38 Diperbarui: 10 Maret 2021   18:42 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.merdeka.com/

          Kolonel itu membasahi bibirnya. Laki-laki di depannya tampak duduk termangu. Sinar keraguan jelas membayang dari matanya, sementara lamat-lamat sinar kecemasan tak mampu ditutupinya. Keadaan memang semakin genting sekarang. Pembersihan besar-besaran sedang dan telah dilakukan. Kelompok yang pernah menganggap dirinya menjadi korban sedang  haus darah pembalasan. Membunuh memang bukan sumpah mereka tetapi demi menyelamatkan bangsa dan negara (itulah alasan yang digunakan ketika itu), mereka seakan-akan diperkenankan dan boleh membunuh, dan tampaknya hal inilah yang sedang dilakukan ketika itu. Mereka akan membunuh siapa saja yang dianggap penghalang. Mereka akan membabat siapa saja yang tidak mau bekerja sama. Termasuk dirinya, tentu saja!

          Dalam keadaan seperti ini, apa susahnya menghilangkan dirinya? Jika tidak boleh dikatakan semudah membalikkan telapak tangan, tentunya sangat mudah sekali. Sebutir peluru akan mengakhiri segala-galanya. Orang-orang memang sedikit gempar, koran-koran akan memberitakan, pemeriksaan akan dilakukan, tetapi setelah itu? Dia yakin bahwa pembunuhnya tidak akan pernah berhasil diungkapkan. Dia akan menghilang begitu saja, keluarganya akan menerima uang duka dan uang pensiun, sementara itu pengadilan belakang layar ini tetap akan menjatuhkan vonisnya. Tak ada yang bisa membendung, tak ada yang bisa merintangi. Tampaknya takdir memang telah menentukan demikian!

          Lalu bagaimana dengan keyakinannya? Bagaimana dengan keyakinannya bahwa sang Bung tidak bersalah? Bahwa sang Bung sebenarnya sedang terjebak dalam permainannya sendiri tanpa menyadari bahwa jerat-jerat yang dipasang lawan-lawannya semakin erat dan rapat sehingga dia tidak berdaya? Apakah dia harus membiarkan saja keyakinan ini hanyut bersama-sama dengan arus kemarahan, arus kebencian, dan arus memanfaatkan  peluang dan kesempatan? Bukankah dia seharusnya mengeluarkan suara lantang untuk mengungkapkan suara hatinya, sama seperti suara nurani beberapa koleganya?  Bukankah itu yang seharusnya dilakukan? Tetapi ... lamunannya buyar ketika suara sang Kolonel terdengar lagi.

          "Bagaimana, pak?" suara itu semakin lembut sekarang, tetapi nada ancamannya justru semakin jelas. "Apakah Bapak sudah mengambil keputusan? Seluruh kolega bapak yang lain, seluruh ketua fraksi yang lain sudah menyatakan ya. Mereka paham apa yang sedang terjadi dan mereka telah menentukan sikap. Bapak tidak perlu ragu-ragu. Jika Bapak memang bersikeras untuk tidak setuju, Bapak toh tidak mungkin melawan suara dari fraksi-fraksi lainnya. Jadi ..."

          "Tetapi bagaimana saya tahu bahwa semua ketua fraksi yang lain sudah menyatakan setuju," sekarang dia yang memotong pembicaraan.

          Orang yang mengaku Kolonel ini menggeleng-gelengkan kepala tetapi senyum merebak di wajahnya yang keras. Senyum yang dirasa tak jauh berbeda dengan senyum dalam foto tanda pengenal yang tadi diletakkan di meja.

          "Bapak memang tidak tahu tetapi bapak bisa menghubungi mereka sekarang, meskipun saya tidak yakin bapak dapat melakukannya melalui telepon. Sebagian besar saluran telpon kota terputus. Ada gangguan tetapi Bapak dapat menghubungi mereka bersama-sama dengan kami. Ingat pak, jam malam belum dicabut. Bapak tidak bisa keluar dari rumah lebih dari jam sepuluh malam tanpa kami temani secara khusus Sekarang ..." Kolonel itu melirik arlojinya. "sudah mendekati jam sepuluh. Jadi kalau bapak memang benar-benar tidak mempercayai keterangan yang saya berikan, saya bersedia mengantarkan Bapak sekarang juga ke rumah masing-masing ketua fraksi kolega Bapak."

          Laki-laki itu kembali menghela nafas. Panjang dan berat. Firasatnya mengatakan bahwa orang di depannya ini tidak bisa dipercaya tetapi bagaimana dia bisa menolak desakan dan tekanan seperti ini? Mendatangi rumah ketua fraksi lainnya untuk memastikan bahwa dia benar-benar satu-satunya ketua fraksi yang belum menyatakan setuju? Memang bisa dilakukan tetapi jelas itu adalah tindakan yang sama sekali konyol.

          Kalau si Kolonel tidak bohong, dia pasti akan diantarkan ke alamat-alamat yang dituju tetapi kalau si Kolonel bohong, begitu dia keluar dari pagar halaman rumah, dia sebenarnya sudah berubah menjadi seonggok daging dan tulang yang berjalan. Dia akan segera dihabisi. Siapa sih yang tidak tahu dan tidak bisa melihat dengan jelas kemungkinan yang sangat jelas dan kentara ini.

          "Bagaimana, pak?" kembali suara lembut yang penuh desakan itu terdengar. "Begitu Bapak menyatakan persetujuan, selesailah tugas saya, selesai juga tugas Bapak! Tetapi jika memang minta diantar, sekarang juga ..."

          "Baiklah," kata laki-laki setengah baya itu pada akhirnya. Wajah istri dan dua putrinya yang masih duduk di bangku SD membuatnya tidak mempunyai banyak pilihan. Ke mana mereka akan berlindung dan bagaimana nasib mereka jika dia menghilang begitu saja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun