Lewat Surat
Tri Budhi Sastrio
Hidup dan mati manusia memang takdir Tuhan,
Sedangkan cara dan ragamnya
Kadang tidak masuk akal,
Kadang sulit dimengerti!
Hendra bersiul-siul. Hatinya riang. Pekerjaan selesai semua. Pemandangan daerah pemukiman yang jorok, yang biasanya selalu mengganggu, kali ini tidak sempat mampir di hati Hendra. Semua tampak ceria. Semua tampak indah.
Hendra masih bujangan. Dia tinggal di sebuah rumah susun tidak begitu jauh dari tempat kerjanya. Tidak sia-sia dia memikirkan hal ini masak-masak, sebelum dulu memutuskan menyewa sebuah kamar di rumah susun itu. Uang transpor yang diberikan oleh perusahaan dapat ditabung karena tidak perlu menggunakan kendaraan umum. Cukup dengan berjalan kaki sampailah ke tempat kerja. Hemat dan sehat!
Kamarnya di lantai tiga, yang kalau dari arah selatan, tepat berada di ujung sebelah timur. Hemdra mengangguk gembira melewati Satpam yang bertugas. Hari sudah sore. Sinar matahari yang merah seakan-akan mencat dinding rumah susun itu dengan warna jingga. Bukan pemandangan yang menyenangkan untuk mereka yang sedang resah tetapi untuk mereka yang sedang bergembira, seperti Hendra umpamanya, pemandangan itu amat sangat menyenangkan.
Bahkan, bayangan tetangga sebelah yang mempunyai anak lima dan sering menganggu waktu istirahatnya, juga dilupakan oleh Hendra. Yang ada dalam pikiran pemuda itu cumalah hal-hal yang menyenangkan saja. Bagaimana Ranti, karyawan yang sekantor dengan dirinya, membalas senyumnya. Kemudian, bagaimana bapak Direktur memuji pekerjaannya. Apalagi yang bisa diharapkan oleh seorang pemuda bujangan seperti dirinya, kecuali mendapat perhatian dari seorang gadis dan sekaligus mendapat perhatian dari pimpinan kantornya.
Hendra sudah sampai di lantai tiga sekarang. Naik turun rumah susun setiap hari, hampir-hampir merupakan latihan terselubung untuk kaki dan jantungnya. Hendra belok ke kanan. Gang dirumah susun itu sepi dan bersih. Suatu keadaan yang jarang terjadi. Biasanya banyak anak kotor.
Hendra merogoh saku celana, mengeluarkan kunci kamarnya. Sehabis mandi nanati, dia akan turun. Makan malam, kemudian Hendra mempertimbangkan dua kemungkinan. Nonton bioskop atau kembali ke kamar dan membaca buku. Seandainya Ranti tidak sekedar memberikan senyuman balasan tetapi juga mau membalas suratnya, mungkin dia bisa memasukkan satu pertimbangan lagi dalam acara sore hari. Mengunjung pacar, mengunjungi kekasih tercinta!
Hendra kembali bersiul-siul ketika tepat berada di depan pintu kama. Memasukkan kunci, memutarnya pelan, dan kemudian mendorongnya. Hendra masuk, menutup pintu. Laki-laki muda itu sudah hendak terus melangkah, ketika sepucuk surat di lantai menarik perhatiannya.
Hendra membungkuk, mengambil surat. Surat itu betul untuk dirinya. Dikirim degan perangko seharga lima ribu rupiah. Surat kilat, kata Hendra pada dirinya sendiri setelah berpikir sejenak. Dia pernah mengirim surat kilat pada ayah di Surabaya, dan kantor pos memberinya perangko seharga lima ribu rupiah. Jadi ini pasti surat kilat.
Hendra membalik surat itu. Tidak ada nama pengirim, yang ada cumalah kota tempat surat itu dikirimkan. Bandung. Hendra kembali membalik surat itu, memeriksa stempel di perangko depan, dan memang betul dari kota Bandung.