Jangan Berdusta Lagi, Melati
Tri Budhi Sastrio
Takdir itu karunia Yang Kuasa untuk umat manusia,
Tidak untuk dibicarakan tetapi untuk dijalankan!
Begitu juga dengan cinta dan janji,
Keduanya adalah karunia untuk mereka
Yang sedang mabuk madu asmara!
"Tiga kali engkau didustai oleh wanita yang sama dan sekarang masih berharap dia akan menepati janjinya? Yah, engkau benar-benar laki-laki tolol, kawan?" suara Suyanto yang lantang berapi-api seakan hendak merobohkan dinding kamar kos. Belum lagi ditambah gaya mondar-mandirnya. Seakan-akan dengan gaya begitu dia berharap lebih bisa meyakinkan aku.
"Aku temanmu. Teman paling akrab, teman yang rela berbagi tidak hanya diwaktu duka tetapi juga diwaktu suka. Ya ... ya ... aku tahu siapa Melati. Gadis lembut, cantik, kulitnya halus, perangainya tidak tercela dan ... yah pokoknya semua yang baik-baik yang bisa dimiliki oleh seorang wanita ada padanya. Begitu, bukan?"
Jelas pertanyaan ini ditujukan padaku tetapi aku tidak bereaksi karena aku tahu siapa temanku yang satu ini. Kalau dia lagi beraksi dan memberi kuliah seperti ini, aku lebih baik diam. Dia tidak membutuhkan jawaban dari aku apalagi sanggahan.
"Melati memang segala-galanya terutama bagimu, tetapi ingat kawan, engkau harus menyadari realita, engkau harus menyadari keadaan. Tidak semua yang dibayangkan indah cocok dengan diri kita. Aku tahu siapa engkau. Wajah tidak mengecewakan, otak juga boleh tetapi kalau aku boleh menasehati, Melati bukan untukmu. Melati tidak diciptakan untuk dirimu. Singkatnya Melati tidak cocok untuk dirimu!"
Suyanto berhenti sejenak, juga gerakannya. Sejenak kamar kos senyap. Cuma helaan nafas kami yang terdengar.
"Apa perlu diingatkan lagi bagaimana gadis yang engkau impi-impikan itu mengelabuimu? Dari yang pertama sampai yang ketiga?" tanya Suyanto tiba-tiba.
Aku tetap diam tidak bereaksi.
"Yang pertama ketika ... ah, sebenarnya hal ini tidak perlu kukatakan karena aku yakin engkau pasti lebih ingat dari aku. Bukankah yang mengalami sendiri lebih ingat sedangkan aku cuma pengamat, tetapi kalau engkau ...?"
"Tidak!" potongku tiba-tiba.
Habis juga kesabaranku untuk terus tutup mulut.
"Engkau tidak perlu mengungkit-ungkit hal-hal yang sudah berlalu. Aku sudah memaafkan Melati jadi kupikir hal itu tidak perlu dibicarakan!"
Suyanto kulihat mengangguk-angguk.
"Ya, ya sebaiknya memang begitu!" kata Suyanto di antara anggukan kepalanya. "Tidak perlu diceritakan kembali hal-hal yang sudah berlalu tetapi bagaimana dengan hal yang masih akan datang ini? Bagaimana dengan janji Melati-mu yang keempat ini? Apa engkau masih berkeyakinan dia tidak akan berdusta lagi? Apakah tidak terlalu tinggi keyakinan itu, kawan? Ingat, mereka yang bisa berdusta tiga kali tentunya bisa juga berdusta untuk yang keempat kalinya? Apa sih susahnya menambah satu dusta lagi?"
Aku menggeleng pelan.
"Kali ini aku yakin Melati tidak akan berdusta lagi!" kataku lirih tetapi dengan nada mantap.
"Yakin? Hai, apa yang membuat engkau yakin, kawan? Suara lembutnyakah?" tanya Suyanto dengan nada merendahkan.
"Karena aku telah memintanya demikian dan dia mengiakan permintaanku!" jawabku tetap lirih tetapi mantap.
"Kau telah memintanya dan ia mengiakan?" Suyanto menggelengkan kepala dua atau tiga kali. "Tentu saja dia mengiakan semua permintaanmu darimu tetapi ingat tidak dengan tiga permintaanmu yang terdahulu? Bukankah Melati mengiakannya, tetapi apa yang dia lakukan? Janjinya tidak pernah menjadi kenyataan, bukan?"
"Ada beberapa hambatan yang tidak memungkinkan dirinya menepati janji itu tetapi kali ini aku yakin Melati tidak akan berdusta lagi. Aku sungguh-sungguh meminta dan dia sungguh-sungguh berjanji akan menepati."
"Baik," kata Suyanto sambil menghela nafas panjang.
"Sebenarnya urusan ini bukan urusanku tetapi urusanmu. Cuma karena engkau kawanku, kawan yang paling dekat barangkali, aku ikut merasa bertanggung jawab pada segala sesuatu yang berhubungan dengan dirimu. Tentang tiga janji yang terdahulu aku sudah tahu jelas, tetapi janji yang keempat aku sebenarnya belum tahu karena engkau memang belum menceritakan padaku. Eh, janji apa sih sebenarnya yang Melati janjikan padamu?"
"Kau ingin tahu?" tanyaku dengan nada datar. Bayangan janji Melati padaku berkelebat. Memang bukan janji yang menggembirakan meskipun juga bukan janji yang tidak memberi harapan.
"Tentu saja!" jawab Suyanto cepat.
"Kalau aku menolak?"
Suyanto mengerutkan dahinya.
"Menolak? Aku pikir tidak ada alasan untuk menolak permintaan seorang kawan seperti aku ini!"
Aku tersenyum sedih. Wajah Melati dan keadaannya membayang jelas di depan pelupuk mata. Ah Melati, betapa malangnya engkau!
"Ya, aku memang tidak punya alasan untuk menolak permintaanmu," kataku, "tetapi apakah engkau juga punya alasan sehingga engkau ingin tahu janji Melati padaku?"
Suyanto, yang mungkin tidak pernah menduga kalau aku akan bertanya seperti itu, kulihat melengak.
"Aku ingin membantumu, kawan!" kata Suyanto setelah terkejutnya hilang. "Tanpa aku mengetahui dengan jelas persoalannya bagaimana aku bisa membantumu!"
"Kalau aku tidak butuh bantuanmu?" kejarku.
"Aku yakin kau butuh bantuanku!" katanya mantap.
Hatiku tiba-tiba teriris pedih. Bukan karena kata-kata itu tetapi karena tiba-tiba teringat Melati. Ah, Melati, desahku berulang-ulang meskipun cuma dalam hati. Kalau seandainya engkau tepati janjimu yang terdahulu mungkin kita berdua tidak akan seperti sekarang ini.
Suyanto yang mungkin melihat perubahan air mukaku tiba-tiba bertanya.
"Engkau bersedih, kawan?"
Aku menghela nafas panjang. Bersedih, tanyanya? Hmm, laki-laki mana yang tidak akan bersedih kalau takdir yang telah digores terpampang jelas di depan mata. Siapa orangnya di dunia ini yang bisa melawan takdir. Melawan dan mengubah nasib mungkin masih punya harapan tetapi takdir? Ya, Tuhan, mengapa mencobai kami dengan cobaan yang begitu berat, yang hampir tidak tertanggungkan ini?
"Hai, jangan bersedih seperti itu," kata Suyanto lagi. "Kau akan bisa menyelesaikan suatu persoalan hanya dengan bersedih. Lupakan Melati dengan janjinya, aku yakin kesedihan akan lenyap dari hatimu."
Aku menggeleng pelan.
"Kau tidak mengerti persoalannya," kataku lirih, "kalau tidak, engkau tidak akan berkata seperti itu!"
"Aku mengerti persoalanmu, kawan!" Suyanto malah bersikeras sekarang. "Meski tepatnya bagaimana aku tidak tahu tetapi janji Melati yang keempat ini pasti tidak berbeda jauh dengan janji-janjinya yang dulu."
Aku kembali menggeleng pelan.
"Maksudmu janji Melati yang sekarang tidak sama dengan janji yang dulu?" desak Suyanto.
Aku mengangguk pelan.
"Tetapi masih tentang memberi harapan padamu, bukan?"
Aku kembali menghela nafas panjang.
"Ya atau tidak!" jawabku.
Suyanto kulihat mengerutkan kening. Bingung.
"Eh, maksudmu?" tanya Suyanto semakin penasaran dan ingin tahu.
"Ya, ya dan tidak!" jawabku acuh tak acuh.
Suyanto menghela nafas panjang tak berdaya
"Baik, baik, kawan!" katanya akhirnya dengan nada menyerah. "Aku tidak akan menerka-nerka lagi sekarang. Kau ceritakan janji Melati yang ini dan aku berjanji akan mendengarkannya dengan baik!"
Diam-diam aku tersenyum mendengar syarat yang diajukan karena tak satu pun pasal di dalamnya yang menjamin. Semuanya tentang haknya dan tentang keinginannya tetapi aku tidak tega membiarkan teman yang satu ini semakin penasaran. Di samping itu aku ingin ada kawan mau membagi dukaku dan duka Melati. Kalau kawan seperti itu memang ada maka jelas itu adalah Suyanto.
"Melati di samping berjanji padaku sebenarnya juga berjanji pada dirinya sendiri," kataku.
Kulihat Suyanto ingin membuka mulut tetapi pandanganku padanya membuat dia mengurungkan niatnya. Atau mungkin juga karena tiba-tiba teringat pada janji yang baru diucapkan untukku.
"Melati sekarang ini sedang terbaring di rumah sakit. Dari keluarganya aku tahu ..."
Aku berhenti sejenak, mencoba mengumpulkan tenaga, mendorong suara yang tercekat di kerongkongan.
"Dia menderita kanker darah, yang, yah, tidak akan tersembuhkan dan aku, dengan segenap jiwa dan hatiku, meminta pada Melati agar dia tetap hidup karena kalau tidak aku merasa tidak akan ada teman tambatan hati. Dia mengangguk. Dia memberikan janjinya sekali lagi padaku."
Aku berhenti sejenak. Pandanganku menerawang jauh, entah ke mana.
"Tetapi pantaskah aku menuntut janji semacam ini? Pantaskah aku mendesak dirinya untuk janji ini dan agar dia tidak berdusta lagi? Pantaskah aku memaksa dirinya melawan sesuatu yang tidak mungkin dilawan bahkan oleh orang yang paling kuat sekali pun? Pantaskah aku cuma mementingkan diriku sendiri, sedangkan dia bergelut dengan ketidak pastian? Ah, aku bingung, Yanto! Akal sehatku mengatakan tidak seharusnya aku menuntut dan memaksa Melati berjanji sekali lagi padaku, berjanji untuk tetap hidup demi aku, padahal aku tahu janji itu ... Yah tetapi hatiku benar-benar tidak ingin kehilangan dirinya. Hatiku ingin agar dia tetap hidup. Hatiku ingin agar dia suatu ketika bersanding di sampingku, tidak hanya sebagai seorang teman, tetapi juga sebagai seorang istri."
"Tetapi pantaskah ini semua? Pantaskah hal yang keterlaluan semacam ini kudesakkan pada Melati? Kau tahu, untuk janji yang ini dia benar-benar berniat menepatinya, apapun yang terjadi. Ah, kau bisa membayangkan bagaimana dia berjuang menghadapi penyakitnya semata-mata cuma ingin memenuhi janjinya padamu. Kalau dia gagal aku yakin jiwanya tentu penasaran karena janji ini."
"Tidak ...!"
Tiba-tiba tanpa kusadari, aku berteriak dengan keras. Suyanto sampai terlonjak dari duduknya karena terkejut. Sedangkan aku sama sekali tidak menyadari kalau aku baru berteriak begitu keras.
"Aku akan temui Melati sekarang!" kataku kemudian masih tetap asyik dengan pikiranku sendiri, "akan kukatakan bahwa aku tidak akan memaksa dirinya berjanji padaku. Aku tidak ingin karena paksaanku Melati terpaksa ingkar janji untuk yang keempat kalinya. Ya ... ya ... aku akan pergi sekarang." Kemudian pada Suyanto aku bertanya. "Kau mau ikut dengan aku menemui Melati?"
Suyanto mengangguk tetapi sinar matanya yang penuh tanda tanya sedikit mengusik aku.
"Melati ada di mana sekarang?" tanya Suyanto.
"Kau belum tahu?" aku balas bertanya.
Suyanto menggeleng.
"Dia ada di rumah sakit!" kataku lirih, sambil pelan-pelan menundukkan kepala.
Bayangan Melati terbaring lemah di rumah sakit, dan penyakitnya perlahan-lahan terus menggerogotinya, kembali membayang jelas di depan mata. Segumpal penyesalan kembali menyesakkan dada. Aku memaksanya berjanji terus hidup, aku memaksanya untuk tidak ingkar janji kali ini, aku memaksanya harus melakukan sesuatu yang tak seorang pun bisa melakukannya. Ah, memaksa seseorang melawan takdir, sama seperti menyuruhnya melawan kekuasaan PenciptaNya. Benar-benar permintaan yang keterlaluan.
Maafkan aku Melati, maafkan aku Tuhan, maafkan aku yang cuma mementingkan diriku sendiri ini. Kalau Melati memang ditakdirkan segera kembali kepangkuanMu untuk menerima kebahagiaan abadi bersamaMu, apalagi yang bisa kulakukan kecuali mengantarkannya dengan bibir terulas senyuman? Senyuman tulus seorang kekasih, yang tahu bahwa kekasihnya pergi, meskipun untuk selama-lamanya, tetapi itu adalah kepergian yang membahagiakan karena kebahagiaan abadilah yang menantinya di sana.
Melati memang belum dipanggil sekarang tetapi akal sehatku mengatakan bahwa mulai sekarang aku harus mengucapkan selamat jalan padanya. Selamat jalan Melati sayang, semoga di sana engkau masih mau mengingat aku.
Kami berdua ternyata tidak pernah pergi ke rumah sakit. Melati sudah pergi sementara kami berdua asyik berdebat tadi. Ibu kost memberitahu kami karena salah seorang perawat di rumah sakit memang kuberi pesan untuk menghubungi per telepon ke tempat kost kalau ada apa-apa dengan Melati.
Ah, Melati, keluhku berkali-kali, kau memang ingkar janji lagi tetapi penyebabnya aku. Bukan engkau sayang! Bukan engkau penyebabnya tetapi aku! Engkau tidak akan berdusta kalau aku tidak memaksamu. Maafkan aku, Melati! Semoga bahtera yang kau kayuh di alam sana sedamai hati lembutmu. Pergilah sayang dan suatu ketika nanti aku akan menyusulmu! (R-SDA- 26022021-087853451949)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H