Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Melindungi Hutan dan Alam, Melindungi Masa Depan

17 Mei 2017   13:46 Diperbarui: 17 Mei 2017   13:51 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melindungi Hutan dan Alam, Melindungi Masa Depan

Kerusakan hutan dan alam terjadi dimana-mana. Ini realita dan fakta yang sudah berulang kali diungkapkan oleh media massa, cetak atau online.Berita bencana yang dikaitkan langsung atau tidak langsung dengan kerusakan tersebut juga terjadi silih berganti, sehingga orang tidak perlu susah-susah melakukan penelitian menyeluruh segala jika hanya ingin mengambil kesimpulan betapa pada banyak tempat di negeri tercinta ini, kerusakan hutan dan alam memang benar-benar terjadi dan dampaknya telah dirasakan sendiri oleh banyak orang berupa bencana yang menimbulkan kerugian material dan jiwa.

Anehnya, meskipun sudah sejak lama dampak negatif pengrusakan alam dan hutan diketahui karena memang sudah banyak dikaji, tetapi tindakan bodoh banyak orang terus saja dilakukan. Alasannya memang beragam, dan salah satu di antaranya karena desakan kebutuhan dasar hidup. Kebutuhan dasar pada tingkatan orang per orang tidak akan pernah bisa merusak alam. Alam mempunyai kemampuan untuk melayani kebutuhan hidup setiap orang. Yang tidak mampu dilakukan alam adalah melayani keserakahan orang per orang apalagi jika keserakahan tersebut bersifat kolektif dengan landasan berpijak kaum bermodal. Kaum bermodal yang menyediakan sarana dan prasarana, kelompok-kelompok proletar yang menjadi ujung tombak eksekusi. Hasilnya dapat dahsyat luar biasa. Hutan dan alam dipaksa ke batas kemampuannya yang paling tidak aman sebelum akhirnya muncul bencana.

Bencana demi bencana, yang seharusnya menjadi pelajaran bagi orang lain di tempat lain, terus berulang terjadi bukan karena banyak orang tidak paham tetapi karena banyak orang tidak berdaya. Hal semacam ini tentu saja menyakitkan karena tahu apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan tetapi kemampuan untuk melakukan apa yang harus dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan, ternyata tidak cukup memadai. Paradoks dan ironi semacam ini menjadi semakin tampak jelas pada negara-negara yang sedang membangun.

Jargon negara berkembang ‘mengapa kami tidak boleh melakukan apa yang telah kalian lakukan selama berabad-abad’ pernah menjadi pembenar pada banyak tindakan membabat hutan yang direstui oleh negara, meskipun saat ini jargon tersebut semakin menyurut dan tidak lagi dipakai para politisi karena memang jargon itu salah dan ngawur. Negara maju jelas telah melakukan kesalahan tersebut tetapi ini tidak berarti bahwa negara berkembang boleh melakukan hal yang sama, semata-mata karena mereka belum melakukan. Kesalahan tidak perlu diulang apapun alasannya, apalagi jika alasan sebenarnya hanyalah alasan yang rapuh dan ‘ambil gampangnya’.

Maka dari pesannya jangan ikut-ikutan melakukan kesalahan yang bodoh semata-mata karena ‘ambil gampangnya’.

Menanam Untuk Masa Depan

          Orang desa sudah sejak lama paham bahwa apa saja yang baik yang dilakukan hari ini, hasilnya akan dipetik oleh anak cucu di masa depan. Seorang ayah yang dengan rajin memupuk tanaman durian yang ditanam hari ini, sadar benar bahwa terutama bukan dia yang akan memetik buah durian. Anak-anaknya, cucu-cucunya, cicit-cicitnya, dan bahkan mungkin juga para canggahnya yang akan menikmati buah durian yang pohonnya ditanam hari ini. Itulah konsepnya untuk hal-hal yang positif seperti menanam.

          Begitu juga dengan menebang. Mungkin saja penebangan yang ‘ngawur’ yang dilakukan oleh orang tua saat ini, dampak bencananya akan dirasakan oleh anak-anaknya di kemudian hari. Karena sadar akan hal ini maka orang desa tidak pernah menjadi agen perusak alam dan hutan. Orang kota bermodal kuat, berpendidikan tinggi, berwawasan luas, pintar, tangguh, dan sederet kualitas hidup lainnya yang menjadi dambaan banyak orang modern, yang menjadi agen paling berbahaya dalam pengrusakan hutan dan alam. Bukan orang desa, bukan orang kampung, tetapi orang kota bermodal kuat dan berpendidikan.

          Dengan pemahaman seperti ini, pemerintah pusat yang kuat haruslah berani mengarahkan perhatian dan fokus kinerjanya, untuk melakukan langkah-langkah yang memadai untuk sejak sekarang menghentikan sama sekali perbuatan salah, disadari atau tidak disadari, yang berdampak pada pengrusakan alam dan hutan. Pertanyaannya apakah pemerintah pusat sudah melakukan hal itu? Dalam retorika dan jargon politik mungkin sudah, tetapi dalam realita tampaknya hal itu masih jauh dari harapan.

          Kementerian lingkungan hidup yang sudah lama ada, ini artinya pemerintah pusat sadar benar betapa pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup, ternyata kinerjanya masih angin-anginan, atau seperti nyala lilin kecil tertiup angin. Mudah bergoyang ke sana ke mari, atau bahkan kadang-kadang padam dengan sendirinya.

          Tengok saja moratorium penebangan pohon di hutan alam. Apakah tekad yang tampaknya hebat dan luar biasa ini berhasil dijalankan sehingga penebangan pohon pada hutan alam benar-benar berhasil dilakukan pada titik ‘zero’? Hal inilah yang tampaknya belum terjadi karena ternyata penebangan hutan masih terus terjadi. Mungkin tidak lagi besar-besaran seperti pada awal-awal masa Orde Baru dulu, tetapi dengan jujur harus diakui bahwa penebangan tersebut masih ada dan memang masih ada dan tampaknya akan terus ada.

          Mengapa bisa seperti ini? Apakah negara taring dan giginya sudah benar-benar ompong sehingga tidak berdaya menghadapi para pengrusak hutan? Atau bagaimana? Apakah karena para penebang pohon itu terlanjur memiliki hak yang diberikan oleh negara jauh sebelumnya, sehingga secara legal formal mereka dapat terus melanjutkan penebangan pohon? Jika memang tengara yang terakhir ini yang melandasi berlanjutnya penebangan pohon di hutan-hutan asli Indonesia, maka jika boleh memaki dalam tulisan ini, makian yang muncul adalah ‘tahi kerbau’ alias omong kosong besar.

          Mereka boleh memegang ijin itu, tetapi jika negara berani tegas dan kuat, maka mereka harus berhenti menebangi pohon dan benar-benar berhenti. Yang boleh dilakukan sekarang adalah menanam pohon. Bukan menebang pohon, tetapi menanam pohon. Menanam dan menanam. Bukan menebang. Lalu bagaimana jika memerlukan kayu? Jangan tebang pohon di hutan perawan, tebanglah pohon di hutan industri.

Ayo Pemerintah Pusat, Ayo Menanam

          Inilah ajakan yang bisa diberikan kepada pemerintah pusat. Ayo galakkan upaya menanam pohon dengan konsisten, dan jangan ‘hangat-hangat tahi ayam’ seperti yang sekarang terjadi. Kalau teringat betapa pentingnya hal ini, maka ramai-ramai berteriak ayo menanam. Jika kemudian lupa setelah banyak tidur, maka penebangan kembali dilakukan.

          Memang bukan cuma tugas pemerintah pusat untuk yang ‘beginian’ tetapi tidak dapat disangkal hanya pemerintah pusat yang kemampuannya untuk menghadapi para cukong perompak hutan cukup memadai. Atau jangan-jangan mereka pun tidak berdaya menghadapi perompak ini? Yah, jika begini, apalagi yang bisa dilakukan kecuali menikmati ‘speechless’ yang dipaksakan pada kita semua.

          Ayo Pemerintah Pusat, Ayo Menanam.

Tentang Penulis

Tri Budhi Sastrio sekarang ini tercatat sebagai dosen pascasarjana di Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra di Univ. Dr. Soetomo, Surabaya, tenaga pengajar di Pusat Bahasa Univ. Surabaya, dan juga ikut membantu Xin Zhong School Surabaya sebagai KaLitbang. Pernah bertugas sebagai dosen tamu di Universitas Adam Mickiewicz, Poznan, Polandia selama tiga tahun. Pernah aktif sebagai penerjemah dan telah menerjemahkan belasan buku. Membaca dan menulis adalah hobinya dan sejauh ini telah menulis ratusan puisi dan cerpen serta novel dan sebagian besar darinya belum pernah dipublikasikan tetapi telah dihimpun dengan rapi untuk suatu ketika nanti diterbitkan. Alur komunikasi untuk berhubungan dengan dia dapat menggunakan email tribudhis@yahoo.com atau WA 087853451949, FB Tri Budhi Sastrio sedangkan rekening bank pribadinya adalah BCA No. Rek. 1300018897 a.n. Tri Budhi Sastrio

Alamat Rumah:

Griya Candra Mas Blok GE 43-44, Juanda, Sedati – Sidoarjo – Jawa Timur

  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun