Hutan Lindung Merok adalah salah satu hutan lindung yang ada di Kalimantan Timur. Nama Merok berasal dari Sungai yang memiliki hulu dipedalaman hutannya. Namun ada juga yang menyebutnya dengan Hutan Lindung Nyapa, yang diambil dari nama gunung yang ada di dalam kawasan yaitu Pegunugan Nyapa.
Tidak banyak yang mengenal hutan lindung ini, berbeda dengan Hutan Lindung Sungai Wain yang dekat dengan Kota Balikpapan, atau hutan Lindung Wehea yang telah terkenal tidak hanya tingkat nasional tapi juga secara internasional.
Perjalanan mencapainya tidaklah mudah, tidak ada akses tetap untuk menuju ke hutan lindung. Satu-satunya jalan adalah jalan perusahaan logging, hanya mobil 4WD yang bisa mengantarkan ke sana dan jika hujan turun tidak mungkin untuk menjangkaunya.
Perjalanan dari Balikpapan ditempuh menggunakan pesawat dan mendarat di Bandara Kalimarau di Berau. Di Berau perlu bermalam terlebih dahulu untuk persiapan logistic dan perlengkapan lainnya untuk esok hari.
Perjalanan dilakukan mulai pagi hari menuju ke Desa Panaan, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau sekitar dua jam menggunakan mobil. Tujuan awal kami adalah base camp Perusahaan logging PT Utama Damai Indah Timber sebagai titik awal menuju lokasi. Setelah diskusi terkait lokasi-lokasi yang akan kami tuju kami mendapat pengarahan dari staf lapangan terkait jalur yang akan kami lalui.
Selanjutnya perjalanan sekitar dua jam melalui jalur logging yang cukup berliku dan medan yang ekstreem. Hingga kami sampai di subuah camp lama yang sudah tidak digunakan. Beberapa bagian bangunan sudah rusak dan atap banyak ditambal dengan trepal dan banyak yang bocor. Kami akan bermalam di tempat ini untuk beberapa malam.
Esok harinya perjalanan dimulai, berjalan kaki masuk ke dalam hutan yang rapat dan terjal. Tidak ada jalan setapak sebelumnya, jalan terbaik yang kami pilih adalah jalur lintasan satwa. Melingkari bukit, menuruni Lembah, menyeberang Sungai, meniti bebatuan yang licin dan curam dan jalan mendaki. Kedua kaki berpijak kedua tangan berpegangan akar pohon, lebih tepatnya merayap.
Sungai-sungai dengan air yang sangat jernih menimbulkan suara gemericik yang jatuh mengikuti alur tebing bebatuan. Sejenak menikmati segarnya air dengan mencuci kaki, tangan dan membasuh muka. Bahkan jika sudah terbiasa seperti orang kampung, air tersebut bisa langsung diminum, namun hati-hati jika belum terbiasa jangan pernah coba-coba ya.
Perjalanan penuh dengan kewaspadaan, lengah sedikit saja pasti terperosok ke lembah yang berbatu. Namun kewaspadaan kami harus dibagi, dibagi sambil memperhatikan berbagai tanda-tanda satwa yang ada di dalam hutan ini. Baik itu suara, jejak kaki, bekas cakaran di batang pohon, kotoran atau bagian tubuh hewan yang tertinggal.
Selama menyusuri hutan, banyak ditemukan pohon Ara (Ficus sp). Jenis tersebut buahnya menjadi sumber pakan bagi satwa liar di dalam hutan. Pohon-pohon Ara yang ada di dlaam hutan akan berbuah secara bergantian sepanjang tahun. Buah yang masih beraada di atas pohon menjadi sumber pakan bagi berbagai jenis burung, mulai burung besar (Bucerotidae) hingga burung-burung kecil. Selain itu berbagai satwa mamalia kecil arboreal seperti tupai, dan musang juga turut menikmati bua ara tersebut. Saat bua hara jatuh ke tanah maka berbagai satwa terrestrial akan memakannya, mulai dari berbagai jenis tikus, babi hutan, dan monyet.
Beberapa kali telinga kami mendengar burung paruh besar (Bucerotidae) yang sangat langka dari arah depan kami. Tak lama kemudia suara dari arah lain juga menyahut. Jenis burung yang banyak diburu karena mitos sesat yang menganggap bagian tubuhnya mengandung obat tradisional. Akibatnya populasinya menurun tajam bahkan mungkin hanya tersisa di hutan-hutan pedalaman saja yang ada.
Di sekitar pohon hutan yang sedang berbuah kami menjumpai buah yang berserakan di tanah sisa dimakan oleh satwa, namun kami belum mengetahui jenis satwa apa yang memakannya. Hingga kami mendapatkan titik terang, manakal kami menjumpai seonggok kotoran yang khas, kotoran binturong. Masih nampak biji-bijian dari buah yang dimakan satwa tersebut.
Binturung juga merupakan salah satu satwa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Di beberapa tempat, orang tidak bertanggung jawab banyak yang memelihara karena dianggap unik dengan warna rambut hitam dan tebal.
Tak lama berselang terdengan suara memekik keras seperti menyalak di kejauhan, tapi bukan suara anjing. Iya... itu suara kijang. Kijang atau yang memiliki nama ilmiah Muntiacus muntjak sering disebut sebagai barking deer. Karena perilakunya dia sering "barking". Suaranya keras dan bisa terdengar hingga jarak sekitar 500 m di dalam hutan.
Kijang juga mempunyai kebiasaan menggaruk-garukkan tanduknya pada batang pohon. Garukan tersebut menimbulkan bekas goresan pada batang pohon. Goresan tersebut memiliki ciri yang khas dan dapat dibesakan dengan goresan yang dibuat oleh satwa lain. Ciri-cirinya arah goresan adalah dari bawah kea rah atas, sisa kulit yang tergores akan terkumpul di bagian ujung bagian atas.
Lantai hutan yang lembab membuat seresah menjadi basah. Kondisi tersebut menjadi habitat ideal bagi berbagai jenis jamur-jamur hutan. Namun jamur hutan sebagian besar tidak bisa dimakan bahkan ada diantaranya yang beracun. Untuk mendapatkan jamur yang ddapat dimakan di hutan harus benar-benar mengenal jenisnya dengan baik, jika tidak harus bersama penduduk lokal yang sudah mengenal baik jenis jamur yang dapat dimakan.
Malam hari saat kami di camp, beberapa warga local yang mendampingi kami masuk ke dalam hutan untuk mencari lauk makan bagi mereka. Ternyata yang mereka maksud dengan lauk makan malam adalah beberapa ekor katak sungai. Menurut penuturan mereka, warga local memang sudah terbiasa mencari katak sebagai sumber lauk dan sumber protein yang lezat. Setelah dicuci katak-katak tersebut cukup mereka goreng dan ada juga yang hanya dibakar di atas api.
Masyarakat local memang sejak dahulu selalu berinteraksi dengan hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Khususnya Suku Dayak yang pada dasarnya adalah berburu dan meramu dengan sumber bahan alam yang ada di dalam hutan. Mereka hidup berdampingan dengan berbagai satwa liar dan ternyata alam telah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar mereka.
Kehidupan tersebut akan terus lestari hanya jika manusia memanen secukupnya sesuai dengan kemampuan alam untuk merecovery kondisinya secara alami. Namun jika eksploitasi tak terkendali maka keseimbangan alam akan bergeser dan masa-masa kepunahan akan mulai terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H