Mohon tunggu...
Tri Atmoko
Tri Atmoko Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti Satwa Liar

Pengalaman menelusuri hutan, berbagai pengetahuan alam dan satwa liar.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Satwa Liar di Kandang, Apakah Sejahtera?

27 November 2024   16:04 Diperbarui: 27 November 2024   22:43 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Harimau sumatera di dalam kandang (Photo: Tri Atmoko)

Satwa liar adalah bagian integral dari ekosistem yang memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan alam. Namun, tren menjadikan satwa liar sebagai hewan peliharaan telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir. 

Hal ini didorong oleh berbagai alasan, mulai dari rasa kagum terhadap keindahan dan keunikan satwa liar hingga keinginan untuk memiliki sesuatu yang eksklusif.

Namun, tindakan ini memiliki dampak serius, baik bagi satwa itu sendiri, pemiliknya, maupun ekosistem secara keseluruhan. Satwa liar tidak cocok dipelihara diantaranya dikarenakan oleh beberapa hal.

Kebutuhan Biologis yang Rumit

Satwa liar memiliki kebutuhan biologis yang kompleks dan spesifik yang sulit dipenuhi di luar habitat aslinya. Misalnya:

  • Nutrisi Spesifik

Setiap spesies satwa liar memiliki pola makan yang unik dan sering kali bergantung pada makanan yang hanya tersedia di habitat alaminya. Nutrisi yang dibutuhkan satwa liar bukan hanya sekadar memenuhi kalori, tetapi juga menyediakan vitamin, mineral, dan zat-zat lainnya yang mendukung fungsi tubuh dan reproduksi mereka.

Sebagai contoh: Orangutan di alam liar memakan buah-buahan, dedaunan, kulit pohon, dan serangga tertentu. Komposisi nutrisi yang mereka dapatkan dari makanan ini sulit ditiru di lingkungan buatan. Kekurangan zat gizi tertentu, seperti vitamin C dan serat alami, dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti gangguan pencernaan dan masalah sistem kekebalan tubuh.

Dampak nutrisi tidak memadai adalah malnutrisi kronis yang mengakibatkan kelemahan fisik, gangguan pertumbuhan dan cacat fisik, penurunan kemampuan reproduksi, dan sistem kekebalan tubuh yang melemah, membuat satwa lebih rentan terhadap infeksi.

  • Lingkungan Hidup Alami

Satwa liar telah berevolusi untuk hidup dalam ekosistem spesifik yang menyediakan berbagai elemen lingkungan yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.

Elemen-elemen ini meliputi suhu, kelembapan, ruang gerak, pola musim, serta interaksi dengan spesies lain dalam ekosistemnya. Ketika dipindahkan ke lingkungan buatan, kebutuhan ini sering kali tidak terpenuhi, yang dapat menyebabkan stres, penyakit, atau kematian.

Dampak ketidaksesuaian lingkungan adalah gangguan perilaku, penurunan fungsi fisiologis (seperti metabolisme atau reproduksi), penyakit kronis akibat paparan lingkungan yang tidak sesuai, dan stres berkepanjangan yang memengaruhi sistem imun, membuat mereka rentan terhadap berbagai penyakit.

Owa kalimantan yang dipelihara masyarakat dikurung di dalam kandang seadanya (Photo: Tri Atmoko)
Owa kalimantan yang dipelihara masyarakat dikurung di dalam kandang seadanya (Photo: Tri Atmoko)

Stres dan Gangguan Psikologis

Satwa liar adalah makhluk hidup yang telah berevolusi untuk beradaptasi dengan habitat dan interaksi sosial tertentu dalam ekosistemnya. Ketika mereka dipelihara di lingkungan buatan, mereka sering mengalami stres yang mendalam akibat ketidaksesuaian dengan kondisi alamiah mereka.

Stres ini dapat memicu gangguan psikologis serius, yang pada akhirnya memengaruhi kesehatan fisik, perilaku, dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan.

Stres yang tidak teratasi dapat berkembang menjadi gangguan psikologis yang parah. Berikut adalah beberapa manifestasi yang umum terlihat pada satwa liar di kendang pemeliharaan:

  • Stress dapat menimbulkan perilaku stereotipe. Stereotipi adalah perilaku yang berulang-ulang dan tidak memiliki fungsi nyata, seperti mondar-mandir, menggigit kandang, atau mecabuti rambut.

Contoh: Gajah yang menggoyangkan kepala bolak-balik di kebun binatang sering menunjukkan tanda-tanda stres kronis akibat kurangnya stimulasi atau ruang gerak.

  • Perilaku Agresif, satwa liar yang tertekan dapat menjadi agresif terhadap manusia atau satwa lain. Ini adalah respons alami terhadap perasaan terancam atau frustrasi.

Contoh: Ular yang merasa stres sering kali menyerang tanpa provokasi nyata karena merasa terpojok di ruang yang sempit.

  • Apati atau Ketidakpedulian, beberapa satwa liar menunjukkan respons sebaliknya berupa apati, di mana mereka tampak tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Ini sering dianggap sebagai tanda "penyerahan diri" terhadap situasi stres.

Contoh: Singa di penangkaran yang hanya tidur sepanjang hari dan tidak menunjukkan minat pada lingkungannya.

  • Gangguan Reproduksi, stres kronis dapat menghambat reproduksi pada satwa liar, baik melalui penurunan hormon reproduksi maupun hilangnya minat kawin.

Contoh: Burung eksotis seperti kakatua sering kali gagal bertelur atau tidak merawat anak mereka ketika stres.

Stres dan gangguan psikologis adalah bukti nyata bahwa satwa liar tidak cocok dipelihara. Lingkungan buatan tidak dapat menggantikan habitat alami mereka, baik dalam hal ruang, interaksi sosial, maupun kesempatan menjalankan perilaku alami. Oleh karena itu, satwa liar sebaiknya dibiarkan hidup bebas di alam, tempat mereka dapat menjalani hidup yang sesuai dengan kodrat mereka.

Memelihara jenis kera kecil memiliki potensi yang besar menularkan penyakit ke pemeliharanya (Photo: Tri Atmoko)
Memelihara jenis kera kecil memiliki potensi yang besar menularkan penyakit ke pemeliharanya (Photo: Tri Atmoko)

Risiko Kesehatan Memelihara Satwa Liar

Ketika satwa liar dipelihara sebagai hewan peliharaan, risiko yang ditimbulkan tidak hanya membahayakan satwa itu sendiri tetapi juga manusia di sekitarnya. Dua alasan utama yang sering diabaikan adalah potensi penularan penyakit zoonosis dan ancaman terhadap keselamatan manusia.

Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Satwa liar, sebagai reservoir alami bagi banyak patogen, memiliki risiko besar untuk menyebarkan penyakit yang dapat berdampak serius pada kesehatan manusia. Kondisi penahanan, stres, dan kontak dekat dengan manusia dapat memicu penyebaran penyakit ini.

Contoh Penyakit Zoonosis dari Satwa Liar adalah sebagai berikut:

  • Rabies, adalah penyakit mematikan yang dapat ditularkan melalui gigitan mamalia liar seperti kelelawar, rakun, dan musang. Meski vaksinasi tersedia, paparan rabies dapat berakibat fatal jika tidak segera ditangani.
  • Tuberkulosis (TB), beberapa primata liar membawa bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menginfeksi manusia. Penyakit ini tidak hanya sulit diobati tetapi juga menular dengan cepat.
  • Herpes B (Herpesvirus), virus ini sering ditemukan pada monyet macaque. meskipun jarang, infeksi pada manusia dapat berakibat fatal.

Infeksi zoonosis dapat menyebabkan gejala mulai dari gangguan pencernaan ringan hingga komplikasi serius seperti kerusakan organ atau kematian. Selain itu, biaya perawatan medis dan risiko penyebaran penyakit ke komunitas lebih luas menjadi beban tambahan.

 

Bahaya Fisik dan Keselamatan

Satwa liar mempertahankan insting alami mereka meskipun dipelihara sejak kecil. Dalam kondisi tertekan atau merasa terancam, mereka dapat menjadi agresif dan berbahaya bagi manusia.

Satwa liar, terutama yang berukuran besar atau predator, dapat menyebabkan cedera serius. Harimau, misalnya, tetap memiliki insting berburu meskipun dipelihara sejak kecil.

Primata seperti monyet atau simpanse dapat menjadi agresif, terutama ketika merasa terancam. Mereka dapat menggigit, mencakar, atau bahkan menyerang manusia secara tiba-tiba.

Ular besar seperti piton dapat melilit pemiliknya, yang dalam beberapa kasus menyebabkan kematian akibat sesak napas.

Beberapa satwa liar, seperti ular memiliki racun yang dapat mematikan manusia. Ketidaktahuan atau kelalaian dalam memelihara satwa ini sering kali berujung pada kecelakaan fatal.

Monyet ekor panjang yang dipelihara masyarakat dengan diikat rantai di tempat yang tidak layak (Photo: Tri Atmoko)
Monyet ekor panjang yang dipelihara masyarakat dengan diikat rantai di tempat yang tidak layak (Photo: Tri Atmoko)

Perlindungan secara Hukum Satwa Liar

Banyak satwa liar dilindungi oleh undang-undang internasional dan nasional karena statusnya yang terancam punah atau pentingnya peran mereka dalam ekosistem.

Beberapa perangkat hukum di Indonesia terkait larangan perlindungan satwa liar diantaranya adalah:

  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Yaitu pada Pasal 21 ayat (2) pemelarangan siapa pun untuk menangkap, melukai, membunuh, memelihara, memperniagakan, atau memperdagangkan satwa liar yang dilindungi tanpa izin.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang mengatur jenis satwa yang dilindungi dan menetapkan sanksi bagi pelanggar, termasuk denda hingga hukuman penjara. Daftar lampiran tentang jenis satwa yang dilindungi telah diperbaharui berdasarkan Permen LHK No 106 tahun 2018.

Sedangkan konsensus Internasional terkait dengan perlindungan satwa liar, yaitu:

  • CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang mengatur perdagangan internasional satwa liar untuk memastikan bahwa praktik ini tidak mengancam kelestarian populasi satwa.
  • Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) yang mendorong perlindungan habitat alami dan mencegah eksploitasi ilegal satwa liar.

Risiko Pelanggaran Hukum 

Memelihara satwa liar sering melibatkan pelanggaran terhadap hukum perlindungan satwa. Undang-undang di berbagai negara, termasuk di Indonesia, telah mengatur perlindungan terhadap satwa liar untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menjaga keseimbangan ekosistem. Ketidaktahuan atau pelanggaran terhadap hukum ini dapat membawa konsekuensi serius secara hukum.

Pelanggaran hukum yang menyertai pemeliharaan satwa liar adalah penangkapan dan perdagangan Ilegal. Sebagian besar satwa liar yang dipelihara berasal dari hasil penangkapan liar di alam, yang sering kali melibatkan praktik kejam, seperti membunuh induk satwa untuk mengambil anaknya. Perdagangan satwa liar ilegal adalah industri global bernilai miliaran dolar, tetapi dampaknya terhadap populasi satwa sangat merusak.

Pelanggaran lainnya adalah pemeliharaan tanpa izin. Banyak individu yang tidak menyadari bahwa satwa peliharaan mereka termasuk dalam kategori ini. Contoh: Burung cenderawasih, elang, atau orangutan adalah spesies yang sering dipelihara secara ilegal di Indonesia.

Penyalahgunaan dokumen atau lisensi juga termasuk pelanggaran hukum. Beberapa individu menggunakan dokumen palsu untuk menyamarkan status satwa liar yang dilindungi, menjadikan praktik ini semakin sulit dilacak oleh otoritas.

Satwa Liar Lebih Sejahtera di Habitatnya

Memelihara satwa liar adalah tindakan yang merugikan satwa, manusia, dan lingkungan. Praktik ini tidak hanya melanggar prinsip-prinsip kesejahteraan satwa, tetapi juga membawa risiko besar terhadap kesehatan manusia, merusak keseimbangan ekosistem, dan melanggar hukum.

Sebagai individu yang peduli pada kesejahteraan satwa dan pelestarian lingkungan, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menolak tren ini. Dengan mendukung konservasi dan edukasi, kita dapat berkontribusi dalam menjaga keanekaragaman hayati dan memastikan bahwa satwa liar dapat terus hidup di habitat alaminya, tempat mereka seharusnya berada.

Dengan menghormati kehidupan satwa liar, kita menghormati kehidupan itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun