Mari kita nilai #2019GantiPresiden menurut ketiga dimensi bahasa sebagai tindakan di atas. Pernyataan #2019GantiPresiden tentu bukan sekedar informasi yang kalau diterjemahkan bisa berbunyi: eh bro, tahun 2019 bisa ganti presiden loh. Lebih tepatnya, #2019GantiPresiden merupakan ungkapan kehendak dan kehendak itu harus terlaksana menurut mereka yang menyatakannya.
Jika diterjemahkan, pernyataan itu bisa berbunyi: tahun 2019 harus ganti presiden. Seruan seperti ini pasti melahirkan beragam emosi dalam diri banyak orang: ada yang senang, ada yang marah; ada yang oke, ada yang tersinggung.
Singkat kata, sebagai sebuah tindak berbahasa, pernyataan #2019GantiPresiden membuka sedikit peluang bagi orang untuk berpikir dan berargumentasi. Pernyataan itu terutama diarahkan pada emosi. Itu sebabnya, mengapa rasanya sulit membalas pernyataan #2019GantiPresiden dengan pernyataan #Jokowi2periode.
Mengapa? Karena kedua pernyataan ini, sebagai sebuah tindak berbahasa, memang dirancang untuk melahirkan emosi yang kuat dan bukan untuk merangsang diskusi. Bahasa propaganda bersifat demikian: makin bombastis, makin baik, karena makin dapat menggerakkan massa.
Tidak heran, tanggapan emosional pun muncul di kedua tempat di mana gerakan #2019GantiPresiden dideklarasikan, yaitu di Surabaya dan Pekan Baru, Riau. Â Tidakkah kebetulan bahwa deklarasi gerakan #2019GantiPresiden yang terakhir diluncurkan mengambil tempat di dua provinsi yang memenangkan para pemimpin yang berpihak pada Presiden aktual?
Bukankah tindak berbahasa yang menuntut ganti Presiden, yang dilancarkan di daerah di mana pendukung Presiden adalah masyarakat mayoritas di kedua daerah itu, sama dengan tindakan provokatif? Lalu mengapa kemudian heran ketika gelombang penolakan masyarakat terjadi? Atau jangan-jangan, justru ini yang diharapkan supaya muncul gambaran bahwa gerakan #2019GantiPresiden adalah gerakan yang ditekan, yang mendapat perlakuan represif dan dengan demikian memancing simpati?
Berkaca pada gerakan "Cabut Mandat SBY"
Mulai tahun 2007 lalu berulang pada tahun 2010 dan 2011, Hariman Siregar CS mendeklarasikan gerakan Cabut Mandat SBY. Â Sementara pihak membandingkan gerakan ini dengan gerakan #2019GantiPresiden. Ada beberapa perbedaan penting yang tidak bisa diabaikan dari kedua gerakan ini.
Pertama, gerakan Cabut Mandat SBY diluncurkan ketika masyarakat relatif tidak terpolarisasi oleh Pilpres sebelumnya. Walau pernyatan gerakan itu keras, Cabut Mandat SBY, namun efek emosionalnya sangat terbatas. Berbeda dengan gerakan #2019GantiPresiden yang dideklarasikan di atas luka Pilpres 2014 yang masih belum pulih. Dengan demikian, efek emosional yang dilahirkannya pun sangatlah luas, seluas dua kubu yang sempat berseteru empat tahun yang lalu.
Kedua, gerakan Cabut Mandat SBY tidak menggunakan berita hoax. Yang diserukan adalah situasi sosial-ekonomi aktual yang sungguh terjadi dan dapat ditemukan di surat kabar oleh semua orang yang mau membaca. "Kita makin terpuruk oleh nasib TKI yang dipancung di Arab Saudi, tingginya korupsi dan suap, kekayaan bangsa dibiarkan dirampok bangsa asing, mafia Pemilu dan lainnya," ujar seorang penggagas gerakan itu.
Sebaliknya, dalam gerakan #2019GantiPresiden, isu yang dilontarkan lebih berupa berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Isu-isu itu dapat dibaca dalam syair lagu Ganti Presiden yang menjadi hymne gerakan ini. Sebagai contoh, penggalan lagu itu berbunyi demikian: sepuluh juta lapangan kerja, tapi bukan untuk kita.