Plato, seorang filsuf besar Yunani, suka dengan struktur tiga bagian. Misalnya, menurut Plato, kenyataan ini dapat dibagi menjadi tiga unsur yaitu unsur jasmani, lalu unsur ilahi yang menjadi asal-usul unsur jasmani (Demiurge) dan Idea Yang Baik, yang sama sekali tak tersentuh segala yang bersifat ragawi. Demikian pula ketika berbicara tentang manusia, ia pun menggunakan struktur tiga bagian. Menurutnya, manusia itu dapat dibagi menjadi tiga unsur, yaitu unsur jasmani yaitu badan (soma) lalu unsur emosi yaitu kejiwaan (psyche) dan unsur rasional yaitu akal (nous).
Ketunggalan dalam tiga unsur yang berbeda seperti di atas tadi rupanya juga disukai oleh Gubernur DKI Jakarta yang baru, bang Anies Baswedan. Sejak masa kampanye sampai pidato pertama di Balai Kota beberapa waktu yang lalu, Beliau berungkali menekankan pentingnya kesatuan antara gagasan, kata dan karya. Demikianlah semboyannya, yang sadar atau tidak sadar merupakan alternatif atau tandingan dari semboyan kerja, kerja, kerja yang dikibarkan Jokowi dulu.
Dari Pribumi ke Pembukaan UUD 45
Bukan hanya semboyan sang Gubernur yang berstruktur tritunggal, tetapi pidato pertamanya juga punya struktur yang sama. Dengan melihat struktur pidato yang menjadi kerangka, diharapkan pembaca dapat bersikap adil terhadap Beliau; dalam arti menempatkan istilah pribumi dalam konteks teks pidato secara keseluruhan. Maka, daripada berpolemik tentang istilah pribumi, mengapa kita tidak mengikuti himbauan bang Anies sendiri untuk memahami pidatonya secara keseluruhan?
Dan informasi apa yang dapat ditimba dari sana? Menurut kacamata saya, pidato Anies menyerupai Pembukaan UUD 45. Di mana keserupaannya? Paling tidak ada tiga kesamaan. Pertama, seperti Preambule UUD 45, pidato Anies pun menyematkan rasa syukur kepada Allah sebagai pemberi anugerah kemenangan dalam perjuangan. Pembukaan UUD 45 berbunyi:
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
Sementara itu, rasa syukur dalam pidato pertama bang Anies sebagai Gubernur Ibu Kota berbunyi demikian:
Ketika niat lurus telah dituntaskan, ketika ikhtiar gotong royong dalam makna yang sesungguhnya dan didukung dengan doa yang tanpa henti dipanjatkan, maka pertolongan dan ketetapan Allah SWT telah datang.
Tak ada yang bisa menghalangi apa yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Tak ada pula yang bisa mewujudkan apa yang telah ditolak oleh-Nya.
Maka dengan mengucap syukur dan doa kepada Allah SWT, Yang Maha Penolong, Yang Maha Melindungi.
Alhamdulillah sebuah fase perjuagan telah terlewati.
Kesamaan lainnya, antara Pembukaan UUD 45 dan pidato pertama Anies adalah sama-sama menyebutkan kelima sila dalam Pancasila sebagai pedoman hidup bersama. Dan kesamaan terakhir, menurut saya, baik Preambule UUD 45 maupun Pidato Anies sama-sama dapat dibagi tiga bagian.
Struktur tiga Pembukaan UUD 45 terdiri atas: 1) perjuangan bangsa Indonesa meraih kemerdekaan (Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia...); 2) Pengakuan bahwa kemerdekaan itu adalah kerjasama antara rahmat Allah dan dorongan keinginan luhur manusia (Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya); 3) perjuangan mengisi kemerdekaan (...untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...).
Bercermin dari struktur Preambule UUD 45 di atas, pidato Anies pun dapat dibagi menjadi tiga bagian: 1) Pengakuan bahwa keberhasilan dalam perjuangan selama Pilkada DKI kali lalu adalah berkat rahmat Allah dan suara warga Jakarta (Tak ada yang bisa menghalangi apa yang telah ditetapkan oleh-Nya.Tak ada pula yang bisa mewujudkan apa yang telah ditolak oleh-Nya.ng tanpa henti dipanjatkan, maka pertolongan dan ketetapan Allah SWT telah datang. Tak ada yang bisa menghalangi apa yang telah ditetapkan oleh-Nya.Tak ada pula yang bisa mewujudkan apa yang telah ditolak oleh-Nya.Warga Jakarta telah bersuara dan telah terpaut dalam sebuah rasa yang sama, yaitu keadilan bagi semua. Maka dengan mengucap syukur dan doa kepada Allah SWT, Yang Maha Penolong, Yang Maha Melindungi. Alhamdulillah sebuah fase perjuagan telah terlewati); 2) Perjuangan mengisi kemenangan itu demi warga Kota Jakarta (Kini saatnya bergandengan sebagai sesama saudara dalam satu rumah untuk memajukan Kota Jakarta); 3) Pengakuan bahwa keberhasilan perjuangan mengisi kemenangan Pilkada DKI tidak akan berjalan tanpa rahmat Allah dan persatuan warga DKI (Dengan memohon pertolongan kepada Yang Maha Memberi Pertolongan, mari kita bersama berikhtiar mewujudkan Jakarta yang maju setiap jengkalnya, yang bahagia setiap insan di dalamnya. Semoga Allah SWT membantu ikhtiar kita).
Sebuah Tanya: Pentingkah Sejarah?
Dari perbandingan struktur kedua dokumen tadi, kita segera dapat menemukan tidak saja kesamaan tetapi juga nampak jelas perbedaannya. Perbedaan paling nyata adalah Pembukaan UUD 45 menjadikan dua perjuangan, yaitu perjuangan meraih dan mengisi kemerdekaan sebagai bingkai atau konteks dari rasa syukur atau relasi dengan ilahi, Pidato Gubernur DKI sebaliknya, menempatkan relasi dengan Yang Ilahi sebagai bingkai bagi perjuangan mewujudkan amanah Gubernur dan Wakil Gubernur.
Dengan rumusan yang berbeda, dapat dikatakan bahwa dengan menempatkan relasi dengan Allah di tengah, diapit oleh dua perjuangan yaitu meraih dan mengisi kemerdekaan, Pembukaan UUD 45 menekankan kesejarahan atau realitas nyata masyarakat Indonesia sebagai konteks rasa syukur. Realitas nyata itu adalah kemerdekaan yang telah diraih dan kemerdekaan yang mesti diisi.
Sebaliknya, dengan meletakkan usaha menunaikan amanah di tengah pidatonya, dan dengan mengapit usaha itu dengan dua pernyataan berkaitan dengan relasi dengan Sang Khalik, bung Anies hendak menempatkan upayanya lima tahun ke depan dalam konteks iman beriman, alias konteks transendennya, metafisiknya, dan bukan realitas nyatanya.
Kecenderungan Anies menggunakan bingkai iman dan agama sudah nampak sejak Pilkada DKI kali lalu. Bukankah Beliau bersama Amien Rais telah sama-sama menganalogikan pesta demokrasi warga DKI sebagai sebuah Perang Badar ? (https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170418225005-516-208534/anies-dan-amien-rais-sebut-pilkada-dki-seperti-perang-badar/). Gambaran ini tentu berbahaya sebab dalam pesta demokrasi, yang kalah tetap bisa berpartisipasi bersama yang menang dalam menyusun aturan main hidup bersama. Sementara itu, tidak ada pihak yang menang dalam perang karena kedua pihak akan sama-sama terluka.
Dengan kata lain, analogi ini berbahaya karena mengacaukan kesejarahan: harusnya yang diperangi bukan sesama kontestan tetapi musuh bersama aktual bagi semua warga, yaitu kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dalam segala bentuknya, dengan korupsi yang nomor satu.
Kekacauan sejarah semakin nyata kalau kita simak baik-baik paparan Anies tentang Jakarta sebagai kota perjuangan. Pertama-tama, Anies menekankan peran geopolitis dan geostrategis Jakarta yang tak tergantikan dalam sejarah (Di kota ini, semua sejarah penting republik ditorehkan. Dua Km letaknya dari tempat kita berkumpul, para pemuda berkumpul di Kramat Raya mengumandangkan satu Tanah Air, satu bangsa, dan satu bahasa bersama. Hanya 2 Km dari tempat ini). Ungkapan-ungkapan serupa diulang-ulang untuk menyiapkann panggung bagi para pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan. Tetapi siapakah para pelaku sejarah itu? Para pejuang Revolusi Fisikkah? Para Bapa Pendiri Bangsakah? Atau siapa?
Bukan semuanya. Satu-satunya pelaku utama perjuangan itu adalah KITA:
Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan.
Kita yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme.
Kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini.
Tidak satupun nama pejuang dan Bapa-bapa Bangsa disebut. Hanya satu nama, Muhammad Husni Thamrin. Tetapi tidak Sukarno, tidak Hatta, apalagi Syahrir. Dengan kata lain, dengan pola seperti ini ada kesan bang Anies hendak mengacaukan dimensi waktu: kita yang bekerja keras merebut kemerdekaan... sungguhkah kita? Saya tidak ikut berjuang merebut kemerdekaan. Itu perjuangan para pendahulu saya. Saya dan kita semua adalah ahli waris. Mengapa bukan kita? Alasannya sederhana: entah waktu masa perjuangan dulu tidak ada satupun dari kita yang lahir atau kita sudah lahir tetapi masih sangat kecil. Jangankan mengusir kolonialisme, mandi sendiri saja mungkin kita waktu itu masih belum mampu.
Tetapi apakah orang sekaliber Anies tidak paham akan perbedaan waktu seperti itu? Perbedaan generasi antara generai 45 dan generasi milenial? Tentu tidak. Dia sadar sepenuh-penuhnya. Tampaknya, justru itu yang hendak disasar.
Dengan mengacaukan dimensi waktu, para pendengar diajak masuk ke suasana revolusi fisik dulu di mana yang serba asing adalah musuh bersama, adalah kolonial, dan harus diusir. Cakrawala perjuangan dipersempit menjadi mengusir penjajah/kolonialisme. Perjuangan tidak lagi berarti melawan musuh-musuh nyata semacam korupsi dan kebodohan. Tidak heran, dalam konteks seperti itu, pemakaian istilah Pribumi menambah parah kekacauan sejarah dalam pidato pertama sang Gubernur. Kalau mau disebut konteks kolonial, mengapa pelaku sejarahnya adalah kita-kita yang hidup di jaman milenial: kita yang.... merebut kemerdekaan; kita yang... mengusir kolonialisme...
Penutup
Simpulannya, pidato pertama kali lalu, mengutip pendapat seorang pakar politik, adalah pidato yang sangat lihai dan disusun begitu rapi. Sasarannya bukan sekedar orang Jakarta tetapi seluruh masyarakat Indonesia. Ini bukan pidato kerja seorang Gubernur tetapi pidato politik seseorang yang siap bertarung di ajang Pilpres dua tahun ke depan.
Simpulan berikutnya, meskipun ada banyak kata persatuan di sana-sini, namun dalam bagian paling penting, yaitu sejarah berdirinya bangsa dan negeri ini, pesan persatuan itu gagal disampaikan. Penyebabnya: rusaknya dimensi waktu, hilangnya jarak antara tahun-tahun revolusi fisik dan kekinian. Lenyapnya jarak itu dimotori oleh penggunaan subjek yang lintas sejarah: kita. Tidak heran, istilah pribumi yang dipakai pun membawa pesan permusuhan atas yang berbeda. Ada pribumi (Kita: siapakah kita?) dan ada non-pribumi (yang serba asing, kolonial: siapakah mereka?).
Untuk menutup tulisan ini, saya mengutip tulisan Plato dalam buku filsafat politiknya, Republik: "But I don't think we shall quarrel about a word - the subject of our inquiry is too important for that." Â Kita tidak sedang bertengkar tentang makna sebuah kata, bang Anies. Perjuangan kita jauh lebih penting dari kata Pribumi atau non-Pribumi: yaitu bangsa Indonesia yang dapat memberikan kesaksian kepada dunia bahwa hidup dalam perbedaan itu mungkin.
Bumi Batavia, 10 hari jelang Hari Sakral Sumpah Pemuda 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H