Alhamdulillah sebuah fase perjuagan telah terlewati.
Kesamaan lainnya, antara Pembukaan UUD 45 dan pidato pertama Anies adalah sama-sama menyebutkan kelima sila dalam Pancasila sebagai pedoman hidup bersama. Dan kesamaan terakhir, menurut saya, baik Preambule UUD 45 maupun Pidato Anies sama-sama dapat dibagi tiga bagian.
Struktur tiga Pembukaan UUD 45 terdiri atas: 1) perjuangan bangsa Indonesa meraih kemerdekaan (Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia...); 2) Pengakuan bahwa kemerdekaan itu adalah kerjasama antara rahmat Allah dan dorongan keinginan luhur manusia (Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya); 3) perjuangan mengisi kemerdekaan (...untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...).
Bercermin dari struktur Preambule UUD 45 di atas, pidato Anies pun dapat dibagi menjadi tiga bagian: 1) Pengakuan bahwa keberhasilan dalam perjuangan selama Pilkada DKI kali lalu adalah berkat rahmat Allah dan suara warga Jakarta (Tak ada yang bisa menghalangi apa yang telah ditetapkan oleh-Nya.Tak ada pula yang bisa mewujudkan apa yang telah ditolak oleh-Nya.ng tanpa henti dipanjatkan, maka pertolongan dan ketetapan Allah SWT telah datang. Tak ada yang bisa menghalangi apa yang telah ditetapkan oleh-Nya.Tak ada pula yang bisa mewujudkan apa yang telah ditolak oleh-Nya.Warga Jakarta telah bersuara dan telah terpaut dalam sebuah rasa yang sama, yaitu keadilan bagi semua. Maka dengan mengucap syukur dan doa kepada Allah SWT, Yang Maha Penolong, Yang Maha Melindungi. Alhamdulillah sebuah fase perjuagan telah terlewati); 2) Perjuangan mengisi kemenangan itu demi warga Kota Jakarta (Kini saatnya bergandengan sebagai sesama saudara dalam satu rumah untuk memajukan Kota Jakarta); 3) Pengakuan bahwa keberhasilan perjuangan mengisi kemenangan Pilkada DKI tidak akan berjalan tanpa rahmat Allah dan persatuan warga DKI (Dengan memohon pertolongan kepada Yang Maha Memberi Pertolongan, mari kita bersama berikhtiar mewujudkan Jakarta yang maju setiap jengkalnya, yang bahagia setiap insan di dalamnya. Semoga Allah SWT membantu ikhtiar kita).
Sebuah Tanya: Pentingkah Sejarah?
Dari perbandingan struktur kedua dokumen tadi, kita segera dapat menemukan tidak saja kesamaan tetapi juga nampak jelas perbedaannya. Perbedaan paling nyata adalah Pembukaan UUD 45 menjadikan dua perjuangan, yaitu perjuangan meraih dan mengisi kemerdekaan sebagai bingkai atau konteks dari rasa syukur atau relasi dengan ilahi, Pidato Gubernur DKI sebaliknya, menempatkan relasi dengan Yang Ilahi sebagai bingkai bagi perjuangan mewujudkan amanah Gubernur dan Wakil Gubernur.
Dengan rumusan yang berbeda, dapat dikatakan bahwa dengan menempatkan relasi dengan Allah di tengah, diapit oleh dua perjuangan yaitu meraih dan mengisi kemerdekaan, Pembukaan UUD 45 menekankan kesejarahan atau realitas nyata masyarakat Indonesia sebagai konteks rasa syukur. Realitas nyata itu adalah kemerdekaan yang telah diraih dan kemerdekaan yang mesti diisi.
Sebaliknya, dengan meletakkan usaha menunaikan amanah di tengah pidatonya, dan dengan mengapit usaha itu dengan dua pernyataan berkaitan dengan relasi dengan Sang Khalik, bung Anies hendak menempatkan upayanya lima tahun ke depan dalam konteks iman beriman, alias konteks transendennya, metafisiknya, dan bukan realitas nyatanya.
Kecenderungan Anies menggunakan bingkai iman dan agama sudah nampak sejak Pilkada DKI kali lalu. Bukankah Beliau bersama Amien Rais telah sama-sama menganalogikan pesta demokrasi warga DKI sebagai sebuah Perang Badar ? (https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170418225005-516-208534/anies-dan-amien-rais-sebut-pilkada-dki-seperti-perang-badar/). Gambaran ini tentu berbahaya sebab dalam pesta demokrasi, yang kalah tetap bisa berpartisipasi bersama yang menang dalam menyusun aturan main hidup bersama. Sementara itu, tidak ada pihak yang menang dalam perang karena kedua pihak akan sama-sama terluka.
Dengan kata lain, analogi ini berbahaya karena mengacaukan kesejarahan: harusnya yang diperangi bukan sesama kontestan tetapi musuh bersama aktual bagi semua warga, yaitu kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan dalam segala bentuknya, dengan korupsi yang nomor satu.
Kekacauan sejarah semakin nyata kalau kita simak baik-baik paparan Anies tentang Jakarta sebagai kota perjuangan. Pertama-tama, Anies menekankan peran geopolitis dan geostrategis Jakarta yang tak tergantikan dalam sejarah (Di kota ini, semua sejarah penting republik ditorehkan. Dua Km letaknya dari tempat kita berkumpul, para pemuda berkumpul di Kramat Raya mengumandangkan satu Tanah Air, satu bangsa, dan satu bahasa bersama. Hanya 2 Km dari tempat ini). Ungkapan-ungkapan serupa diulang-ulang untuk menyiapkann panggung bagi para pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan. Tetapi siapakah para pelaku sejarah itu? Para pejuang Revolusi Fisikkah? Para Bapa Pendiri Bangsakah? Atau siapa?