Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ahok, Pilkada DKI dan Perbedaan yang Dirayakan

25 Agustus 2016   09:49 Diperbarui: 25 Agustus 2016   09:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Semua gara-gara Ahok 

Tidak dapat disangkal, kalau hingar bingar media sosial jelang Pilkada DKI 2017, dari adu argumentasi, adu opini, adu komentar sampai tukar-menukar cacian, berepisentrum pada satu pribadi saja, yaitu Ahok yang memutuskan untuk tampil sebagai calon gubernur DKI untuk periode mendatang. Begitu kencangnya kegaduhan tersebut hingga terciptalah, di antara para penggiat media sosial di dunia maya, dua spesies yang saling bertentangan, yaitu Ahokers dan haters. 

Oleh para haters, mereka yang diberi label Ahokers adalah orang-orang yang berdalil "asal Ahok menang" dalam beropini dan berargumen. Sebaliknya, oleh para Ahokers, kelompok haters adalah mereka yang bersikap "asal bukan Ahok." Relasi kedua spesies ini ditandai oleh semangat saling meniadakan. Semangat dialektik (dari bahasa Yunani, dia yang artinya dengan cara dan legein yang artinya bicara) dalam arti mengakui perbedaan yang ada dan berupaya melampauinya melalui tukar-terima gagasan, nyaris hilang. Yang tersisa tinggal monolog (mono, satu, logos, perkataan) karena pihak satu tidak mau mengakui perbedaan pendapat pihak lainnya. 

Pertentangan ini boleh jadi dikarenakan belum tampilnya cagub resmi lainnya yang berbagi panggung dengan Ahok. Mungkin dan sekali lagi mungkin, seandainya tampil penantang resmi, spesies haters akan lenyap diganti spesies lainnya seturut nama cagub yang bersangkutan. Bisa jadi, para Ahoker akan bersanding dengan, misalnya Sandiakers, atau Yusrilkers, atau boleh jadi Rismakers?

Konflik: sebuah keniscayaan?

Apapun sebutannya, jadi sebuah pertanyaan di benak saya. Apakah perbedaan sikap dan pendapat atas para calon pemimpin mesti melahirkan perpecahan dan konflik dengan semangat saling meniadakan? Persaingan tidak dapat dihindari karena memang tahta DKI 1 jelas cuma satu. Tetapi apakah satu-satunya semangat dalam persaingan ini hanyalah semangat saling mengalahkan dan melenyapkan pihak lainnya?

Sebenarnya alternatif bukannya tidak ada. Ahok sendiri tidak keberatan dibandingkan dengan calon-calon lainnya. Dalam banyak kesempatan, ia justru menghendaki agar Jakarta dipimpin oleh yang terbaik. Untuk itu, ia menawarkan sebuah cara lain memaknai kontes Pilkada DKI ini, yaitu adu program. Ke sanalah energi batin dan akal semestinya diarahkan. 

Dengan kata lain, Ahok tidak mengharamkan perbedaan. Di matanya, sejauh yang saya tangkap, perbedaan mutlak perlu demi berlangsungnya kehidupan bersama.  Seperti kutub negatif dan positif di baterei, perbedaan adalah sumber energi dan kreativitas. Adu program dapat menjadi kanalisasi yang tepat untuk energi yang tercipta berkat bertemunya perbedaan. 

Kompas.com: ketika perbedaan sungguh dirayakan

Bukan tanpa alasan jika Kompas.com memilih slogan "Rayakan Perbedaan". Kompas, yang artinya petunjuk arah, seolah mau mengatakan bahwa panggilan bangsa ini adalah bersaksi kepada dunia bahwa perbedaan dapat dihidupi secara kreatif, secara menyenangkan: perbedaan adalah sebuah perayaan. 

Tidak mengherankan kalau di redaksi Kompas.com pun perbedaan pendapat tentang Pilada DKI mendapat tempat. Saya mengambil contoh dari perbedaan posisi dua petinggi di Kompas.com. Di satu sisi, ada mas Wisnu Nugroho yang saat ini menjabat Pemred Kompas.com. Di sisi lainnya, mas Heru Margianto yang jabatan resminya adalah New Assistant Managing Editor. Wisnu Nugroho, sebagai Pemred adalah Boss Heru Margianto. Yang menarik adalah opini sang Boss tentang ketokohan Ahok tidak dipaksakan kepada para anak buahnya. Akibatnya, kita disuguhi kekayaan pendapat di dalam satu harian online.

Dalam beberapa artikelnya, mas Wisnu cenderung tidak mendukung Ahok dalam Pilkada DKI ini. Ambil satu contoh: artikelnya tiga hari yang lalu, yang berjudul  Ahok benar, Jakarta tidak ada bandingannya. Dalam artikel itu, sang Pemred Kompas.com membandingkan Ahok yang ke mana-mana diikuti banyak wartawan dan Risma yang lebih senyap dan bersahaja dalam gerak-geriknya. 

Bandingkan opini sang Pemred dengan pendapat mas Editor, Heru, yang bersikap lebih positif terhadap Ahok, sebagaimana dapat dibaca dalam artikel ini Anomali itu bernama Ahok.   Di sana, mas Heru menggarisbawahi Ahok sebagai politisi yang tidak umum. Sikap ceplas-ceplos dan ketegasannya kerap diartikan sebagai ketidaksopanan (beringas kata Amien Rais). Tetapi, tulisnya, warga Jakarta punya intuisi untuk memilih yang terbaik sebagai pemimpinnya.

Bandingkan juga perbedaan keduanya dalam memaknai gejala politik baru yang bernama Teman Ahok. Sementara mas Wisnu secara samar-samar menafsirkan Teman Ahok sebagai kendaraan politik bagi Ahok yang sebangun dan sejenis dengan partai-partai politik (Teman Ahok dan "Teman Ahok"), mas Heru mencoba memaknainya secara berbeda, yaitu sebagai eksperimen demokrasi (Ahok, eksperimen demokrasi).

Nah, jadi, Rayakan Perbedaan bukan sekedar pemanis bagi Kompas.com. Ia sungguh-sungguh memberi arah lewat contoh nyata tentang keindonesiaan. Yang paling diuntungkan dengan perbedaan opini ini tidak lain dan tidak bukan adalah sidang pembaca sendiri. Kita ditawarkan butir-butir gagasan yang berbeda yang disampaikan secara santun. 

Jadi, semangat Kompas.com yang tidak lain dan tidak bukan "senior" kandung dari Kompasiana.com sepatutnya mengalir di forum Kompasiana juga. Saling ejek dan humor segar di bawah setiap artikel bukan saja tidak bisa dihindari tetapi kerap kali menarik dan menciptakan tawa tersendiri. Yang hendaknya ditolak adalah opini dan penyampaian informasi yang cenderung membunuh karakter seseorang dengan mengaitkannya pada isu SARA.

Maka, mari jadikan Perbedaan sebagai Perayaan.

Ville de Lumière, 25 Agustus 2016, ketika kantuk tiada datang dan gagasan minta dituangkan dalam kata

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun