Prabu Indro Djojo hanya tertawa terbahak-bahak dengan perkataan Sri Huning. Dia mencoba merayu dengan berbuata yang tidak senonoh, tetapi pada saat tangan Prabu Indro Djojo nakal, Sri Huning meludahi wajahnya. Merasa dihina Prabu Indro Djojo sangat marah, dan perangpun kembali berkecamuk. Kali ini Prabu Indro Djojo benar-benar tidak memberi kesempatan pada Sri Huning, sehingga pada saat Sri Huning lengah kerisnya berhasil menusuk ulu hati Sri Huning. Sri huning terhuyung-huyung, sementara pasukanya terpontang-panting.
Raden Wiro Admodjo meletakkan tubuh Sri Huning yang terkulai lemas dalam pangkuannya, darah segar Sri Huning membasahi pakaian perangnya.
“Sri Huning … Sri Huning. Jangan tinggalkan Kakang Sri Huning ….”
“Kakang Wiro Admadjo … Kakang saya tunggu di alam keabadian ….”
“Sri Huning. Sri Huning. Sri Huning …”.
Raden Wiro Admodjo menjerit mengiringi kepergian Sri Huning. Suaranya memecah kebisuan malam yang semakin larut disertai hujan rintik-rintik yang semakin meyayat setiap hati yang dilanda kedukaan. Sri Huning telah gugur sebagai kusuma bangsa di dalam membela cinta sejatinya yang suci.
Trianto
Penulis, Praktisi, Pemerhati, dan Birokrasi Pendidikan, Seni, dan Budaya. Penulis Buku Bestseller "Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kotekstual".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI